Chapter 11 : Terbayang
Liya

Dalam perjalananku pulang ke rumah, aku mencoba menata hatiku yang penuh dengan rasa cemas tak terkira. Perasaan berdosa karena telah berbohong terhadap suamiku benar-benar menjadi beban buatku. Aku ingin segera bertemu dengannya untuk memastikan kalau dia tak salah paham mendengar perkataan Tasha tadi.
Aneh memang karena sekarang aku tak lagi merasa bersalah ketika berselingkuh dengan Mang Dedi. Justru kesalahpahaman kecil seperti inilah yang membuatku lebih khawatir, karena aku merasa lebih takut ketahuan dibanding melakukan penyelewengan itu sendiri.
"Kamu sudah benar-benar gila Liya" batinku menggeleng-geleng mengingat kelakuanku di pos ronda tadi.
Sebenarnya perasaan birahiku masih saja menggebu-gebu dalam dada. Terlalu sulit melupakan kejadian saat aku terpaksa menelan cairan sperma Mang Dedi ke dalam mulutku. Walau ada perasaan jijik yang membuatku sedikit mual, namun ternyata rasa cairan putih itupun tak seburuk yang kubayangkan sebelumnya. Atau mungkin aku malah sedikit menyukainya, karena sperma Mang Dedi terasa begitu gurih, asin, pahit dan sedikit manis saat aku menelannya.
Tapi sebelum aku mengakui, harga diriku bergerak lebih cepat sehingga aku dengan sengaja melayangkan tamparan ke wajah Mang Dedi. Bukan marah karena dia menumpahkan spermanya di mulutku, tapi kesal karena dia tidak meminta ijin terlebih dahulu.
Akupun meninggalkan Mang Dedi dalam keadaan terheran begitu saja. Sengaja pula tak ku bayar sayuran yang kubeli darinya karena aku merasa gemas dan kesal dengan perbuatannya tersebut.
Sifat jahil dan suka bercanda yang dimiliki Mang Dedi memang adalah alasan utama kenapa aku ingin dekat dengannya dari awal, karena aku membutuhkan hiburan saat aku merasa kesepian di tinggal suamiku. Akan tetapi kalau sudah kelewatan seperti ini, akupun merasa harus segera bertindak agar dia tak semena-mena terhadapku.
"Darimana Mi..??" sapa suamiku yang ternyata menyambut di depan pintu rumah.
Aku sedikit terkaget lalu memasang senyum palsu seperti seorang pemain sinetron, "Dari konter Bi!! Umi beli kuota" jawabku membohonginya.
"Pantesan tadi Abi nyari ke Mang Dedi gak ada.." balas suamiku mengambil barang belanjaanku dari tangan.
Kami berdua kemudian berjalan masuk ke dalam rumah menuju dapur, "Emangnya Abi ngapain cari Umi segala??" tanyaku berpura-pura.
"Itu tadi Caca merengek minta Es Krim mulu!! Abi bilang nunggu Umi balik belanja.. Eh dianya malah pengen nyusulin kamu katanya" balas suamiku menjelaskan.
"Trus anaknya mana??" tanyaku lagi.
Suamiku memonyongkan bibirnya ke dalam kamar, "Itu lagi video call-an sama neneknya. Dia lagi cerita mau punya adik" jawab suamiku.
"Uhuukk.. uhukk.." aku terbatuk kaget. "Mau punya adik darimana??" tanyaku merasa menggigil.
"Tau tuh. Katanya dari Om Baik" jawab suamiku dengan nada penuh sindiran.
Aku berpura-pura memalingkan wajah mengambil air minum, "Mang Dedi??" tanyaku berusaha sesantai mungkin.
"Iya. Umi kok tau??" balas suamiku bertanya.
"Kemaren katanya mau beliin boneka buat Caca sih. Buat jadi Adek-adekan" jawabku memberi alasan yang sama seperti alasan Mang Dedi.
Akan tetapi suamiku tampaknya sudah mulai sedikit curiga, "Umi kok gak ngomong sih kalau Mang Dedi pernah dateng ke rumah?? pake numpang mandi pula!" tanyanya penuh selidik.
"Umi lupa Bi! Lagian itu udah dua hari yang lalu.." jawabku duduk di meja makan.
Kurasakan lututku sebenarnya sangat lemas dan jantungku berdegub sangat kencang memberitahukan kebohongan demi kebohongan pada suamiku sendiri untuk menutupi perbuatan terlarangku. Namun disetiap kali suamiku memakan kebohonganku tersebut, ada perasaan puas yang begitu aneh melegakan hatiku.
"Iya tapi kenapa sampai mengizinkan dia mandi di rumah kita segala??" lanjut suamiku bertanya.
Aku menatap balik, "Kasihan Bi! Dia udah basah kuyup sampai disini" balasku menjelaskan.
"Kalau udah basah kuyup kenapa gak sekalian pulang aja??" suamiku masih belum menyerah.
Namun kali ini aku kehabisan alasan untuk menjawabnya, "Maksud Abi apaan?" tanyaku berbalik.
"Engga ada maksud apa-apa!" balas suamiku berkilah.
"Trus kenapa nanya-nanya kayak menuduh Umi gitu??" tanyaku lagi.
Kali ini suamiku yang menatap balik, "Umi merasa tertuduh??" tanyanya padaku.
Aku tiba-tiba terdiam. Otakku berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjawab. Tapi aku semakin gugup seperti seorang penjahat yang berusaha berkilah saat di interogasi, namun akhirnya tertangkap basah juga.
"Kok diam??" tanya suamiku sekali lagi.
Aku mengangkat kedua bahuku, "Abi mau Umi jawab kayak apa??" tanyaku.
"Gak tau! Mungkin sedikit kejujuran" kata suamiku.
"Jujur tentang apa?? Umi cuma ngobrol doang sama Mang Dedi" balasku semakin berkilah.
Namun tampaknya suamiku malah semakin yakin dengan tuduhannya, "Abi gak nuduh Umi berbuat apa-apa loh tadi. Eh ternyata kalian mengobrol juga" ucapnya penuh nada sindiran.
"Emang Umi gak boleh ngobrol sama orang selain Abi gitu?? Abi aja udah jarang ngobrol sama Umi.." Ucapku tak kalah ingin menyindirnya.
Beruntung tampaknya sindiranku lah yang lebih terasa oleh suamiku, dia tergagap. "A-Abi-"
"Abi apa?? Abi kerja gitu??" ucapku memotong obrolannya. "Selama ini Umi udah nyoba tahan dan mengerti sama Abi, tapi kalau Abi kayak gini Umi juga gak bisa diam" lanjutku mencecarnya.
Suamiku masih terdiam, "Umi kesepian Bi!! Anakmu kesepian juga!! setiap hari Abi berangkat sebelum dia bangun, pulang-pulang setelah dia tidur. Gimana gak kesepian coba????" teriakku dengan lantang.
Mungkin tadi aku memulai obrolan ini dengan sebuah kebohongan karena ingin menutupi perselingkuhanku. Akan tetapi tampaknya obrolan inipun akhirnya dapat ku manfaatkan sebagai sarana meluapkan emosi dan ketidaksukaan terhadap suamiku yang terus-terusan bekerja itu.
"Ma-maafin Abi, Mi!" ucap suamiku memelas.
Aku tertawa kecut, "Dan sekarang?? Abi punya masalah kalau Umi ngobrol sama orang??" tantangku membalikkan tuduhannya tadi menjadi bumerang yang menyerangnya sendiri.
"Maaf Umi. Abi benar-benar tidak tau" balasnya menatap lembut padaku.
Aku kemudian berdiri dari meja makan, "Terserah Abi saja!" ucapku ketus meninggalkannya.
Aku lalu pergi ke dalam kamar dan merebahkan diriku diatas kasur dengan perasaan berkecamuk tak bisa dijelaskan. Marah karena aku sudah mulai hilang kendali dan tidak tahu diri. Sedih karena sudah membohongi suamiku. Dan lega karena berhasil mengungkapkan uneg-uneg yang selama ini aku tahan-tahan.
Tak kusadari tiba-tiba saja air mataku telah melompat keluar membasahi pipiku. Aku kembali merasa jijik dan hina dengan diriku sendiri. Seandainya saja waktu itu aku tidak tergoda nafsu untuk berselingkuh, mungkin saat ini aku tidak akan pernah bertengkar dengan suamiku.
Entah sampai kapan pula akan kutanggung rasa bersalah ini. Tetapi setidaknya aku masih beruntung karena suamiku belum mengetahui kalau istri yang selama ini dikenalnya sebagai seorang perempuan alim itu, sudah merelakan tubuhnya di gauli dan dinikmati oleh pria lain selain dirinya.
Sampai ketika malam menjelangpun, baik aku dan suamiku masih berdiam diri tak saling menyapa satu sama lain. Ini adalah pertengkaran kami untuk pertama kalinya selama masa enam tahun kami menjalani pernikahan. Dan sunggu rasanya sangat tidak mengenakkan dihati dan pikiranku.
"Mi! Udah tidur??" sapa suamiku dari sebelah.
Walau sedang marahan, kami berdua masih tidur diatas ranjang yang sama. "Belum.. kenapa?" tanyaku membalik badan.
"Abi mau minta maaf" Ucap suamiku menggapai tanganku. "Maafin Abi udah nuduh Umi macem-macem. Maafin Abi juga karena udah terlalu sering ninggalin Umi demi kerjaan" lanjutnya setengah berbisik.
"Itu doang??" tanyaku mengangkat alis.
Suamiku terlihat bingung, "Emangnya ada lagi Mi??" tanyanya heran.
"Ada. Minta maaf karena Abi gak pernah bisa muasin Umi di ranjang" balasku dalam hati.
"Kok diem??" tanya suamiku sekali lagi.
Aku menggeleng, "Gapapa Bi! Umi juga minta maaf karena lupa ngasih tau Abi tentang Mang Dedi" ucapku yang lagi-lagi berbohong.
"Engga, Umi gak perlu minta maaf soal itu. Abi tau Umi cuma pengen punya temen ngobrol" jawab suamiku seolah mengerti.
Aku lalu tersenyum, "Jadi gak cemburu lagi nih?" tanyaku menyindirnya.
"Eleehh.. Siapa juga yang cemburu sama tukang sayur.." jawab suamiku berkilah.
"Itu tadi apaan nuduh-nuduh istrinya kalau bukan cemburu?" sindirku lagi.
Suamiku seketika cemberut, "Abis dianya bilang mau bikinin Adek buat Caca. Abi kan cemburu!!" balasnya padaku.
"Itumah Abi aja yang salah paham sama omongan Caca.. Masa Mang Dedi mau bikin Umi hamil!! Yang bener aja!!" kataku tiba-tiba berdesir mengucap kata "Hamil" tersebut.
"Iya juga sih. Kagak mungkin juga ya" ucapnya mengangguk-angguk. "Yaudah deh kalau gitu Umi temenan aja sama Mang Dedi" lanjut suamiku bersemangat.
"Loh kok gitu??" tanyaku penasaran.
"Katanya Umi butuh temen ngobrol??" tawar suamiku.
Aku tersenyum meledeknya, "Yakin ga cemburu??" tanyaku sekali lagi.
"Yakin" angguk suamiku dengan cepat. "Lagian kayaknya Mang Dedi orang baik" lanjut suamiku berusaha menilai.
"Ah Masa?? tadi aja ada yang cemburu banget.." ucapku meledek.
"Iya kayaknya. Lagian dia ga pernah godain Umi jugakan walau udah berduaan di rumah??" tanya suamiku menebak.
Entah setan apa yang datang menghampiriku saat itu, aku malah merasa ingin sedikit menggoda suamiku, "Emang Abi tau??" ucapku mendekat pelan kearahnya.
"Ga tau juga sih" balas suamiku menelan ludah. "E--emangnya dia godain Umi??" tanya suamiku tergugup saat dengan sengaja kuelus bagian selangkangannya.
"Kalau Umi digodain gimana Bi?? cemburu gak??" tanyaku semakin memancing jawaban dari suamiku.
Mendadak hatiku dipenuhi perasaan aneh yang tak pernah kualami sebelumnya. Suatu perasaan yang sangat sukar untuk kulukiskan dengan kata-kata saat aku tertantang oleh birahi untuk menggoda suamiku dengan cara seperti ini.
"Ya.. Ce-cemburu pasti Mi!" balas suamiku menatapku dengan tatapan tidak percaya.
Aku kemudian tertawa, "Kok tegang begini??" tanyaku menggapai penisnya dari balik celana dan meremasnya pelan.
"Kerjaan Umi kan!" ucap suamiku merenguh memejamkan matanya.
"Umi gak digodain sih. Cuma dibilang cantik aja Bi" ucapku mulai mengurut-urut penis suamiku dari dalam celananya.
Namun suamiku malah semakin melenguh, "Ouughh... Tr-trus apa lagi??" tanya suamiku di sela-sela nafasnya yang semakin memburu.
"Mang Dedi bilang Umi tipe wanita dia banget" jawabku mempercepat kocokan.
Hatiku semakin girang melihat ekspresi suamiku yang tampak keenakan merasapi genggaman dan pijatan tanganku pada batang penisnya. Lambat-laun sentuhanku pada penis suamiku tersebut seakan ikut menjalarkan sensasi-sensasi aneh dalam tubuhku. Bahkan ketika aku dengan sengaja mengucap-ngucap nama Mang Dedi, sensasinya pun menjadi bertambah membuatku menggelinjang tanpa kusadari.
"Oouugghh.. enakk Mi!!" desah suamiku kembali keluar dari mulutnya.
Tak mau kalah dengan tanganku yang memberikan servis pada penisnya, suamiku tiba-tiba menyusupkan tangannya masuk ke dalam celana tidurku. Aku hanya bisa menggelinjang saat jemari suamiku itu akhirnya menekan tepat pada luaran vaginaku.
"U-umi basah??" tanya suamiku terheran.
Aku kemudian mengangguk mempercepat kocokanku pada penisnya saat tangan suamiku tersebut ikut mengalirkan getaran pada bagian tubuhku yang paling peka. Tanpa bisa kutahan-tahan lagi, cairan vaginaku terasa basah membersit keluar dari dalam lorongnya, meleleh membasah kepermukaan tangan suamiku.
Aku merasa malu sekali. Mengapa bisa seperti ini? Mengapa aku jadi bergejolak hanya karena membayangkan pujian-pujian Mang Dedi sambil menggoda suamiku. Apakah memang aku sudah setergantung ini kepada tukang sayur itu?
"Ohhh.. enakk Masshh!!" balasku mendesah tanpa sengaja membayangkan kalau bukan suamikulah yang sedang meraba tubuhku.
Namun beruntung tampaknya suamiku tak menyadari hal itu karena dia juga tengah fokus merasakan nikmat akibat kocokan tanganku yang semakin cepat pada penisnya.
"Ughhh.. mau keluar Mi!" ucap suamiku tiba-tiba saja melemahkan gerakan tangannya di vaginaku.
Dengan secepat kilat, aku reflek menggantikan tangan suamiku tersebut dengan tanganku kiriku sendiri sambil yang kanannya tetap terus mengocok penis suamiku. Aku bergerak mengikuti instingku sendiri dengan mencolok-colok lubang vaginaku merasakan nikmat itu mulai menemui ujungnya.
Dibarengi dengan erangan suamiku yang tiba-tiba keluar, akupun kemudian merasakan hantaman gelombang kenikmatan yang bersumber dari kelanjar syarafku yang paling peka, gelombang yang sudah aku kenali itupun serasa meledak begitu saja menerjang bendungan pertahanku.
"Ouuughhhh...." lenguhku begitu panjang.
Tubuhku bergetar dan menggelinjang diatas kasur seakan terbang ke awang-awang. Membuat vaginaku ikut berkedut-kedut ribuan kali seperti memancarkan kehangatan di sepanjang lorongnya. Aku merasakan orgasme yang datang kali ini sangat berbeda, karena begitu cepat dan mendadak sehingga aku tak sadar sedang berada di samping suamiku.
"U-umi gapapa??" tanya suamiku tergagap melihatku sedang dilanda puncak birahi.
Dalam sisa kesadaranku pun kemudian aku mengangguk pelan, "Gapapa Bi! Umi cuma keenakan" ucapku menatap langit-langit kamar.
Terbayang wajah Mang Dedi tersenyum menyeringai.