javascript hit counter

Penunggang Liya Seorang Ibu Muda

EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Chapter 15



Liya






Gairah yang baru saja menyelimutiku dan Mang Dedi terpecah saat aku menatap layar ponsel pintarku. Dengan perasaan dag dig dug berdebar kencang dan ketakutan, ku picingkan mataku saat melihat kalau "Suamiku" tengah memanggil disana.


Sedangkan saat ini, aku tengah berduaan dengan Mang Dedi yang mengeram penuh ketidakukaan saat momen intim kami tersebut harus terhenti oleh nyaringnya nada deringku.
"Biarkan saja!" perintah Mang Dedi kembali melumat bibirku.


Aku kemudian menurut, kuurungkan niatku untuk mengangkat telepon tersebut karena rasanya tidak mungkin juga aku mengangkatnya dalam keadaan seperti ini. Jadi kubiarkan saja panggilan dari suamiku itu berakhir, membuat degub jantungku sedikit merasa lega.


Namun selang beberapa saat saja, ponselku tersebut kembali berbunyi. "Kayaknya penting Mas" ucapku kebingungan.


Mang Dedi mendengus kesal, "Yasudah angkat saja!" jawabnya menurunkan badanku dari gendongannya.


Aku mengigit bibir. Mendadak keraguan menyerangku, namun akhirnya aku tetap memberanikan diri memilih mengangkat telepon itu karena sudah kedua kalinya suamiku menelepon.


Yang berarti hal tersebut cukup penting ataupun mendadak.


"Ha--halo! Assalamualaikum Abi" ucapku bergetar mengangkatnya.


Dibalik sana, aku mendengar suara renyah suamiku. "Waalaikumsalam Umi! Umi masih di pasar ya??" tanyanya penasaran.


"Masih Abi. Emangnya kenapa?" tanyaku balik. Sejenak ku lirik ke arah Mang Dedi yang menatapku dengan memelas.


"Ini Mi, Abi lupa banget kemaren punya janji sama temen kantor" Jawab suamiku.


Aku mengangkat alis, "Lah trus Bi??"


"Iya, jadi hari ini Abi mau keluar sebentar. Nanti pulangnya malem" terang suamiku.


Entah kenapa, hatiku melonjak riang mendengar hal tersebut, "Trus Abi mau pergi sampai jam berapa???" tanyaku lagi.


"Paling jam delapan atau gak jam sembilan, Mi" jawab suamiku lagi.


Kualihkan pandanganku sejenak pada jam dinding yang ada di kamar Mang Dedi, sekitar tiga jam lagi aku mempunyai waktu bebas dengan penjual sayur langgananku tersebut. "Yasudah kalau gitu Bi" balasku tersenyum.


"Iya Mi! Umi tenang aja, Caca bakal Abi bawa kok" ucap suamiku terkekeh.


"Yaiyalah Abi! Masa Caca mau di tinggal di rumah sendirian" balasku ikut tertawa.


Tiba-tiba saja, kurasakan tangan Mang Dedi bergerak di belakangku sambil mengangkat kedua ujung gamisku keatas dengan cepat. "Aaahh!" pekikku kaget.


"Umi kenapa??" Tanya suamiku ikut kaget di seberang sana.


Kutatap tajam mata Mang Dedi yang ada di belakangku mengisyaratkan padanya untuk berhenti, "Gapapa Bi! Ini kantong belanjaan Umi sobek" jawabku berbohong.


Akan tetapi Mang Dedi tetap saja tidak mengindahkan permintaanku. Malah dia semakin bergerak agresif dengan tiba-tiba melorotkan celana dalamku dari atas pinggul dengan satu kali tarikan saja.


"Pasti keberatan ya Mi!" sahut suamiku.


Aku sedikit menggigil merasakan bagian pantatku tiba-tiba saja diterpa angin karena tidak berpenutup lagi. "I-iya Bi! Belanjaannya banyak" Ucapku sekuat tenaga berkonsentrasi dengan telepon suamiku.


Gelora syahwatku mulai melabrak nilai-nilai tabu yang berusaha aku jaga agar suamiku tidak curiga, namun sensasi luar biasa menjalari sekujur tubuhku sebanding dengan sentuhan fisik telapak tangan Mang Dedi yang merayap pada permukaan kedua daging pantatku.


"Coba kalau tadi Abi ikut, pasti Umi gak perlu capek bawa belanjaannya" ucap suamiku tak sadar apa yang sedang ku perbuat dibalik telepon ini.


Rasanya begitu pribadi, begitu rahasia, begitu tabu dan begitu sakral saat tiba-tiba kuimajinasikan kembali adegan ketika aku mengulum penis Mang Dedi, disaat yang bersamaan pula ketika suamiku juga berada di dekatku.


"Hehehe. Umi kuat kok Abi sayang!" balasku ingin bermanja.


Suamiku, tak pernah tau kalau saat ini tubuh istrinya yang tercinta ini sedang digerayangi oleh laki-laki lain. Yang secara tidak sadar pula ikut menikmati sensasi berselingkuh saat dengan berani berbicara langsung dengannya.


Sungguh aku sudah kehilangan akal sehat, begitu kurang ajar dan tidak tahu malu sama sekali.


Tapi aku begitu menikmatinya, "Abi sudah mandi??" tanyaku memperpanjang pembicaraan kami.


Muncul perasaan aneh yang lebih kuat untuk membiarkan diriku digerayangi Mang Dedi sambil terus berbicara dengan suamiku.


Rasa takut ketahuan dan rasa malu penuh ketabuan berbaur dengan sensasi-sensasi aneh lainnya. Membuat diriku semakin bergejolak meninggi, bahkan lebih tinggi daripada ketika aku bersetubuh tadi.


"Belum Mi. Baru aja mau mandi" suara suamiku terdengar makin kabur ditelinga.


Fokusku terpecah saat kurasakan Mang Dedi mengelusi bagian selangkanganku yang mulai basah dengan telapak tangannya.


Masih di dalam pelukannya yang begitu erat, Mang Dedi menciumi bagian tengkukku pelan dengan tak membiarkan ada ruang sedikitpun dicelah tubuh kami.


"Ma-mandi dong Bi! Udah sore" kataku pendek tertahan.


Sebuah gelitikan nikmat menjalar pada tulang belakangku saat Mang Dedi ikut berbisik menimpali, "Kalau kita kapan mandinya Dek Liya??" tanyanya dengan suara bergetar.


Aku lalu menyodoknya dengan sikuku, kutahan senyumku sejenak saat diseberang sana suamiku menjawab. "Iya Mi! ini Abi baru mandiin Caca duluan" ucap suamiku terkekeh.


"Umi juga ngerasa gerah nih Bi! Nyampe rumah juga mau cepet-cepet mandi" kataku pada suami.
Dibelakangku, kudengar Mang Dedi kembali berbisik. "Biar aku yang mandiin kamu Dek" ucapnya menggodaku.


"Tapi sebelum itu kita buat kotor dulu badanmu" sambungnya kemudian memegangi pinggangku.
Kurasakan tangan Mang Dedi menarik bagian pinggangku ke belakang seakan-akan menyuruhku untuk menungging dalam keadaan berdiri.


Aku menggigit bibir bawahku dengan pelan saat aku bergerak menuruti kemauannya begitu saja sambil tetap berusaha fokus dengan pembicaraanku dengan suami.


"Yasudah kalau gitu Abi mandi dulu ya Mi!!" ucap suamiku dibalik telepon.


Tak mau sensasi gila ini cepat berakhir, aku kemudian menahan suamiku, "Ntar dulu Bi! Temenin Umi bentar--eeenggh" ucapanku terpotong dengan sebuah lenguhan.


Kurasakan ujung jari Mang Dedi membelai pintu lubang anusku dengan begitu pelan. Menimbulkan rasa geli yang membuat badanku terlonjak kaget saat menerima serangan yang mendadak itu.


"Umi kenapa??" suara suamiku kembai panik.


"Enghh.. Enggak apa-apa Bi! Ada semut tadi" jawabku berusaha menatap balik ke arah Mang Dedi.


Tapi Mang Dedi malah tersenyum meletakkan jari telunjuk di bibirnya, "Ssssttt.., Jangan berisik!!" ucapnya begitu pelan.


Dengan lembut tangannya mengelus pantatku lagi sebelum tiba-tiba dia memukulnya dengan agak keras. "Awwhhh!!" teriakku cukup kencang.


"Umi kenapa sih??" tanya suamiku semakin curiga.


Aku mendengus marah, "Semutnya masuk ke dalam baju Bi!! Umi digigit" ucapku menahan rasa panas pada bagian pantatku. Tamparan Mang Dedi terasa cukup keras sehingga aku yakin kalau pantatku memerah dibuatnya.


"Makanya Umi jangan terlalu manis jadi orang. Dikerubutin semut kan!" kata suamiku terkekeh di balik telepon.


Sedangkan aku mengigit bibir bawahku ketika Mang Dedi mengelus pelan bekas tamparannya yang masih terasa agak perih itu. Badanku semakin merinding saat kucoba meresapi elusannya yang begitu nikmat dan sakit disaat yang bersamaan.


"Emangnya Umi manis ya Bi??" tanyaku manja. Seolah menjadi kebutuhan saat aku menikmati gerayangan Mang Dedi sambil berbicara dengan suamiku tersebut.


"Iya dong. Kan istrinya Abi!" balas suamiku terkekeh lagi. "Oh iya Mi! Umi mau pulang jam berapa?" sambung suamiku bertanya.


Dibawah sana, kurasakan tangan Mang Dedi meremas-remas bongkahan pantatku sambil sesekali menamparnya dengan gemas. Beberapa kali juga kurasakan ujung-ujung jemarinya dengan amat nakal singgah pada permukaan lubang pantatku.


Membuat tubuhku menggelinjang karena rasa geli, "Ja-jam..., Emmmhh..., Enam kali Bi!" ucapku menahan desahan.


Tak berhenti sampai disitu saja, Mang Dedi kemudian bergerak mundur menarik kedua pahaku agar saling berjauhan. Dia memposisikan dirinya berjongkok diantara selangkanganku yang saat ini dalam keadaan setengah mengangkang dengan pantat menungging ke belakang.


Mulut nakal penjual sayur langgananku itu juga tak tinggal diam mengecup daging pantatku yang bulat, mulus dan kencang itu.


"Masih banyak ya belanjaannya??" tanya suamiku tidak berhenti.


Sementara sambil tetap berkonsentrasi, aku berusaha menggigit bibirku sendiri agar desahanku tak terdengar saat kurasakan ada yang menyentuh lubang anusku dari belakang.


Walau pandanganku cukup terbatas saat itu, namun aku begitu tau kalau benda kenyal, panas dan licin itu adalah lidahnya Mang Dedi.


"Emmmhhh.. Masih Bi!!" jawabku menengadah merasakan nikmat.


Tubuhku meliuk dan meregang merasakan rangsangan terhebat yang baru kali ini kurasakan saat lidah Mang Dedi yang panas mulai menyusuri belahan pantatku.


Tanpa rasa jijik sedikitpun Mang Dedi menjilati lobang anusku, membuat tubuhku tergetar hebat oleh rasa geli-geli nikmat yang menjalar di seluruh tubuhku.


Diseberang telfon, masih saja kudengar suara suamiku mengoceh dengan kata-katanya, "Emangnya Umi beli apa aja??" tanyanya antusias.


"Biasa Bi!! Beli sayur, beli ikan.." balasku berusaha secepat mungkin.


Tekanan-tekanan lidah Mang Dedi membuatku keenakan hingga darahku terpompa dari ujung kepala sampai ujung kakiku. Sempat kaget pula ketika telapak tangannya tidak berhenti menampar pantatku pelan hingga berkali-kali.


Sedangkan lidahnya terasa ingin menusuk masuk ke lubang anusku dan menari-nari nakal di pintunya.


"Pasti mau beli terong lagi" ucap suamiku.


"Ko--kok Abi tau sih?? Emmpphh..," balasku 
tergugup hampir saja mendesah.


Liang vaginaku ikut berkedut-kedut geli saat rangsangan lidah Mang Dedi semakin hebat mencium dan menyedot-nyedot lubang anusku dari arah belakang.


Secara otomatis, kakiku semakin melebar untuk memberikan ruang bagi kepalanya agar lebih leluasa menyeruak masuk.


Aku seperti semakin bergairah. Karena baru kali ini aku bermain gila dengan laki-laki lain sambil berbicara dengan suamiku sendiri.


"Ya tau dong Mi!! itukan kesukaan Umi!" kata suamiku.


Aku sekali lagi melenguh, "Enggghh.. Abisnya Mang Dedi gak jualan sih. Makanya Umi nyari ke sumbernya langsung" balasku semakin tak bisa menahan nafsu.


Mataku terpejam dan mulutku berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara desahan. Aku takut suamiku curiga namun menikmati sensasi penuh debaran seperti ini.


Akupun tidak mau memprotes apa yang dilakukan Mang Dedi pada anusku di bawah sana meski sesekali aku merasa cukup jijik dengan perbuatannya.


"Terus nemu gak Mi?" tanya suamiku.


Aku berdehem kecil memperbaiki suaraku, "Eng-enggak nemu Bi! Gak ada yang kayak terongnya Mang Dedi" balasku tidak sadar.


Konsentrasiku sudah begitu hilang saat kurasakan tenggorokanku begitu kering. Jelas aku tidak merasa haus. TIdak, aku memang merasa haus. Tapi bukan air yang aku butuhkan, melainkan belaian tangan dan jilatan lidah Mang Dedi yang aku inginkan menyirami dahaga syahwatku yang meronta kekeringan.


"Hahahha. Emangnya terong Mang Dedi beda dari terong lain Mi??" suamiku tertawa terbahak-bahak dibalik sana.


Tiba-tiba saja kurasakan jari-jari Mang Dedi bergerak meraba permukaan vaginaku, "Ennngggghhh... beda lah Bi!" balasku melenguh terdengar seperti sedang berpikir.


"Bedanya dimana coba??" suamiku penasaran.
Aku terdiam sebentar merasakan tubuhku bergetar saat sedikit demi dikit jari telunjuk Mang Dedi bergerak mencolok-colok ke dalam vaginaku.


Kenikmatanku itupun bertambah dua kali lipat karena disaat yang bersamaan lidah Mang Dedi masih menyapu-nyapu lubang pantatku.


Tanpa aku sadari, aku berjinjit mengangkat pantatku sambil kaki kananku berada dibagian bahu Mang Dedi. posisiku makin menungging ke arah kepala Mang Dedi dengan sebelah tangan bertumpu ke meja yang ada di depanku dan sebelahnya lagi menekan ponsel di telinga.


"Ba-banyak lah bedanya Bi!!" jawabku hampir lupa dengan suamiku.


Dia terdengar mendengus dibalik sana, "Terong mah sama aja kali Mi!" balasnya.


"I-iya.., tapi kalau sama Mang Dedi lebih gede, lebih seger Biihh!!" ucapku menggelinjang.


Hampir saja aku mengeluarkan lenguhan panjang saat salah satu jari Mang Dedi mengelus kerutan di lubang pantatku.


Aku merinding geli ketika jari Mang Dedi itu kemudian menyusup masuk ke dalam anusku yang basah dan licin oleh air liurnya. Terasa sedikit mules pula ketika ujung jemarinya yang besar itu menusuk anusku menggantikan lidahnya yang kini menciumi daging pantatku dengan pelan.


"Wahahha.. kok jadi ambigu sih omongan Umi" ucap suamiku yang tak lagi kuhiraukan.
Dengan gerakan yang sangat lembut, jemari Mang Dedi perlahan mulai masuk semakin dalam di lubang pantatku.


Aku mendesis kesakitan. Pantatku berdenyut-denyut seolah protes ingin menyingkirkan benda asing yang berusaha masuk ke dalamnya.


Sensasi aneh di selangkanganku bergerak naik ke daerah perutku menyebabkan sedikit otot pantatku menegang.


"Massh.." rintihku memprotes.


Tidak sadar kalau suamiku masih mendengarkan suara ku lewat telepon, "Mas siapa Mi??" tanyanya terheran.


"Gapapa Bihh.. sshh" desisku mulai tak dapat di bendung.


Dibelakang sana, Mang Dedi berusaha meyakinkanku agar tetap tenang dan tak bersuara. Dengan lembut dia memberiku semangat dengan mendaratkan kecupan-kecupan ringan pada bongkahan daging pantatku.


"Umi kok kayak orang kepedesan sih?? Lagi makan ya??" suamiku kembali bertanya heran.


Bersamaan dengan itu aku menahan nafas merasakan jari Mang Dedi menguak anusku semakin masuk ke dalam.


Rasanya pedih dan sedikit panas walau sudah terlubrikasi oleh ludah Mang Dedi sedari tadi. Hingga pada akhirnya, kurasakan satu jari Mang Dedi telah berhasil masuk secara utuh di dalam lubang anusku.


Aku kembali melenguh, "Engggghhh.. enggak Bi!! Umi lagi mules nih!" ucapku di telfon.


Ketika Mang Dedi merasa sudah cukup dalam 
membiarkan salah satu jarinya masuk di lubang anusku, dia menghentikan gerakannya beberapa saat, membiarkan aku mulai terbiasa dengan jarinya hingga nafasku kembali teratur.


"Emmppphh.. peelaann!" ucapku menahan tangan Mang Dedi.


Diseberang sana, suamiku semakin heran mendengarku. "Umi lagi ngapain sih ini??" tanyanya sewot.


Kurasakan jari Mang Dedi yang telah memasuki anusku tersebut bergerak. Ditekannya begitu rupa dengan gerakan agak memutar untuk melebarkan lubang yang sangat sempit itu. Dikeluarkannya jari yang sudah masuk, kemudian dimasukannya kembali, ditekan, masuk keluar dan direnggangkannya.


"Emmmmhhh.. ga ngapa-ngapain Bih!! Sshhhhhh"
Lagi-lagi aku mendesis pelan karena terasa pedih.


Anehnya, ujung jemari Mang Dedi memijat suatu bagian di kedalaman anusku yang membuatku berdesir karena terasa enak. "Uu-udah dulu ya Bi! Umi mau ke toilet" sambungku melanjutkan.


"Yasudah kalau--"


TUUUTTT!!!! Panggilannya ku putuskan begitu saja, membuat suamiku tidak menyelesaikan pembicaraannya.


Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran suamiku saat ini. Dia pasti sangat keheranan dengan sikapku. Akan tetapi nafsu birahi sudah menguasai seluruh inderaku sehingga masa bodoh dengan semua itu.


Untuk jaga-jaga segera ku matikan handphone ku, karena bila dia menelpon balik aku belum punya alasan yang cukup bagus untuk membohonginya.
Setelah itu, aku memalingkan wajahku menatap wajah Mang Dedi heran, "Mas jangan disitu jorok ihh!!" protesku langsung berteriak.


Memang rasa pedih itu telah berkurang. Otot-otot dinding anusku pun mulai rileks tak lagi meronta. Namun ini adalah pertama kalinya aku di perlakukan seperti ini di lubang pembuanganku tersebut.


"Tapi enakkan Dek Liya??" tanya Mang Dedi menyeringai seolah dia tahu kalau dia telah melakukan hal yang benar.


"Enak sih enak Mas, tapi itu kan---Awwwhhhhhh... ngiluu" ucapanku terpotong oleh teriakan ku sendiri.


Pantatku tersentak kaget saat lidah panas Mang Dedi tiba-tiba menyelusup ke dalam alur sempit di selangkanganku yang sudah sangat basah oleh lendirku sendiri.


Mang Dedi menjilat-jilat permukaan bibir vaginaku yang sudah sangat mengembang karena birahi sambil sesekali dilepaskannya vaginaku dari mulutnya dan dia langsung menjilati anusku.


"Ouuuughhh.. Masshhh.. geliih ihhh!!" desahku semakin lancar keluar dari mulutku.


Mang Dedi memutar-mutar jarinya di dalam anusku sehingga membuatku merasa sedikit perih. Jari-jarinya yang gemuk dan panjang itu bergerak semakin bebas sedangkan aku hanya bisa mengerang sambil mempertahankan posisiku.


Sekujur tubuhku bergetar menahan sakit. Namun anehnya, rasa sakit itu malah membuatku semakin bergairah.


Makin lama Mang Dedi pun makin berkonsentrasi di daerah lubang pantatku itu. Secara bergiliran, Mang Dedi memasukan jarinya dan menjilati anusku.


Pun begitu dengan vaginaku yang sesekali juga diraba dan dimasuki oleh jari-jarinya yang lain.


"Massshh... kamuuhh.. ngapaiinn sihhhh??" ucapku mendelik.


Mang Dedi memasukkan jari telunjuk kanan kirinya ke dalam anusku, lalu ditariknya kearah yang berlawanan seperti ingin melonggarkan lubangnya yang begitu sempit, sambil sesekali pula dia meludahi dan membasahi anusku saat lidahnya masuk kedalam rongga pantatku.


Lidahnya diputar-putar menggelitik anusku dan kurasakan ada beberapa jari lain ikut masuk juga, masuk keluar, masuk keluar dengan dijilati, begitu terus sampai aku benar-benar berkelojotan geli.


"Arrrghhh...," desahku tidak berhenti-henti.


"Enak ya Dek??" Tanya Mang Dedi pelan. Suaranya terdengar begitu memabukkan, membuatku semakin bernafsu oleh kegiatannya yang menyodomi pantatku dengan jari-jarinya.


"Lebih enakan mana?? Di pantat atau di memek??" sambungnya kembali bertanya.


Dalam hati aku cukup kebingungan dengan pertanyaan Mang Dedi tersebut. Entah apa maksudnya membanding-bandingkan dua hal yang menurutku sama sekali tidak berkaitan.


Aku memang menikmati ketika vaginaku di mainkan dan disodok olehnya, namun kenikmatan tersebut tidak bisa dibandingkan dengan saat dia memainkan anusku.


Bahkan rasa orgasmeku yang beberapa kali membayang terpaksa harus gagal menemui puncaknya karena rasa sakit yang mendera bagian pantatku.


"Masshhh.. udah jangan di situ lagi!!" rengekku manja pada Mang Dedi.


Namun Mang Dedi tidak mendengarkanku, "Jawab dulu!! Di pantat apa di memek??" tanyanya meminta jawaban.


"Di memek Mass!! Oooouugghhh....., di memeeekkk"


Urat maluku mendadak putus begitu saja. Aku tidak peduli bagaimana mulut seorang perempuan baik-baik sepertiku mengeluarkan kata-kata yang begitu tak senonoh di dengar oleh orang lain.


Yang kutahu adalah aku terlalu bergairah akibat perbuatan Mang Dedi dan aku harus menuntaskannya.


"Hehehe. Kamu yang minta loh ya.." ujar Mang Dedi menjawab.


Dengan cepat, Mang Dedi lalu menarik pinggangku yang tengah berdiri menungging tadi kearahnya tubuhnya. Lalu kemudian dia menuntunku kembali telentang diatas kasur dengan posisi mengangkang begitu lebar.


Kuperhatikan tanpa sadar kalau Mang Dedi telah bertelanjang bulat dihadapanku dengan penisnya yang sudah menegang begitu maksimal. Aku bahkan tidak tau sejak kapan dia melepas celananya itu.


"Mau dijilat apa dimasukin kontol??" sambungnya bertanya sambil tersenyum menatapku.


Amat malu-malu aku menggigit bibir bawahku, "Dimasukin" jawabku pelan.


"Dimasukin apaan Dek??" tanyanya menggoda.
Lagi-lagi dengan tanpa malu aku memonyongkan bibirku, "Sa-sama kontol" balasku berterus terang.


Vaginaku berdenyut-denyut hebat saat aku mengucapkan kata-kata kotor itu.
Aku kali ini sudah tak malu-malu lagi mengatakannya dengan vulgar saking tak tahannya menanggung gelombang birahi yang menggebu-gebu.


Aku merasa seperti wanita jalang yang haus seks. Aku hampir tak percaya mendengar ucapan itu keluar dari bibirku sendiri. Tapi apa mau dikata, memang aku sangat menginginkannya segera.


"Tapi ada syaratnya dulu" ucap Mang Dedi menyeringai.


"Syarat apaa??" tanyaku penasaran.
Mang Dedi lalu beranjak mendekati tubuhku yang mengangkang tersebut dan memposisikan badannya diantara selangkanganku.


"Aku mau masukin ke lubang ini" ucapnya mengarahkan kepala penisnya menggesek lubang anusku.


Seketika aku langsung merinding ketakutan membayangkan bagaimana benda sebesar penis Mang Dedi tersebut dapat muat di lubang pantatku.


Terlebih lagi, aku bahkan tidak habis pikir kenapa dia harus memasukkannya di lubang pembuanganku sedangkan di vagina saja sudah terasa begitu enak.


"Mas jangan mengada-ngada deh" ucapku menggeleng memprotesnya.


Namun Mang Dedi hanya tersenyum, "Hehehe.. emangnya kenapa Dek??" tanyanya semakin gencar mengeluskan kepala penisnya ke lubang anusku.


"Jorok ih Mas!! Masukin kesini aja" pintaku manja mencoba menggapai dan memegang batang penisnya.


Mang Dedi hanya menyeringai ketika tanganku berhasil menggenggam batangnya tersebut, sambil kemudian tak berlama-lama kuarahkan kepalanya menuju bibir vaginaku yang sudah begitu basah oleh lendir.


Pelan-pelan aku melenguh nikmat merasakan desakan batang penisnya yang besar itu mulai ku gerakkan menerobos liang vaginaku sendiri.
Lagi-lagi aku merasa gemetar luar biasa ketika kepala batang penis Mang Dedi mulai membelah bibir vaginaku.


Lalu dengan pelan dan penuh penghayatan dia mendorong pantatnya hingga setengah dari batang Mang Dedi berhasil menerobos vaginaku dengan lumayan mudah.


"Emmmmppphhhhh"


Hampir bersamaan kami mendengus menahan nikmat saat batang penis Mang Dedi sudah terapit oleh dinding liang vaginaku yang sudah sangat licin. Mang Dedi merundukkan badannya hingga kami langsung berciuman dengan begitu menggelora.


Lidah kami saling bertaut, saling mendorong dan saling melumat.
Semakin membanjirnya cairan dalam liang memekku membuat penis Mang Dedi masuk dengan lancarnya.


Aku mengimbangi dengan gerakan pinggulku. Meliuk perlahan mencoba membetulkan arah dari laju penis tersebut.


Agaknya penetrasi penis Mang Dedi ke dalam vaginaku kali ini sudah sedemikan mudah dari sebelumnya. Mungkin karena otot-otot vaginaku mulai terbiasa dengan penisnya yang besar itu karena sudah beberapa kali di terobos dan direnggangkan.


"Ouuggghhh Massshhh" desahku begitu nikmat.


Perlahan-lahan batang penis itu mulai tenggelam seutuhnya dalam vaginaku, sekuat tenaga aku merenggangkan otot-otot vaginaku agar penis itu dapat menggaruk setiap kegatalan yang ada dalamnya.


Aku masih saja merasakan sesak yang begitu memenuhi badanku. Serasa tak sampai-sampai. Selain besar, penis Mang Dedi sangat panjang juga. Sehingga setiap inci batangnya yang masuk, membuat Aku sampai menahan nafas terasa mentok sekali di dalam.


"Ughhh.. jepitan memekmu luar biasa Dek Liya" gumam Mang Dedi di sela-sela ciuman kami.
Badanku panas dan berkeringat luar biasa di dalam himpitan tubuhnya.


Karena saat ini aku masih berpakaian lengkap dengan gamis dan hijabku yang terpasang utuh menutupi tubuh bagian atasku. Sedangkan di bawahnya, ujung dari gamisku terangkat sampai ke bagian pinggang untuk menampakkan selangkanganku yang sudah di tusuk oleh penis Mang Dedi.


Dia tidak membuang-buang waktu langsung bergerak semakin dalam mendorong penisnya. Dengan bernafsu Mang Dedi memompa keluar penisnya sejenak sebelum akhirnya ditusuk kembali semakin ke dalam.


"Enggg... maashh enakkk..."


Gerakan kami semakin lama semakin meningkat cepat dan bertambah liar. Gerakanku sudah tidak beraturan karena yang penting bagiku tusukan itu mencapai bagian-bagian peka di dalam relung kewanitaanku.


Dan Mang Dedi seakan tahu persis apa yang kuinginkan, dia mengarahkan batangnya dengan tepat ke sasaran sambil terus bergoyang memompa.


Tubuhku meremang nikmat bagaikan berada di awang-awang merasakan kenikmatan yang luar biasa ini. Batang Mang Dedi menjejal penuh seluruh isi liangku, tak ada sedikitpun ruang yang tersisa hingga gesekan batang itu sangat terasa di seluruh dinding vaginaku.


"Aduuhh.. auuffhh.., nngghh.. maasshhhhh!!!", aku merintih, melenguh dan mengerang sekali lagi merasakan semua kenikmatan ini.


Semenjak bercinta dengan Mang Dedi pula, aku merasa seolah kenikmatan darinya mampu membalik pemikiranku tentang bercinta dengan suamiku selama ini. Benar-benar berbeda. Jika dibandingkan, bercinta dengan suamiku terasa begitu aneh.


Aku hanya merasa geli, capek, dan terkadang risih. Sehingga secara tak langusung, aku seolah menjadi kurang tertarik jika harus bersetubuh dengan penis kecil suamiku lagi.


Lain cerita jika aku bersama Mang Dedi dan batang penisnya yang berukuran sebesar lenganku itu, aku merasa berbeda. Ritme, teknik, dan ukuran kejantanan mereka jauh berbeda, sehingga ketika bersama tukang sayur ini, aku seolah tidak bisa menolak segala macam kenikmatan yang Dia hujamkan kedalam liang vaginaku.


"Ooouughh Mass...., mauuhh keluaarrrrr"
Kembali aku mengakui keperkasaan dan kelihaian Mang Dedi dalam bercinta.


Dia begitu hebat, jantan dan entah apalagi sebutan yang pantas kuberikan padanya. Bahkan baru beberapa saat sajadia menggenjotku dengan penisnya, puncak kenikmataanku sudah mulai terbayang siap menghampiriku.


Melihat reaksiku yang sudah mulai berkelojotan nikmat, Mang Dedi bergerak semakin cepat. Penisnya bertubi-tubi menusuk daerah-daerah sensitif dalam vaginaku.


Menebarkan desiran-desiran yang mulai berdatangan seperti gelombang yang akan mendobrak pertahananku. Batang penisnya yang besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepatnya seakan tak memperdulikan liangku yang sempit itu akan terkoyak akibatnya.


"Oooohhh.. aaahhhh...., yaaahhhh... begituuhh.. Masshhhh...., cepetaaann.....," pintaku menuntut.
Aku mencoba meraih tubuh Mang Dedi untuk mendekapnya.


Dan disaat-saat kritis, aku berhasil memeluknya dengan erat. Kurengkuh seluruh tubuhnya sehingga menindih tubuhku dengan erat.


Kurasakan tonjolan otot-ototnya yang masih keras dan pejal di sekujur tubuhku.


Kubenamkan wajahku di samping bahunya. Pinggul kuangkat tinggi-tinggi sementara kedua kakiku mengalung di pinggangnya dan menarik kuat-kuat.


"Keeellluaar Mashhhhhhhhhhh.....," teriakku mengejang.


Kurasakan tubuhku menggeletar dengan gerakan yang tak bisa aku kontrol, semburan demi semburan memancar kencang dari dalam diriku membasahi batang penis Mang Dedi yang semakin lancar keluar masuk membelah vaginaku yang terasa begitu ngilu.


Aku kehabisan tenaga tak bisa bergerak seperti tulangku terlolosi dari badan. Begitu lemas dan pasrah saat Mang Dedi tiba-tiba saja membalikkan tubuhku tanpa mencabut batang penisnya dari vaginaku.


Dalam kepasrahanku itu, Mang Dedi mengambil beberapa bantal yang ada di sampingnya untuk mengganjal selangkanganku. Membuat posisiku menjadi setengah menungging dengan badan dan wajah yang terkapar lemas diatas kasur.


Mang Dedi memelukku dari belakang, langsung saja melarikan tangannya menjamahi tubuhku yang masih ditutupi oleh gamisku. Dadaku di belai-belai dan di remasnya dari luar. Leherku yang di tutupi hijab juga tak luput di cium dan sesekali digigitnya dengan pelan. Membuatku agaknya menggeliat kegelian dalam nafsu yang mulai kembali muncul.


Aku memejamkan mata tak bisa memprotes saat merasakan Mang Dedi tiba-tiba membasahi liang anusku dengan cairan lendir yang meleleh begitu banyak dari dalam vaginaku. Begitu cepatnya Mang Dedi bergerak hingga tak sadar aku merasakan dia mencabut penisnya dari dalam vaginaku.


Tiba-tiba saja, kepala penisnya yang keras dan kenyal itu terasa di tusukkannya ke dalam lubang anusku. Kesadaranku saat itu belum sepenuhnya pulih sehingga aku hanya bisa menggerakkan sedikit pantatku menjauh dari batang penis Mang Dedi.


"Mashh.., jaa-jangan dimasukkin!!" pintaku dengan suara yang parau.


Nampaknya Mang Dedi tidak mengindahkan seruanku, Anusku yang masih perawan itu dipaksa untuk melebar selebar-lebanya dengan kedua tangannya. Aku merasa penuh sekali. penisnya itu berdenyut-denyut mulai masuk, seolah hidup, dan menyebarkan kehangatan.


Aku pun menjerit sampai akhirnya kusadari aku menangis terisak-isak karena rasa sakit yang kuterima begitu hebatnya.


"Hoooohh... sakiiittt Mass....., caa---cabutt...,, sakitt... arrggggh"


Beberapa kali aku berusaha menghindarkan diri dari hajaran batang penis Mang Dedi yang rasanya sudah tertancap sedikit di pintu anusku. Namun karena dia menahan pinggulku kuat-kuat, akupun tidak bisa kabur dengan tenaga yang masih sangat lemah ini.


Disela-sela tusukannya tersebut, Mang Dedi berbisik di telingaku, "Jangan tegang Dek Liya, lemaskan pantatmu sedikit!" perintah Mang Dedi sambil merenggangkan daging pantatku.


Aku berusaha menuruti perintahnya. Setelah aku melemaskan sedikit ototku, terasa rasa sakit itu benar-benar sedikit berkurang. Namun masih saja terasa amat perih karena lubangnya begitu sempit tak pernah dimasuki oleh benda apaapun sebelumnya.


"Masshh. Sakittt...,," Aku terus memohon untuk berhenti, namun Mang Dedi masih saja terus acuh.
Dengan menggigit bibir aku berusaha menahan sakit sementara Mang Dedi terus menggerakkan penisnya masuk melalui lubang anusku. Mang Dedi terus menerus mengambil cairan vaginaku untuk melumasi lubang anusku yang mulai terbiasa dengan masuknya penis besar itu ke dalamnya.


Tanpa kekuatan untuk menguasai diri sendiri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, aku mencoba pasrah dan menyerah pada gairah seksual yang semakin menguasai tubuh dan perasaanku. Aku mulai bergerak mengikuti instruksi Mang Dedi agar sedikit melonggarkan otot anusku dalam tarikan nafas yang begitu pelan.


Lama-kelamaan rasa sakitku mulai pudar berganti menjadi rasa nikmat yang bisa dibilang aneh, karena berbeda dengan kenikmatan yang aku peroleh melalui lubang vagina, rasa perih dan enak bercampur ketika lubang anusku ditembusi oleh penis Mang Dedi.


Meskipun baru pertama kali Aku dimasuki di bagian pantat seperti ini, anehnya Aku dapat menyesuaikan diri dengan begitu cepatnya.


"Masshhh....., pelaninn dikitt!!!" pintaku yang sudah tak menolak tapi memintanya menyesuaikan.
Lubang anusku tidak lagi menegang sekuat tadi sehingga mempermudah penetrasi penis Mang Dedi yang luar biasa besar itu. Aku sendiri heran kenapa Aku dapat mengontrol otot anusku sebegitu baik, padahal Aku tak berpengalaman sama sekali.


"Uuuugghhh.. perawan pantatmu ku ambil Dek Liya" lenguh Mang Dedi yang merasakan betapa penis miliknya pasti sangat keenakan di pijit oleh otot anusku.


Sampai pada akhirnya Penis Mang Dedi itupun bergerak dalam hitungan detik berhasil menembus masuk anusku seutuhnya. "Ssshhhhhhhh... Masshhhh....," teriakku agak kencang ketika kurasakan pinggulnya menumbuk pantatku.


Rasa sakitku serentak menjadi-jadi sampai ke ubun-ubun saat kurasakan penis Mang Dedi tertancap utuh di dalam lubang anusku. Rasa sesak dan penuh memenuhi rongga pantatku yang rasanya sedikit sobek dimasuki oleh penisnya seperti tertancap oleh sebuah batang balok yang amat besar.


Dalam keadaan tersebut, Mang Dedi seakan tau kalau aku merasakan kesakitan yang begitu hebat. Sehingga kemudian dia meludahkan air liurnya yang hangat ke bibir anusku. Terasa nyaman membuat rasa sakitku menghilang untuk sementara.


"Masshhh... saakiittt. Maassshhh.." rengekku tak kuasa menahan tangisku yang masih saja keluar membasahi pipi.


Mang Dedi merundukkan badannya mencapai telingaku, "Maaf sayang.. tahan sedikit yaa??" pintanya dengan suara bergetar.


Saat itu juga, entah kenapa pandanganku menjadi agak mengabur dengan kepala yang begitu pusing menahan sakit. Nafasku terengah dan Kesadaranku perlahan memudar sebelum akhirnya tiba-tiba semuanya menjadi gelap gulita.





EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28