javascript hit counter

Penunggang Liya Seorang Ibu Muda

EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Chapter 12 : Tak Lagi Malu




Liya







Aku tidak tau sejak kapan, yang jelas ini adalah pertama kalinya aku mulai merasakan resah karena tidak bertemu dengan Mang Dedi. Rasanya seperti disesak oleh sesuatu yang abstrak layaknya menanggung sebuah beban berat dalam hati.

Sudah dua hari ini sosok itu menghilang, tak berkabar bak di telan bumi. Setiap hari bahkan membuatku menggerutu dengan kesal sambil berbolak-balik menatap pada layar hp, menunggu balasan chat darinya.

"Apa dia marah karena ku tampar tempo hari??" tanyaku dalam hati.

Perlahan-lahan akupun mulai menjadi munafik, ikut mensugesti diri bahwa inilah waktu yang tepat untuk mengakhiri hubungan terlarang ini. Padahal, hampir setiap putaran waktuku dalam dua hari ini selalu memunculkan nama Mang Dedi dan Mang Dedi.

Bahkan terkadang ada bisikan dalam hati yang menyadarkanku agar tidak berlebihan menenggelamkan diri dalam perasaan terlarang ini. Tapi aku selalu tidak bisa. Atau mungkin, tak mau.

Entahlah, rasanya sekuat apapun aku mencoba menipu diri dan perasaanku, aku seakan menyadari bahwa aku memang akan selalu merindukan sosoknya yang mengundang tawa dan birahi itu.

"TING!!!"

"Maaf Dek Liya. Aku lagi sakit.." Pesan Mang Dedi datang merekahkan senyuman di bibirku.

Tapi kemudian aku malah khawatir mendengar kabarnya, "Mas sakit apa??" tanyaku membalas pesan.

"Cuma panas doang Dek" balasnya lagi.

"Mas sudah makan?? udah berobat??? yang jagain di rumah siapa??" balasku balik penuh dengan pertanyaan.

Namun Mang Dedi hanya menjawabnya singkat, "Di rumah sendirian.." ucapnya membalas.

Tiba-tiba saja, muncul keinginan dalam hatiku untuk bertemu dengan Mang Dedi yang sedang sakit itu. Entah karena merasa khawatir atau mungkin diam-diam karena aku merindukannya, tapi yang pasti hatiku menggebu-gebu membayangkan pertemuan kami di rumahnya tersebut.

Tanpa berpikir panjang, aku kemudian bertanya. "Rumah Mas dimana?? biar aku kesana.." Balasku lagi.

Selang beberapa menit kemudian, Mang Dedipun membalas pesanku dengan membagikan lokasi rumah miliknya. Aku lalu tersenyum dengan singkat, karena ternyata alamat tersebut tidak terlalu jauh dari rumahku dan dapat di tempuh dengan angkutan umum selama kurang lebih 10 menit perjalanan.

"Tunggu aku, aku mau kesana Mas.." ucapku kembali membalas pesannya.

Dengan segera aku kemudian berjalan ke dapur untuk menyiapkan makanan yang ingin ku bawa ke rumah Mang Dedi. Beruntung tadi pagi aku sempat memasak sup ayam yang secara kebetulan juga bagus untuk dimakan dalam keadaan sakit. Sambil juga menyiapkan sedikit makanan kecil seperti tahu dan tempe goreng untuk membantu menambah nutrisi dan mengisi perut Mang Dedi yang pasti tengah kekosongan karena sedang sakit seperti ini.

Dari ruang tamu, suamiku tampak sedikit heran melihatku yang siang-siang berada di dapur tersebut. "Tumben masaknya jam segini" tanya suamiku terheran.

"Iya, Umi mau pergi keluar sebentar gapapa kan Bi??" tanyaku sambil meminta izin dengan cepat.

Suamiku menghampiri dengan heran, "Emangnya Umi mau kemana siang-siang begini???" tanyanya penasaran.

"Mau ke pasarlah Bi!, udah dua hari ini gak ada Mang Dedi jadi Umi gak belanja. Kalau gak masak sekarang nanti keburu capek pulang dari pasarnya.." balasku menjelaskan.

Entah darimana alasan yang tiba-tiba saja terbesit dari dalam kepalaku itu. Namun penjelasanku tersebut cukup meyakinkan sebagai alasan bagi suamiku untuk mengizinkanku pergi. Memang iblis selalu punya cara untuk menggoda dan memberikan kesempatan untuk siapa saja yang ingin berbuat kemaksiatan.

"Mau Abi anter??" tanya suamiku menawarkan bantuan.

Aku lalu menggeleng singkat, "Gausah.. kalau Abi ikut nanti yang jagain Caca siapa??" balasku lagi.

"Tinggal bawa Caca juga beres!" jawab suamiku santai.

Namun tentu saja aku tidak bisa membiarkan mereka ikut karena aku tidak berencana pergi ke pasar, "Kalau Caca ikut, yang ada dia minta jajan terus. Umi jadi repot belanjanya" ucapku beralasan.

"Oh iya ya! Kalau Caca ikut mah bukan Umi yang belanja, tapi Caca.." balas suamiku terkekeh pergi meninggalkanku.

Tanpa perlu berlama-lama kemudian aku akhirnya selesai memasak dan menatanya kedalam kotak makanan yang sudah kusiapkan. Tak lupa pula aku memasukkan kotak makanan tersebut ke dalam totebag belanjaanku agar nantinya suamiku tidak terlalu curiga.

Aku lalu beranjak ke dalam kamar mengganti baju dan merias penampilanku. Layaknya seorang kekasih yang ingin berkunjung ke rumah pacarnya, akupun berniat ingin tampil secantik mungkin untuk bertemu dengan Mang Dedi.

Sengaja ku pakai gamis favoritku yang berwarna merah muda dengan hijab lebar yang sewarna pula. Beberapa aksesoris seperti kalung dan jam tangan pun aku pakai untuk menambah penampilanku. Tak lupa pula aku merias wajah dengan make up yang agak tebal, ditambah pilihan lipstick yang sedikit merah menyala.

"Kesukaan Mas Dedi..." ucapku dalam hati saat ku patut wajahku dari cermin.

Memang dulu saat awal-awal kami berkenalan, Mang Dedi selalu bilang kalau dia ingin melihatku sedikit berdandan dan memakai lipstick merah menyala. Dia memuji kalau aku pasti akan tambah cantik jika rajin merawat diri dan berdandan sehari-hari untuknya. Dan kini, aku berencana mengabulkan keinginannya tersebut.

"Wuidihh.. ini mau ke pasar atau kondangan Mi?? Rapi bener..!!" ledek suamiku saat aku menghampirinya di ruang tamu.

Aku tersenyum dan memutar badanku, "Gimana?? Umi udah cantik belum Bi??" tanyaku meminta pendapatnya.

"Cantik banget Mi!! Cantik gak ada duanya" jawab suamiku mengacungkan kedua jempolnya.

Aku mengulum senyum sedikit tersipu malu di puji suamiku tersebut. Namun yang terbayang kemudian justru wajah Mang Dedi yang pasti akan sangat senang melihat penampilanku sesuai dengan apa yang dia inginkan.

"Yaudah Umi jalan ya Bi!! jangan lupa jagain Caca.." ucapku menyalami suamiku.

Dalam hati ada sedikit perasaan yang bergetar saat aku dengan berani dan kurang ajarnya berpamitan sekaligus bersalaman dengan suamiku sebelum pergi kerumah selingkuhanku sendiri. Aku merasakan diriku sedikit hina melakukan hal seperti ini, namun jantungku tak dapat berbohong kalau akupun sebenarnya menantikan momen untuk bertemu Mang Dedi di rumahnya.

Di perjalanan singkat menuju rumah Mang Dedi tersebut, beberapa kali aku mencoba mengatur nafasku untuk menghilangkan rasa grogi dan cemasku. Baru kali pertama juga untukku bertandang ke rumah orang lain setelah aku pindah ke jakarta. Apalagi yang akan aku datangi justru adalah rumah laki-laki yang bisa dikatakan sebagai selingkuhanku itu. Jadi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berdebar-debar dibuatnya.

Sesuai prediksi sebelumnya, hanya butuh waktu 10 menit perjalanan ke rumah Mang Dedi yang ku tempuh dengan menaiki angkot. Cukup membingungkan juga karena ternyata rumah Mang Dedi berada cukup dalam di pojokan gang sehingga aku harus berjalan dengan kaki.

Dengan arahan dan petunjuk dari Mang Dedi, akhirnya akupun sampai di sebuah kontrakan yang berdiri berjejer tiga buah pintu dan memilik cat oranye. Dipaling ujung sebelah kiri terdapat tanda "Kontrakan Kosong." Sedangkan yang di tengah-tengahnya nampak memiliki penghuni ditandai dengan sebuah sepeda motor yang parkir di terasnya.

Rumah Mang Dedi sendiri berada di bagian paling kanan kontrakan tersebut, nampak sebuah salib besar berwarna sedikit keemasan bertengger di daun pintunya. Di depan kontrakannya juga di tumbuhi sebuah pohon mangga cukup besar dengan adanya lesehan dari bambu di bawahnya.

"Assalamualai--" reflek salamku terhenti saat aku teringat kalau Mang Dedi bukanlah seorang muslim.

Namun seketika daun pintu rumah itupun terbuka dan menampakkan sosok Mang Dedi hanya memakai celana pendek saja, "Sudah datang kamu Dek!" sapanya tersenyum ke arahku.

"Ihh.. Mas nakal ga pake baju" ucapku pura-pura menutup wajahku dengan tangan.

Mang Dedi nampak sedikit memaksakan senyumnya, "Mari masuk Dek" ucapnya mempersilahkanku. Terlihat wajah Mang Dedi sedikit pucat dan bibirnya memutih karena sedang dalam keadaan sakit.

"Permisiiii!!" ucapku setengah berbisik sambil reflek celingak-celinguk kearah sekitar. Takut ada yang melihat aku sebagai perempuan sedang bertamu ke rumah lelaki bujangan disiang bolong begini.

"Masuk aja! Gak ada orang kok" kata Mang Dedi tersenyum melihatku.

Aku kemudian mengangguk pelan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya sambil kemudian Mang Dedi mengunci pintu. "Kok di kunci??" tanyaku sedikit kaget.

"Biar gak ada yang gangguin kitalah.." jawab Mang Dedi santai memegang tanganku dan menuntun melewati ruang tamu kontrakannya.

Dari belakang aku hanya mengikuti saja langkah Mang Dedi sambil melihat-lihat keadaan sekitar rumahnya. Satu yang membuatku kagum, karena meskipun Mang Dedi hanya hidup seorang diri, rumahnya terlihat sangat terawat begitu bersih dan wangi.

"Maaf gak ada tempat duduk.." Ucap Mang Dedi menarik tanganku duduk diatas kasur springbed tanpa dipan itu.

Kupandangi sekali lagi sekitar kamar tersebut seolah masih terasa asing, "Rapi banget. Mas udah punya istri??" Ucapku bertanya seakan masih tidak percaya.

"Ini istri aku baru dateng.." Ucap Mang Dedi memeluk tubuhku secara tiba-tiba. Badannya terasa hangat dan nafasnya tampak tak begitu beraturan.

Dengan sigap aku kemudian melepaskan pelukannya tersebut. "Jangan macem-macem!! lagi sakit juga!!" ucapku dengan nada ketus lalu berdiri.

"Aku bawa makanan buat Mas.. Mas pasti belum makan kan??" lanjutku mengeluarkan kotak makanan yang sudah aku bawa dari rumah.

"Wahh... dibawain makanan segala. Baik banget istriku" ucap Mang Dedi yang lagi-lagi memanggil aku sebagai istrinya.

Namun entah kenapa aku tidak merasa risih dan memprotes panggilannya tersebut seolah-olah akupun juga suka dipanggil seperti itu olehnya. Lagipula Mang Dedi sedang sakit dan tak punya tenaga, sehingga aku mencoba memaklumi saja perkataannya tersebut.

"Nih dimakan Mas!" ucapku membuka satu-persatu kotak makanan yang ku bawa di dekatnya.

Mang Dedi lalu merengek manja, "Suapin dong Dek!" pintanya membuka mulut.

"Makan sendiri!! udah gede juga" balasku tetap ketus dan gemas dengan gayanya yang lebay itu.

"Tapi kan aku sakit Dek. Kemaren aja aku di tampar dua kali sama kamu" ucapnya mengungkit-ungkit kejadian dua hari yang lalu.

Aku mencubit tangannya pelan, "Salah Mas yang sembarangan aja buang cairan!" kataku ketus.

"Abisnya Mas ga bisa nahan Dek. Mulut kamu enak banget" balasnya terkekeh.

Kukepalkan tanganku di wajahnya, "Ini bogem aku juga enak loh!!" ucapku dengan gemas.

Kami lalu tertawa berbarengan seperti pasangan kekasih yang tengah dimabuk asmara, tak peduli bahwa saat ini aku berada di rumah laki-laki lain sedangkan statusku saja adalah seorang istri, ibu dan perempuan baik-baik.

Tapi yang terpikirkan olehku justru hanyalah rasa senang dan berbunga saat kami berdua larut dalam tawa dan canda itu. Entah apa yang akan terjadi besok, namun kupilih untuk menikmati momen saat ini dengan sepenuh hati.

"Suapin ayo Dek!!" pinta Mang Dedi merengek-rengek.

Aku menggeleng-geleng tidak karuan melihat sikapnya yang seperti anak kecil tersebut, "Dasar ABG tua!" ucapku mengambil sendok dan menyuap nasi.

Terpaksa akhirnya akupun mulai menyuapi Mang Dedi sedikit demi sedikit makanan yang ku bawa dari rumah itu. Sambil ku tahan perasaan senang dan menggebu dalam hatiku karena aku tidak pernah memperlakukan seseorang se spesial ini. Bahkan untuk suamiku sekalipun.

"Mmmm... enak banget masakan kamu sayang!" ucap Mang Dedi pelan mengunyah makanannya.

"Yaiyalah, Uni-uni minang loh ini!!" jawabku berbangga dengan asalku.

Sambil terus mengunyah makanan, Mang Dedi bertanya. "Di padang ada gereja gak sih Dek??" tanyanya penasaran.

"Ada, tapi cuma dikota doang. Kalau di kabupaten aku gak ada. Jangankan gereja, non muslim aja gak ada" ucapku menjelaskan sedikit tentang daerahku.

Memang sampai saat ini di kabupaten tempat aku berasal belum pernah tercatat warga atau pendatang yang menetap beragama lain selain islam. Karena itu aku pun tidak pernah bertemu dengan orang yang berbeda agama sebelumnya.

"Berarti aku yang pertama kamu kenal dong??" tanya Mang Dedi tampak sumringah.

Kuanggukkan kepalaku sedikit mengiyakannya, "Mas yang pertama" ucapku tersenyum.

"Asikk.. yang pertama tuh biasanya berkesan loh Dek" ucapnya dengan nada penuh kesoktahuan.

Aku menyuapkan dia lagi sambil mencibir, "Berkesan apaan? Biasa aja tuh!" jawabku meledeknya.

"Yakin aku kalau kamu bakal inget aku terus" ucap Mang Dedi dengan percaya diri. "Apalagi sama yang gak disunat gini" lanjutnya mengelus selangkangan.

"Mas matanya udah pernah di colok sama sendok belum??" tanyaku mengancam.

Tapi mataku tak dapat menahan untuk tidak melirik ke arah selangkangan Mang Dedi yang tampak membokong seperti tak memakai celana dalam itu. Aku yakin di dalam sana batang penis besar itu tengah menegang.

"Hehehe.. Ampun istriku" ucapnya terkekeh mengangkat kedua tangannya. Lalu kemudian dia tersenyum melanjutkan,"Tapi coba sekali jujur deh Dek. Kamu suka kan sama kontolku ini??" tanyanya sekali lagi.

Entah kenapa jantungku tiba-tiba merasa berdegub sangat kencang diberikan pertanyaan yang kotor tersebut. Tak kusadari bawah alasannya memang karena apa yang dibilang oleh Mang Dedi tersebut adalah benar. Aku menyukai penis besarnya itu, penis perkasa tak di sunat yang mampu membuatku seperti panas dingin hanya dengan melihat siluet dibalik celananya saja.

"Kalau diem berarti bener.." celetuk Mang Dedi dengan senangnya.

Tapi lagi-lagi aku masih mencoba menjaga harga diriku, "Sok tau!" balasku merasakan kalau wajahku ikut memanas akibat kebohongan dan kemunafikanku sendiri.

"Udah buru abisin makanannya!!" sambungku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kalau marah berarti bener..." ucap Mang Dedi merayuku.

Aku lalu menggeleng menahan senyum, "Enggak marah tuh!! aku seneng begini!" balasku meledeknya.

"Kalau seneng lebih bener lagi Dek.." jawab Mang Dedi seperti tak mau kalah.

Aku kemudian mengambil botol minuman dan memberikannya pada Mang Dedi, "Ah curang!" balasku melongos dari hadapannya.

"Ya berarti kamu emang suka sama kontolku.." sengir Mang Dedi.

"Apaan sih kontal kontol terus!" balasku menutup kotak makanan yang telah habis dilahap Mang Dedi saat kami dengan asyiknya mengobrol.

"Udah kamu ngaku aja Dek.." rayu Mang Dedi terkekeh.

Karena merasa sedikit kesal dengan pertanyaannya, akupun kemudian mengangguk-angguk terpaksa, "Iya-iya.. Suka-suka.. benar-benar" balasku bercanda meledeknya.

"Dih.. kok jawabnya begitu banget??" ucap Mang Dedi tidak terima.

"Ya abis mau gimana lagi??" balasku menjulurkan lidah.

Tiba-tiba saja Mang Dedi meraih pinggangku dan menarik badanku jatuh diatas kasur, "Ngomong gini coba.. Aku suka kontolmu Mas!!" pinta Mang Dedi padaku.

"Ogah!!" teriakku meledeknya.

"Kamu mah begitu. Jahat sama aku" balas Mang Dedi merajuk.

Kusunggingkan senyum membalikkan badan ke arahnya, "Jahat gimana??" tanyaku berpura-pura.

"Iyalah.. aku aja sampai di tampar dua kali" jawabnya kembali mengungkit-ungkit tamparan itu.

"Sebentar lagi tiga kali kalau Mas ngungkit-ngungkit terus" ucapku mengancamnya.

Kami kemudian sama-sama kembali tertawa diatas kasur ini dengan perasaanku yang sudah sangat nyaman dipeluk dan dirangkul oleh Mang Dedi. Seperti biasa, Mang Dedi mencairkan suasana dengan begitu mudah hingga membuatku lupa waktu ketika berlama-lama dengannya.

"Kamu cantik banget hari ini. Lipsticknya merah pula" Puji Mang Dedi padaku.

Sontak hatiku langsung berbunga-bunga dibuatnya karena merasa usahaku berdandan untuk Mang Dedi mendapat pujian yang aku harapkan.

Aku mengulum senyum bahagia, "Buat siapa coba??" ucapku memonyongkan bibir.

"Hehehe. Pengertiannya istriku" balas Mang Dedi terkekeh memanggil aku sebagai istrinya lagi.

Tapi kemudian aku pun masih saja tidak keberatan dan malah semakin senang ketika mendengarnya memanggilku dengan sebuatan "Istri"-nya tersebut. Entah mungkin ada yang salah dalam diriku saat seharusnya aku marah mendengar sebutan itu, namun aku memilih untuk membiarkan telingaku manja oleh kata itu.

"Boleh aku cium gak nih??" lanjut Mang Dedi bertanya padaku.

Kuanggukkan kepala dengan pelan, "Boleh" ucapku singkat dan tersenyum.

Seketika Mang Dedi mendekatkan mukanya ke arah wajahku dan mengecup pelan bibirku, "Manis" ucapnya berkomentar sebentar.

Lalu bibir Mang Dedi memaut bibirku kembali namun dalam tempo yang cukup lama. Bibir kami hanya menempel hangat, tak ada pagutan tak ada gerakan. Hanya saling bertukar nafas yang sudah mulai tidak beraturan karena sudah didatangi birahi dan syahwat.

Dengan lembut, Mang Dedi meraihku ke dalam pelukannya. Lama dibiarkannya tubuhku dan tubuhnya bersatu sambil ciuman kami mulai sedikit bergerak saling menaut dan mengejar bibir masing-masing.

Dengusan nafas Mang Dedi terdengar memburu didaun telingaku, entah karena dia sedang sakit atau sedang bernafsu. Akan tetapi dapat kurasakan ciumannya pada bibirku mulai agresif. Kecupan-kecupan ringannya sudah mulai menjadi pagutan dan lumayan yang seolah menghisap bibirku masuk ke dalam bibirnya.

"Oohh.. Masshh.." ucapku mulai mengeluarkan desahan lirih.

Mang Dedi kembali mencoba menciumku. Kali ini lebih rekat dengan dekapannya yang sangat erat tak mau melepas. Akupun juga tak mau menghindar, tempatku bergerak hanya bila aku membalas menyosor ciumanya itu.

Tangannya menempel di bagian tengkukku yang masih terbalut hijab, bibir kami bertemu, sementara lidah kami saling mengisi rongga kosong yang ada di mulut masing-masing.

Perlakuan Mang Dedi itu semakin membuatku lemas terbuai kenikmatan. Selama beberapa menit lamanya kami bercumbu dengan penuh gairah, lidah kami saling belit dan saling jilat, air liur kami saling bertukar dan nafas kami bersahut-sahutan.

"Eeemmm...mmmhh....ssllkk...ssssllrrp!" suara desahan tertahan terdengar dari mulutku saat berpagutan dengannya.

Selama ciumannya itu pula, tangan Mang Dedi tidak pernah diam menjelajahi tubuhku, tangan kirinya yang terhimpit oleh kepalaku masih dapat mengelus bagian leher, sedang tangan kanannya berada di bagian belakang dan meremasi bongkahan pantatku dengan gemasnya.

Perasaan aneh yang nikmat mulai terasa seiring dengan remasan-remasan Mang Dedi pada pantatku tersebut. Aku mencoba menggeliat menggerakkan diriku tapi benar-benar tidak mampu karena dekapan Mang Dedi begitu kuat mengunci tubuhku.

"Dek Liya.. aku sayang sama kamu.. aku cinta sama kamu" Ucap Mang Dedi berkata lirih menatap mataku dalam.

Aku tersipu malu karena ungkapan cintanya yang bertubi-tubi itu., "Sayangi aku semaumu Mas..." ucapku mengelus pipinya yang terasa hangat.

"Tapi untuk sekarang saja ya?! Di rumah sudah ada suamiku yang menunggu.." Lanjutku tersenyum mengingatkannya kalau aku adalah istri dari orang lain.

Namun Mang Dedi justru mengendurkan pelukannya, "Aku mau kamu seutuhnya Dek Liya" Ucapnya tiba-tiba serius.

"Ga bisa Mas! Aku masih mencintai suamiku.." jawabku tak kalah serius padanya.

"Kalau begitu kasih aku perhatian yang sama!" Pinta Mang Dedi cemberut menuntutku.

Tiba-tiba hatiku bimbang merasa bingung dan kasihan. Entah bagaimana caranya aku memberikan perlakuan yang sama kepada Mang Dedi sedangkan dia hanyalah selingkuhanku.

Tak mungkin aku akan memperlakukannya sama dengan caraku memperlakukan dan melayani suamiku sendiri. Namun melihat dia seakan cemburu dengan suamiku tersebut, tak pelak membuat hatiku luluh dan sadar bahwa dia memang benar-benar telah jatuh hati padaku.

"Aku akan kasih Mas sesuatu, belum pernah aku kasih sama siapapun termasuk suamiku sendiri" ucapku tiba-tiba teringat dengan tontonan di youtube yang pernah kulihat tempo hari.

Mang Dedi tersenyum merekah mendengarnya, "Wah.. sesuatu apaan tuh?" Ucapnya bertanya nanar penuh dengan rasa penasaran.

Aku lalu tersenyum menggodanya sambil kemudian bangkit dari kasur untuk menjangkau smartphone yang berada di dalam tas yang kubawa. Dengan secepat kilat aku mungusap layarnya untuk mencari pemutar musik yang sebelumnya sudah ku isi dengan beberapa lagu dangdut tersebut.

"Mas tunggu aja!" Ucapku merasa sangat nakal membayangkan apa yang akan kulakukan di depannya.

Begitu suara musik mulai terdengar, aku kemudian menjauhkan badanku dari hadapan Mang Dedi dan mulai menggerakkan sedikit pinggulku untuk berjoget mengikuti alunan ritme musik dangdut yang aku putar.

"Wow.." kata Mang Dedi menganga melihatku meliukkan badan di depan matanya.

Sebenarnya cara ini tak sengaja kulihat di youtube sebagai referensi dalam memuaskan suami di ranjang. Dan akupun sudah beberapa kali melatih diri agar gerakanku tidak terlalu kaku saat aku mempersembahkannya pada suamiku nanti.

Namun pada akhirnya, ternyata bukan kepada suamikulah aku mempersembahkannya. Melainkan kepada tukang sayur yang juga berstatus sebagai selingkuhanku.

"Suka gak?" Tanyaku penasaran masih bergoyang pelan di hadapan Mang Dedi.

Mang Dedi mengangguk girang menandakan kalau dia benar-benar menyukainya. Sedangkan aku merasa gemetar menahan malu merasakan detak jantungku berdebar dengan kencang melakukan goyangan-goyang erotis.

"Kamu sudah gila Liya!" Batinku berteriak menolak segala perbuatanku ini.

Rasanya begitu tabu dan penuh pelecehan, Aku yang harusnya menjadi perempuan yang menjaga iman agama itu justru malah berubah bak seorang biduan dangdut yang mengundang hasrat birahi. Aku yang harusnya menjadi seorang istri yang baik itu, justru malah menari-nari di depan lelaki lain selain suamiku sendiri.

Namun anehnya mukaku malah terasa semakin memanas dan seluruh bulu kudukku seketika merinding, tanda kegembiraan dan gairah seksualku yang sudah mulai meninggi. Ditambah lagi dengan perasaan hina pada tubuhku yang seolah bangga dan tak mau berhenti di tatap nanar oleh mata Mang Dedi.

Merasa nafsuku yang sudah berada di ubun-ubun, sedikit demi sedikit aku mulai menghilangkan rasa malu dan sungkan yang ada di dalam diriku. Sedikit demi sedikit, aku mulai memberanikan diri menampakkan lekuk tubuhku yang sedari tadi tersembunyi di balik gamis dan hijab yang ku pakai.

"Seksinya kamu Dek Liya" komentar Mang Dedi masih terpana mengelus penis yang masih tersembunyi dibalik celana pendeknya.

Aku kemudian semakin bersemangat melihat reaksi serta mendengar pujian Mang Dedi itu.

Dengan kedua tangan, aku tangkap bongkahan daging payudaraku dan memijit mereka bersama-sama dari balik gamis yang masih menutupi badanku. Di dalamnya, Puttingku ikut mengeras seolah tak mau ketinggalan merasakan sensasi seperti ingin dipertontonkan juga.

"Ougghh.. Mashh..Akuu nakall.." bisikku lirih sambil terus memainkan payudaraku diiringi muskin dangdut yang semakin menambah panasnya suasana.

Kulirik sejenak Mang Dedi yang bersandar pasrah di atas kasur sambil jakunnya naik turun menelan ludah, dengankan tangan kanannya tidak henti-henti mengelus dan meremas batang kejantanannya yang sudah semakin terlihat menonjol.

"Iyahh.. emang nakal kamu Dek.. kamu benar-benar binal.." Ucap Mang Dedi dengan kotornya.

Akan tetapi kata-kata itu justru malah membuatku semakin bernafsu dan liar. Melakukan adegan menggairahkan seperti ini saja sudah membuat aku merasa tubuhku menjadi begitu panas dan keringatku mengucur dengan derasnya. Apalagi di tambah dengan komentar-komentar lucah Mang Dedi itu.

"Lihat pantatku juga Mass.." ucapku lalu membalikkan tubuhku. Masih sambil bergoyang-goyang membelakangi Mang Dedi.

Entah darimana aku mendapat ide untuk melontarkan kalimat-kalimat mesum nan mengundang itu. Tapi yang jelas, aku semakin terangsang dan bersemangat ketika mengucapkannya di depan Mang Dedi.

Saat ini pula, aku sangat yakin kalau Mang Dedi menginginkan tubuhku untuk direngkuhnya segera. Dan akupun juga sangat menginginkan itu darinya. Namun persembahan ini baru saja dimulai, karena selanjutnya aku membuka perlahan resleting gamisku dan menurunkannya dengan gerakan yang begitu pelan.

Untuk pertama kalinya, aku dapat melihat dengan jelas arah mata Mang Dedi yang mengikuti gerakanku tengah melucuti diri dari gamis yang aku pakai. Aku merasa jika dadaku seolah mau meledak karena perasaan senang, bangga, bingung, malu, dan semua emosi lain yang bercampur menjadi satu.

Seharusnya, seorang wanita alim tak pantas berbuat seperti ini. Seorang istri sholehah juga tak sepatutnya memamerkan tubuh miliknya kepada orang lain selain suami.

Namun disinilah aku sekarang, bertelanjang diri hanya memakai dalaman di depan laki-laki lain dan merasa tersanjung karena tatapan nakalnya.

"Ayo tunjukan kenakalanmu Dek Liya" pinta Mang Dedi menyemangatiku. "Aku tau kalau sebenarnya kamu adalah wanita nakal" seringainya melanjutkan.

Malu tapi mau, sungkan tapi pengen, hina tapi bernafsu. Itulah perasaan yang aku alami ketika mendengar kalimat dan perkataan Mang Dedi padaku.

Dan masa bodoh dengan semua itu karena aku sudah sangat terangsang. Sudah tak peduli dengan image seorang perempuan alim dan istri setia. Yang jelas, saat ini aku ingin segera digumuli oleh Mang Dedi untuk mengarungi kenikmatan birahi bersama-sama sampai ke tepian samudera syahwat yang memberikan kenikmatan duniawi yang luar biasa.

"Mashh.. aku sangeee..." Ucapku merengek menahan gesekan birahi makin menyambangi badanku yang terbuka di depan mata Mang Dedi.

Masih dalam balutan lagu dangdut yang berdurasi panjang itu, aku terus melucuti diri dengan gaya yang lambat penuh godaan. Sengaja kubuat ekspresi sebinal mungkin sambil menjulurkan lidah dan menggigit bibir bawahku saat aku bergoyang meliuk-liuk.

Kali ini giliran penutup dadaku yang meluncur jatuh dengan cepat. Membuka dan mempertontonkan bongkahan daging payudara kecilku yang ikut-ikutan terbebas, melompat dengan indahnya dari sana.

Mendadak, aku merasa hembusan angin yang ada dikamar tidur Mang Dedi itu begitu dingin membangkitkan bulu kudukku dan membuat puting payudaraku mencuat, dan yang pasti vaginaku makin terasa basah.

"Cantik sekali kamu Dek Liya.." ucap Mang Dedi masih mengomentariku. "Ayo sini Dek.. sudah gak sabar aku pengen ngentotin kamu.." pinta Mang Dedi sambil melambaikan tangannya kearahku.

Namun aku menggeleng pelan dan manja, "Belum saatnya Mas" Ucapku semakin menggodanya.

Kutangkap bongkahan daging pipi pantatku dan mulai kuremas gemas di depan matanya. Kugoyangkan pinggulku dengan sangat genit sembari terus meliuk dan bergoyang erotis.

"ASTAGA..." batinku berteriak.

Melakukan gerakan-gerakan erotis secara langsung di hadapan laki-laki lain seperti ini seolah memberikan sensasi birahi yang sangat menggebu. Rasanya begitu indah, begitu menantang, dan begitu menggairahkan.

Akupun sebenarnya tahu, jika apa yang sedang kulakukan saat ini adalah sebuah perbuatan dosa, sebuah dosa yang akan membawa kenikmatan bagi diriku, dan Mang Dedi selingkuhanku. Tapi birahiku sendiri sudah menghipnotis alam bawah sadarku untuk tetap bergerak memberikan tontonan-tontonan erotis pada Mang Dedi.

"Jangan dibuka hijabnya sayang" tahan Mang Dedi saat aku akan bergerak membuka hijabku.

"Kamu lebih cantik pakai hijab seperti itu.. lebih seksi.. lebih menggairahkan.." lanjutnya mendengus-dengus meremas penisnya sendiri.

Aku tidak mengerti kenapa Mang Dedi tetap memintaku memakai hijab lebar ini. Bukankah rasanya lebih seksi kalau aku bertelanjang bulat di hadapannya tanpa tertutupi sehelai benangpun?

Namun karena ini adalah persembahan untuk Mang Dedi, jadi aku akan memenuhi permintaannya tersebut tanpa berpikir lebih panjang.

Dari yang tadinya aku ingin membuka hijabku, kini aku malah beralih meraih kedua pinggiran celana dalamku yang berada di pinggang.

"Yang ini dibuka gak Mas??" Tanya tersenyum nakal menggodanya.

Mang Dedi tercekat sebentar menelan ludah, "Oh pastinya dong sayang" jawabnya penuh kegirangan.

Perlahan-lahan kemudian akupun menggoyangkan badanku ke kiri dan ke kanan sambil sedikit demi sedikit kuturunkan balutan celana dalamku dari bagian selangkangan.

"Oughhhh..." aku bergetar. Merasakan semilir angin menyapu bagian vagina dan pantatku yang mulai terbuka di hadapan Mang Dedi sambil menengadahkan kepala dan memejamkan mata menahan nikmat.

Seketika aku sudah bertelanjang di hadapan Mang Dedi. Telanjang di depan mata lelaki lain selain suamiku. Dan telanjang di hadapan pria yang sebentar lagi akan menikmati tubuhku ini.

Tiba-tiba aku merasa tertantang. Ingin menunjukkan organ terpenting dari tubuh wanitaku itu kepada Mang Dedi. Ingin menunjukkan celah kenikmatanku yang berkedut membasah karena menantikan sodokan dan tusukan penis besarnya di vaginaku, lalu menumpahkan sperma panasnya di dalam rahimku.

"Ngangkang dong Dek.." perintah Mang Dedi memiringkan kepalanya.

Seolah mendapat hipnotis, entah kenapa aku kemudian menarik lebar-lebar kedua kakiku untuk mengangkang begitu lebar sambil berdiri di hadapan Mang Dedi.

"Woooww... becekkk..." komentarnya sekali lagi.

Aku mengangguk pasrah, "I--iya Massh.. Sudah becekkhh.." ucapku menahan diri sangat malu.

Sengaja tak kuliah wajah Mang Dedi yang tengah memperhatikan selangkanganku yang ternyata sudah melelehkan cairan begitu banyak sampai terasa hangat di pahaku.

"Kamu benar-benar wanita nakal Dek Liya. Gak cocok sama hijabmu itu." Ucap Mang Dedi tersenyum melecehkanku.

"Taa--tapi Mas suka kan?? Ouugghhh.." balasku melenguh mempertahankan posisiku yang mengangkang sambil berdiri itu.

Mang Dedi tertawa sedikit, "Suka banget sayang. Ayo lanjutin lagi jogetnya" sambungnya kembali bersandar di pinggiran kasur.

Mendapat perintah dari Mang Dedi, aku kembali berusaha menggoda Mang Dedi sambil terus menggoyang-goyangkan pinggulku. Namun sekarang dengan objektif yang berbeda karena aku merasakan gatal di beberapa bagian sensitifku.

Sekarang rasanya bukan lagi untuk memuaskan Mang Dedi dengan persembahan erotisku, namun justru untuk memuaskan hasratku sendiri yang sudah berada di ubun-ubun.

Aku meremas payudara dan pantatku beberapa kali seperti seorang pelacur yang sedang memberikan undangan gratis kepada lelaki lain untuk dapat menidurinya.

"Entotin aku Masshh... entotin akuuhhhh...." ucapku membatin dalam hati sembari terus bergoyang erotis.

Aku seperti cacing yang kepanasan. Sekarang, karena nafsuku sudah tak tertahankan lagi, aku menjadi buta akan rasa malu ataupun sungkan. Sekarang, aku berani untuk bermain-main dengan puting payudaraku, aku berani untuk meremas pantatku, dan aku berani untuk mengobel liang vaginaku sendiri di hadapan Mang Dedi.

"Oooggghh... ooouugghhhh... sshhhh...." desahku pelan sambil menggelinjang-gelinjang keenakan.

Kutusuk vagina basahku dengan jemari-jemari tanganku sambil sesekali ku gosok bagian bibirnya. Dibagian dada, kupilin-pilin puting payudaraku berulang-ulang. Semakin lama semakin enak, enak dan enak.

Tapi kemudian aku tersadar, kulihat Mang Dedi bengong tidak percaya melihatku memainkan diri sendiri di depannya. Sungguh akupun ikut merasa malu karena aku sampai-sampai terbawa suasana oleh sentuhan-sentuhan ku sendiri.

"Memang binal kamu Dek.." Ucap Mang Dedi menggeleng-geleng.

EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28