Chapter 16
Liya

Aku terjaga saat kurasakan ada sebuah usapan lembut di dahiku. Perlahan mataku mengerjap, menyesuaikan cahaya terang yang mencoba memaksa masuk ke mata. Silau, hingga aku kembali memejam sesaat sambil mengatur nafas.
Bau aroma terapi dari minyak kayu putih langsung memenuhi indra penciumanku begitu kesadaranku kembali sepenuhnya. Dan juga, seluruh badanku terasa amat remuk hingga bergerak sedikit saja rasanya sulit. Terutama di bagian pantatku yang terasa masih perih dan nyut-nyutan.
"Dek?? kamu udah bangun??" sapaan lembut dari suara Mang Dedi terdengar. Juga remasan hangat tangannya yang terasa menggenggam jemari tanganku.
Aku mencoba membuka mata kembali, masih sedikit mengabur namun sudah dapat kulihat ekspresi khawatir yang tersirat di wajah Mang Dedi, "Mas?? Aku??" tanyaku masih bingung dengan keadaan.
"Iya..kamu pingsan sayang." balas Mang Dedi mencoba menenangkanku.
Seketika aku teringat saat sebelumnya kepalaku terasa amat pusing dan berat sebelum akhirnya pandanganku menjadi gelap gulita. Ternyata aku benar-benar pingsan saat berhubungan dengan Mang Dedi tadi. Masih sedikit samar ingatanku tentang apa yang tengah Mang Dedi lakukan kepadaku sebelum akhirnya aku benar-benar tak sadarkan diri.
"JAM?? JAM BERAPA??!!" teriakku semakin sadar.
Mang Dedi mencoba menahan badanku yang berusaha bangun, "Tenang sayang. Baru jam 7 kok." jawab Mang Dedi pelan.
Aku menghela napas panjang. Beruntung aku tidak pingsan terlalu lama sehingga masih banyak waktu sebelum suamiku pulang ke rumah, "Mas tega!" ucapku bersungut.
Aku akhirnya mengingat perlakuan Mang Dedi tadi. Bagaimana dia memaksakan kehendaknya untuk melakukan penetrasi ke dalam lubang anusku yang sempit, Bagaimana pula dia tidak mengindahkan kata-kataku yang sudah sangat kesakitan dan memohon untuk berhenti. Semuanya kembali aku ingat.
"Ma--maafin aku Dek! Aku benar-benar khilaf! Aku tidak bermaksud menyakiti kamu! Sumpah demi tuhan!!" jawab Mang Dedi menggenggam tanganku dengan erat. Tampak dia menatapku dengan raut wajah penuh rasa bersalah.
Aku sungguh merasa kesal, seolah dia sengaja melakukan hal tersebut karena tau kalau aku akan memafkannya. Tapi kali ini tidak ada kesempatan, karena emosiku rasanya sudah siap tumpah ruah. "Aku sudah minta Mas berhenti kan?? kenapa Mas terus memaksa??" cecarku tidak terima.
"A--aku tidak bisa menahannya Dek" jawab Mang Dedi memelas.
Dia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya, "Aku takut suatu saat kamu terlepas dari pelukanku" sambungnya tidak jelas.
"Apa hubungannya Mas??!! perkataanmu gak masuk akal dengan perbuatanmu tadi" balasku menaikkan nada. "Justru dengan cara kasarmu itu, aku jadi ingin lepas dari kamu" sambungku meluapkan kekesalan.
Mang Dedi menunduk, "Kamu itu indah Dek Liya, cantik dan berharga. Tukang sayur sepertiku tidak akan pernah punya kesempatan untuk memilikimu. Jadi aku pikir aku bisa menikmatimu sepenuhnya, agar suatu saat kalau kamu menghilang, aku tidak punya penyesalan lagi" jelasnya panjang lebar.
Seperti habis kata-kata dari mulutku saat mendengar penjelasannya itu. "Ta--tapi kan bukan dengan cara memaksa juga kan??" balasku tergagap. Benar-benar sangat pandai Mang Dedi dengan kata dan rayuannya.
"Iya. Disitu aku khilaf Dek. Aku akui kalau aku salah, jujur saja pasti tak akan ada pria diluar sana yang bisa tahan dengan keindahanmu. Tapi tetap saja aku tidak bisa membenarkan perbuatanku yang tadi. Aku minta maaf" ucap Mang Dedi mencoba meminta maaf sekali lagi.
Aku tersipu mendengarnya, "La--lagian kan aku tidak akan meninggalkan kamu Mas!!"
"Kita tidak pernah tau Dek Liya. Bisa saja setelah ini kamu kembali pada suamimu dan meninggalkan aku" balasnya berkecil hati.
Kali ini dia berhasil menarik simpatiku, emosi yang seharusnya sudah aku luapkan beserta kekesalanku padanya menghilang begitu cepat setelah mendengar alasannya. Aku yang harusnya bisa marah karena perlakuan paksanya tersebut justru malah merasa sedikit kasihan melihat Mang Dedi seperti takut kehilanganku.
"Sudah semudah ini kah aku luluh padamu Mas??" tanyaku dalam hati karena tidak percaya dengan diriku sendiri.
Tapi inilah kenyataannya sekarang, aku tetap saja tak bisa marah pada si penjual sayur itu karena hati, jiwa dan ragaku sudah berhasil di taklukkannya. Melihat dia memohon seperti ini saja sudah membuatku menjadi iba dengan sendirinya.
"Aku maafkan" ucapku sedikit bersungut mempertahankan sandiwara marahku.
"Beneran Dek??" senyum Mang Dedi sumringah. Dia langsung ceria dengan begitu cepatnya
Aku mengulum senyum karena gemas dan membuang muka, "Asal gak diulangi lagi!!" balasku bersyarat.
"Diulang apanya??" tanyanya balik.
"Iya, jangan memaksa kayak tadi lagi!!" balasku.
"Berarti kalau nanti dimasukin ke pantat lagi boleh??" tanya Mang Dedi dengan polosnya.
Aku lalu berbalik menatap tak percaya. "Gausah becanda deh!!" jawabku ketus.
Lalu kemudian kami berdua pun tertawa bersamaan. Tertawa seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah pertengakaran sebentar itu tersapu oleh suasana bahagia diantara kami berdua. Kenikmatan yang berhasil aku rangkuh bersama Mang Dedi nyatanya memang telah melembutkan hatiku. Bahkan aku dengan cepat dapat melupakan rasa sakit pada tubuhku meskipun perih pada lubang anusku masih saja sedikit terasa meremang.
Namun semuanya tampak setimpal, usaha awalku yang bertujuan untuk menghibur Mang Dedi yang sakit itupun seakan terbayar lunas saat melihat sosok penjual sayur langgananku tersebut sudah dapat kembali terlihat bugar seperti biasanya.
"Mau mandi dulu apa langsung pulang??" Tanya Mang Dedi mengingatkanku akan waktu kebersamaan kami yang hampir habis.
Kulirik sebentar ke arah jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah delapan, yang berarti masih menyisakan sekitar satu jam lebih sebelum suamiku pulang. "Mandi dulu boleh??" balasku manja pada Mang Dedi.
"Tentu saja!!" jawab Mang Dedi senang.
Sudah habis rasanya rasa malu ku di hadapan pria setengah baya ini. Yang ada dalam benakku hanyalah pikiran untuk berlama-lama dalam pelukannya, meneguk sejenak kehangatan dan keperkasaannya yang tidak pernah membuatku kecewa.
"Yuk mandi bareng aja!" ajak Mang Dedi.
Dia beringsut dari pinggir kasur mendekatiku, kemudian dengan cekatan mengangkat tubuhku dan menggendongnya dengan gaya ala-ala bridalstyle. Selimut yang menutupi tubuhku terjatuh sehingga aku di gendong Mang Dedi dalam keadaan telanjang bulat hanya menyisakan hijabku saja.
"Berat gak??" tanyaku menyembunyikan wajahku di dadanya.
Bisa kurasakan Mang Dedi tersenyum kecil, "Gak berat sama sekali" kata Mang Dedi dengan nada geli sambil terus berjalan ke kamar mandi.
"Maaf Dek, tidak ada air hangat disini" sambungnya dengan nada penuh ledekan saat dia menurunkan badanku di pinggir bak mandi.
Aku mencibir, "Kan udah ada yang bikin hangat" balasku menggodanya. Kami berdua pun kembali tertawa terbahak-bahak.
"Hijabnya di lepas dulu ya Dek!" ucap Mang Dedi pelan.
Aku mengangguk setuju, rasanya seperti diperlakukan layaknya seorang tuan putri saat dengan perlahan Mang Dedi mulai membantuku melapas hijab lebar yang ku pakai dengan melolosinya di bagian kepalaku. Sedangkan aku menatapnya dengan tatapan gemas dan penuh kekaguman karena sikapnya yang amat gentle.
"Cantik" lirih Mang Dedi memujiku.
Wajahku kembali merona mendengar ucapannya, "Apaan sih gombal mulu!! ga capek??" balasku menepuk pelan dadanya.
"Ini pertama kali aku melihatmu tidak pakai hijab Dek" ucap Mang Dedi tersenyum. "Apa kamu benar-benar Liya yang aku kenal??" sambungnya sambil membuka ikatan rambutku hingga membuat rambutku terurai bebas.
Aku memandangnya dan mengangguk pelan menyembunyikan perasaan salah tingkahku, "Iyalah. Emangnya siapa lagi" balasku berusaha tak termakan gombalannya.
"Ahh.. ga mungkin. Liya yang aku kenal itu memang cantik, tapi yang sekarang ini lebih cantik lagi" sambungnya terkekeh. Dia berbalik dari hadapanku lalu mulai melucuti pakaian yang tengah di pakainya satu-persatu hingga diapun bertelanjang bulat.
Aku sengaja memalingkan wajahku ke samping, karena sejujurnya masih terasa aneh saja saat aku melihat tubuh bugil laki-laki lain selain suamiku sejelas ini. Bahkan sebelumnya pun aku sudah pernah melihatnya, akan tetapi aku tidak pernah memfokuskan penglihatanku pada tubuh Mang Dedi.
"Sini Dek!" ajak Mang Dedi mendekat.
Aku terseret maju ketika lengan kekar Mang Dedi meraih kembali pinggangku yang ramping dan menariknya merapat ke tubuhnya. Tanganku terkulai lemas ketika sambil memelukku, Mang Dedi langsung mengecup bagian-bagian leherku sambil tak henti-hentinya membisikkan pujian-pujian akan kecantikan bagian tubuhku.
"Kamu sempurna Dek!" pujinya begitu lembut. "Aku kira rambutmu panjang" sambungnya menyibakkan rambutku ke belakang telinga.
Aku menggelinjang menahan geli, "I--itu udah panjang kok. Uu--udah lewat dari bahu" jawabku dengan suara gugup dan bergetar.
Aku semakin kelabakan saat kecupan bibir Mang Dedi tiba-tiba sampai ke daerah telingaku dan lidahnya secara lembut menyapu bagian belakang daunnya, tubuhku bergetar sedikit dan rintihan kecil lepas dari kedua bibirku.
"Emmmmpphhhhhh.... Mashh.. gelihhh..aahhh"
Mang Dedi menghentikan ciumannya dan tersenyum di hadapanku, "Tapi kamu suka kan??" rayunya.
Aku mengangguk malu mengakui kalau perlakuannya tersebut benar-benar membuatku terbang, tak habis-habis jurus dan rayuannya padaku seperti dia punya segudang amunisi dan teknik meluluhkan wanita. Caranya membujuk dan memperlakukanku pun benar-benar membuatku merasa hangat dalam hati. Frekuensi kasih sayangnya juga tidak berkurang seolah-olah ini adalah kali pertamanya kita melakukan hubungan terlarang ini.
"Kalau begini kamu pasti suka juga Dek" ujar Mang Dedi membawa jemari tanganku menuju mulutnya.
Dia mengecup pelan satu-persatu jari-jariku. Beralih sampai ke punggung telapak tanganku dengan penuh penghayatan layaknya seorang pangeran yang menyambut sang tuan putri. Aku bahkan merintih geli namun begitu tersanjung dan suka dengan perbuatannya itu.
"Ehemmmmm..." ucapku berdehem memecah fokusnya. "Katanya mau mandii!!!" sambungku mengingatkan Mang Dedi kalau kita tak bisa berlama-lama.
Mang Dedi lalu tersenyum, "Ini mau mandiin kamu Dek" balasnya terkekeh. "Tapi pakai gaya mandi kucing" sambungnya tertawa terbahak-bahak.
"Mas bener-bener deh! Ayo mandi ihh! nanti suamiku sampe rumah duluan" ucapku menggeleng-geleng tak percaya.
Dengan hati yang teramat berat dan cemberut Mang Dedi akhirnya mengambil gayung dan mulai menyirami badan kami berdua dengan air dingin. Posisiku yang sengaja ku dempetkan ke badan Mang Dedi membuat air tersebut langsung bisa membasahi badan kami sekaligus. Mang Dedi dengan telaten mengguyur badan kami beberapa kali hingga kami berduapun basah kuyup.
"Biar aku sabunin yah Mas!" ucapku memberanikan diri meraih sabun batangan yang ada di tempat sabun.
Mata Mang Dedi langsung berbinar menatap wajahku. "Wahh... Jadi makin pengen punya istri kayak Dek Liya nih" ucapnya terkekeh.
"Memangnya kenapa Mas??" tanyaku sambil memutar-mutar sabun batangan di tanganku agar mengeluarkan busanya.
"Iya. Pasti enak bisa dimandiin terus tiap hari" tukasnya begitu senang.
Aku hanya menggeleng mencibir Mang Dedi lalu bergerak menyabuni badannya. Pertama-tama aku menyabuni area dadanya yang lumayan bidang dan keras itu, lalu turun ke perutnya yang terlihat agak buncit tapi begitu seksi ketika basah oleh air dan sabun yang mulai berbusa. Selang tak berapa lama, aku mengarahkan tanganku terus kebawah menuju area selangkangannya.
"Dibersihin dulu ya!!" ucapku menahan senyum gemas.
Jari-jariku kemudian menemukan batang penis Mang Dedi yang ternyata sudah membesar dan mengeras. Aku bergidik dan gemas melihat bentuknya yang hitam, besar, berurat dan tak disunat tersebut. Seperti ada sebuah daya tarik berbeda dari bentuk penis tukang sayur itu ketimbang milik suamiku.
Dengan antusiasme yang begitu besar, kubelai batang kejantanan itu dengan lembut sambil mengolesi sabun dan kumanjakan dengan mengurutnya secara perlahan-lahan.
Aku begitu menyukai bentuk dan ukuran penis Mang Dedi yang sangat berbeda jauh dari suamiku. Berkedut ketika aku memijatnya. Bergerak-gerak ketika aku mengusap ujung kepalanya. Mang Dedi bahkan sedikit mendesah penuh kenikmatan ketika aku pelan-pelan mengocok benda yang sudah berkali-kali membawaku terbang ke langit ketujuh itu.
"Katanya mau mandi!! kok malah mancing-mancing sih. Pengen kontol ya??" Bisik Mang Dedi balas meledekku.
Namun karena itu aku jadi tersadar bahwa apa yang ku ucapkan tadi sungguh berbeda dengan apa yang aku lakukan. Penis besar Mang Dedi lagi-lagi membuatku terbius dengan sendirinya. Wajahku terasa amat panas sementara hatiku menjadi bergemuruh, tidak aneh pastinya jika wajahku memerah seperti tomat karena malu dengan tingkah ku sendiri.
"A--apaan sih!! aku kan cuma mau bersihin ini doang" balasku tergugup sambil sedikit meremas penis besarnya di tanganku.
Mang Dedi tersenyum gemas, "Ohh mau bersihin doang" ucapnya mengangguk-angguk. "Kalau gitu sampai bersih ya Dek!!" sambungnya masih meledekku.
Tapi entah kenapa aku malah merasa semakin senang diperlakukan seperti itu oleh Mang Dedi. Meski malu masih melekat di hatiku, namun kali ini aku mulai berani bertindak seperti apa yang aku inginkan tanpa harus menahan gejolak dalam hatiku lagi.
Aku melanjutkan kocokan tanganku di penis Mang Dedi dengan sangat pelan seolah-olah tak mau ada kotoran yang tersisa dari setiap inci batangnya. Kekaguman luar biasa dalam hatiku pada daging lonjong itu membuatku berkeinginan sekali memuja dan melayaninya dengan segenap hati.
"Ughhh... Gabisa ini!" ucap Mang Dedi menarik tanganku dan melepaskannya dari batang penisnya sendiri.
Aku sedikit merasa kecewa, "Kok--" ucapku terpotong.
"Giliran kamu sayang!!" kata Mang Dedi tersenyum membalikkan badanku. "Bagian badan belakang dulu ya!!." sambungnya sambil mulai menggosok badan belakangku dengan sabun.
Aku pasrah saja membiarkan Mang Dedi akhirnya mengambil alih kegiatan "Nyabun" ini. Disuruhnya kedua tanganku keatas lalu diusapkannya sabun yang ada ditelapak tangannya ke ketiak mulusku dengan cekatan. Kiri dan kanan tangannya begitu telaten mengusap hingga membuat badanku bergelinjang menjadi geli dan napsuku terangsang bangkit.
"Hehhehe... enakk gak Dek??" tanya Mang Dedi di sela-sela tangannya yang terus menyabuni badanku.
Aku hanya mengangguk menahan kenikmatan yang menjalar. Dari belakang, Mang Dedi merapatkan tubuhnya ke arah punggungku sehingga posisi tubuhku bersandar pada tubuhnya. "Kamu rebahan gini aja! aku tau kamu capek." Ucap Mang Dedi berbisik di telingaku.
Kembali aku terhanyut dengan betapa mesranya perlakuan Mang Dedi terhadapku, benar-benar rasanya seperti semua tenagaku seakan di isi ulang lewat usapan dan remasan tangannya yang sesekali memijat syaraf-syaraf tubuhku yang sedari tadi dipaksa untuk berkerja keras dalam melayani nafsu si tukang sayur itu.
"Suami mu pernah kayak gini gak Dek?" tanya Mang Dedi memecah keheningan diantara kami.
Aku menggeleng lemah, "Boro-boro" jawabku mengingat-ingat.
Memang, Hadi suamiku bukanlah tipe pria yang suka membuat hangat hati wanita dengan rayuan dan gombalan ataupun perlakuan mesra layaknya Mang Dedi. Malah lebih terkesan kaku dan awkward ketika dia menunjukkan perhatiannya. Tapi bukan berarti suamiku sepenuhnya buruk, karena dalam beberapa hal dia juga dapat bersikap mesra dan membuatku tersipu pula.
"Yasudah kalau gitu biar aku yang giniin kamu terus gimana??" tanya Mang Dedi terkekeh.
Aku menggoyangkan tubuhku memancingnya, "Siapa takut??" tantangku dengan berani.
Layaknya dua pasang pengantin remaja yang sedang berbulan madu. Lagi-lagi gairahku dan Mang Dedi terpancing bangkit seakan tak ada habisnya. Tangan-tangan besar Mang Dedi yang tadi menyabuni tubuhku langsung bergerak meraba-raba buah dadaku.
"Lagi yuk Dek?" ajak Mang Dedi dengan lembut.
Tanpa menunggu persetujuanku, Mang Dedi mulai memancing gairahku bangkit dengan satu tangannya yang sudah sudah berada di selangkanganku dan satunya lagi asik bermain dengan buah dadaku beserta putingnya.
"Mas yang mulai sihh!! aku jadi basah lagi kan!!" rengekku manja padanya.
Sembari lidahnya menjilati leherku, Mang Dedi berbisik pelan "Tapi kamu juga mau kan??" ungkapnya sedikit mencupang bagian leherku dengan sebuat gigitan.
"Mas jangan digigit!! nanti suamiku liat" protesku tidak terima saat dia memberikan tanda merah pada leherku/
"Kamu kan pake hijab Dek, jadi gapapa" balas Mang Dedi terus mempermainkan gairahku.
Aku tak tahu harus berbuat apa, selain menikmatinya. Kini salah satu ujung jarinya sudah mengelus-elus lipatan vaginaku dan aku semakin merasakan nikmatnya. Tubuhku seperti menggigil dan aku merasakan diriku kembali melayang terbawa badai nafsu.
"Kalau kamu takut! kamu bisa pakai hijab terus Dek. Jangan perlihatkan tubuhmu yang indah ini pada suamimu lagi." Sambung Mang Dedi menyarankan.
"Hmmmm... dia suamikuu Masshh!! aku ga mungkin melarangnyaaahh.."
"Bisa saja! kamu harus berani Dek!! Demi akuuu" ucap Mang Dedi sekali lagi.
Terdengar aneh rasanya saat Mang Dedi melarangku untuk berhenti memperlihatkan tubuhku lagi pada suamiku sendiri. Walau rasa-rasanya semua itu mustahil untuk dilakukan, tapi entah kenapa aku jadi membayangkan bagaimana kalau ternyata aku benar-benar melakukannya.
Bagaimana raut muka suamiku nanti saat aku menolak ajakan senggamanya?? menolak memperlihatkan tubuhku padanya?? menolak segala kemauannya untuk menikmatiku sebagai istri sahnya sedangkan diluar sana aku memberikannya secara cuma-cuma pada tukang sayur langgananku??
Ahhh..Aku memang sudah gila!! Begitu terangsang rasanya membayangkan kalau seandainya benar-benar terjadi seperti itu.
"Ooohhh... masshhh!!"
Dalam pikiran fantasiku, Aku lagi-lagi mendesah tidak karuan saat vaginaku membasah, apalagi saat beberapa kali jari besar Mang Dedi yang bermain di bibir vaginaku ikut menusuk masuk ke dalamnya. Pertama hanya satu jari telunjuknya saja, kemudian selang tak berapa lama jari tengahnya ikut menyusul masuk ke dalam hingga dua jaripun ia masukkan.
"Apakah kamu tau perubahan apa yang terjadi pada tubuhmu Dek??" bisik Mang Dedi di telingaku.
Aku acuh saja mendengar perkatannya tersebut karena nikmat yang ada dalam tubuhku semakin menjalar. Aku hanya menyandarkan tubuhku pasrah di dadanya sembari jari-jari nakal tukang sayur itu mengobok-ngobok vaginaku dengan tempo yang pelan.
"Lihat ini sayang!!" perintahnya padaku.
Aku terbeliak kaget tak kuasa menahan teriakan kecilku saat ku dapati Mang Dedi menambah satu jari lagi. Kini jari manisnya ia coba paksakan masuk ke dalam lubang vaginaku hingga ketiganya benar-benar masuk ke dalamnya.
"Enggghh... "Aku berkelojotan saat lubang surgawi sempit milikku itu ternyata merekah dan lebar menampung ketiga jari besar Mang Dedi dengan pas walau terasa amat sesak dibuatnya.
Dibelakangku Mang Dedi terdengar seperti terkekeh. "Memekmu udah melar Dek! Sebentar lagi suamimu bahkan gak bisa lagi merasakan jepitannya" balas Mang Dedi berbisik.
"A--aku gamau begitu Mas!!" protesku merasa sedikit ketakutan.
"Tenang saja sayang! aku membuatnya pas buat dimasuki kontol besar saja! seperti punyaku ini!!" jawab Mang Dedi santai.
Walau terkesan agak nyeleneh, perkataan Mang Dedi tersebut rasanya cukup membuat hatiku sedikit menurut. Tiba-tiba saja sikap Mang Dedi menjadi berubah. Entah itu cuma dugaan saja, namun sudah beberapa kali dia mencoba melakukan hal-hal yang menurutku tidak masuk akal. Pertama dia melarangku memperlihatkan badanku sendiri pada suami, dan sekarang dia mencoba membuat lubangku menjadi khusus hanya pas untuk dimasuki penisnya saja.
Seakan dia mencoba membuatku jadi miliknya seutuh dan sesuai kemauannya.
Tapi pikiran yang mengganggu itu dengan cepat menghilang tersapu oleh gerakan tangan Mang Dedi yang mengobok-obok vaginaku dengan ritme yang dibuat cepat. Aku yang sudah mencoba menahan dartadi akhirnya dapat merasakan kalau sebentar lagi gelombang orgasme siap menghantam setiap syaraf di tubuhku. Campuran rasa nikmat, geli dan gelitikan kecil itu mulai berkumpul di titik rahimku menunggu saat-saat untuk di hempaskan keluar.
Aku sampai megap-megap mendapat rangsangan seperti itu. Tubuhku semakin tersiksa oleh gejolak nafsu. Gerakan tangan Mang Dedi dibuat mengobok keluar masuk dengan ritme begitu cepat. Tak berhenti di situ, satu tangannya lagi juga ikut bergerak merangsang payudaraku dengan meremasnya begitu kuat dan memilin-milin putingnya dengan keras.
"Mas akuuuh mau keluarrr!!" ucapku memberi aba-aba pada Mang Dedi.
Aku tak mampu lagi menahan gelora napsu yang semakin mendesak di dalam perutku. Pantatku terangkat seperti menyongsong jari-jari Mang Dedi bergerak cepat keluar masuk menekan bukit kemaluanku. Lalu tubuhku seperti terhempas ke tempat kosong. Aku merasakan ada sesuatu yang meledak di dalam perut bagian bawahku. Tubuhku menggelepar dan tanpa sadar kujepit tangan Mang Dedi dengan kedua kakiku untuk menekannya lebih ketat menempel ke selangkanganku.
"Ouuuuuuuuuuuurrrrrrrrggggggggg.... nikmmaaaaaaaaaaatttthhhhh" teriakku begitu kencang merasakan orgasme yang datang menghantam dengan sangat cepat.
Tubuhku menggelinjang hebat hingga tak sadar aku menggigit lengan kanan Mang Dedi saat mencoba meredam gelombang demi gelombang kenikmatan yang kurasakan. Pandanganku sedikit mengabur saat aku meraih puncak kenikmatan yang berlangsung beberapa saat itu, sampai akhirnya berhenti dengan badanku yang terkulai lemas kehabisan tenaga.
Namun belum sempat rasanya aku mengambil nafas sebentar, Mang Dedi tiba-tiba saja sudah mengangkat tubuhku yang masih lemah itu ke pinggiran bibir bak mandi. Aku melotot kaget saat Mang Dedi dengan begitu cepat memposisikan tubuhku mengangkang diatas bak sambil memegangi batang penisnya yang amat tegang dan mengacung siap tempur.
"Maaf ya Dek! kita ga bisa lama-lama kan?? Ini bakalan ngilu sedikit kok" seringai Mang Dedi memposisikan badannya diantara kedua pahaku.
Dengan cuma bersisakan sedikit tenaga, aku mencoba melawan Mang Dedi karena tau apa yang akan dilakukannya. Agaknya aku bergidik ngeri karena tidak tau bagaimana rasanya dimasuki batang penis sebesar itu disaat vaginaku masih dalam keadaan ngilu dan amat sangat sensitif setelah orgasme.
Tapi perlawananku hanya sia-sia ketika kurasakan Mang Dedi mulai memasukkan ujung kepala penisnya ke dalam vaginaku.
"Ennggghhhhhhhhh......"
Benar saja, aku merintih berkelojotan saat hanya sedikit ujung penisnya saja yang bersentuhan dengan liang vaginaku. Dari rasa geli dan ngilu itu, tiba-tiba aku merasakan bak tersengat aliran listrik beribu-ribu voltase mengikuti jalannya penis Mang Dedi yang menguak bibir vaginaku. Badanku bergetar hebat dengan tarikan otot-otot yang begitu mengencang.
"Maasssssssssshhhhhhhhhhhh....!!" teriakku keras tidak peduli dengan keadaan.
Bukannya berhenti, Mang Dedi terus mendorong batang penisnya masuk ke dalam vaginaku. "Ini bakalan enak sayang!" bisiknya mencium bibirku pelan.
Namun ciuman ringannya itu tak dapat menutupi rasa ngilu yang tengah ku rasakan. Aku tak bisa menggambarkannya dengan kata-kata sehingga yang kulakukan hanyalah membalas perbuatannya. Aku rakus mencari mulut Mang Dedi dan menciuminya dengan penuh nafsu.
Sementara itu, Mang Dedi mulai mendorong pantatnya pelan hingga batang kemaluannya yang besar itu melesak masuk dalam jepitan vaginaku. Paduan lendir dan sabun mandipun membuat kemaluanku menjadi begitu licin dalam memuluskan jalannya batang penis tak bersunat milik Mang Dedi itu masuk semakin dalam menemui pintu rahimku.
"Ouugghhh... mantapnya nih memekk!!" ceracau Mang Dedi ikut merasakan bagaimana vaginaku begitu kuat mencengkram batang penisnya yang sudah tertanam utuh di dalamnya.
Kulingkarkan tanganku pada leher Mang Dedi sedangkan mulutku begitu aktif melumat bibirnya dalam merasakan kenikmatan baru yang seakan-akan membuatku terasa melayang-layang diantara awan-awan.
Dari bagian vaginaku yang sedang dalam keadaan begitu sensitif itu, Mang Dedi menjejali batang kemaluannya bergerak maju mundur membelah seluruh bagian sensitif yang ada di dalamnya, tanpa ada yang tersisa satu milipun. Perasaan nikmat yang terasa sangat fantastis yang belum pernah aku rasakan sedemikian dahsyat, membuat mataku terbeliak dan terputar-putar ketika dari kenikmatan itu mengalir suatu perasaan mengelitik yang menjalar ke seluruh bagian tubuh.
"Ouugggghhhhhh...Maaashhhhhh... ngiluuuuhhhh" ucapku melolong nikmat.
Aku masih duduk di bibir bak mandi sementara Mang Dedi mulai menggenjot lubang kemaluanku sambil berdiri. Keseluruhan syaraf syaraf yang bisa menimbulkan kenikmatan dari dinding dalam vaginaku tak lolos dari sentuhan, tekanan, gesekan dan sodokan kepala dan batang kemaluan Mang Dedi yang benar-benar terasa lebih besar dari sebelumnya.
"Gimanaahh Dek??? enakkannhhh...?" tanya Mang Dedi terengah-engah dalam berbicara.
Mang Dedi bergerak memompakan batang kemaluannya keluar masuk ke dalam vaginaku dengan ritme yang benar-benar fantastis sangat cepat, membuatku tak sempat mengambil nafas ataupun menyadari apa yang terjadi, hanya rasa nikmat yang menyelubungi seluruh perasaanku, pandanganku benar benar mengabur membuat secara total aku tidak dapat mengendalikan diri lagi.
"Ouughh.. Masshhh... enakk bangettt... enaakk bangettt... enak... teruuussss... aaahhhhhh" Aku mulai mendesah, meracau, menggumam bahkan mengerang penuh kenikmatan, pikiranku benar benar melambung tinggi dengan vaginaku yang terasa membengkak membetot penis Mang Dedi dengan sangat kuat.
"Hehehehe... ka--kamuhhh.. ketagihannn.. sama kontolku... kann Dek??" ucap Mang Dedi terbata-bata karena dengusan nafasnya yang hanya satu-satu.
Dalam gerakan tubuhku yang sudah tak karuan itu, aku hanya menggangguk-angguk keenakan setuju dengan perkataan tukang sayur langgananku itu.. "Iyaaahhh.. Masshhh... Akuuuuhh.. aakuuuhh...ketagihaann.. akuu sukaaa sama kontollmuuhhh.. massshh... aaahhh.." racauku tidak karuan.
"Hahaha.. kamuu mau kan dientot tiap hari sama kontol kafir inii??" racau Mang Dedi mulai tidak jelas.
Namun dari kata-kata yang begitu cabul itu, kutemukan dorongan-dorongan nafsuku semakin kuat menjalari setiap inci dari tubuhku. "Ouuugghhh.. Masshh.. aaahh.. mauuu... akkuuuhh.. mau baaangetttt.. mauuu.. di enttooott.. tiapp hariiihh" ucapku membalas kata-kata vulgarnya.
"Ayyooo Masshhh... bantuuhh akuuu.. puassinnn akuuu... tubuhkuuu milikmuuuuuuhhh.. akuuu serahinn semuanyaaa maaashhh.. nikmatinn akuuuhh" sambungku lagi..
Tak disadari lagi aku mulai mengeluarkan semua kata-kata dalam desahanku yang memang benar-benar tak pernah kulakukan sebelumnya. Aku tidak tau kenapa setiap kali aku mengucapkan kata-kata seperti itu, nafsuku semakin terbakar dan birahiku semakin menjadi-jadi.
"Hmmmmm... iyaaa sayanaggg.. akuu akan nikmatiinn kamu sepuassnyaa.. akuu nikmatinn istrii orang yang alim inii dengan kontolkuuu... uuuugghhhh" suara Mang Dedi juga terdengar begitu parau saat diburu oleh nafsu birahinya sendiri.
Di bawah sana, batang penis Mang Dedi tampak mengkilat mengeluarkan urat-uratnya saat menguak dan memompa vaginaku. Bibir vaginaku menyerah dan merekah amat ngilu. Bahkan kini kemaluanku juga reflek begitu aktif menyedotnya, agar seluruh batang penis tak bersunat itu bisa dilahapnya.
Uuhh .. aku merasakan nikmat desakan batang yang hangat panas memasuki lubang kemaluanku. Sesak. Penuh. Tak ada ruang dan celah yang tersisa. Daging panas itu terus mendesak masuk. Rahimku terasa disodok-sodoknya oleh kepalanya yang begitu besar.
Keringat demi keringat mengalir dan berjatuhan di tubuh kami masing-masing, mataku dan mata Mang Dedi beradu sama-sama bertatapan menumpahkan sinar kenikmatan. Goncangan makin cepat itu juga membuat bunyi kecipak vaginaku yang beradu dengan kontol Mang Dedi semakin terdengar keras.
Hebatnya lagi, Mang Dedi tetap saja mempertahankan ritme sodokannya yang begitu cepat tanpa kelelahan sedikitpun. Sementara rasa nikmat semakin dominan. Seluruh gerak, suara, nafas, bunyi, desah dan rintih terkonveksi menjadi menjadi satu kesatuan yang memenuhi seisi kamar mandi ini.
"Ouugghhh... enakkk bangett memekmuu sayaaannnggg!" racau Mang Dedi terus memuji. "Ayyoo.. bilangg!!! enak mana sama kontol si Hadiii???? Ennak mana sama kontol suamimu sayaanngg" sambungnya lagii.
"En--enhakk punyaaahhmuu Mass... enaakknyaa kontolmuuhhh .. Panjangg .. Uhh.. gedheehh... Masshh Dediiihhh. Enakan kontol Mas Dediiihh dari suamikuuhhhhhhh" balasku ikut meracau.
Posisi nikmat ini berlangsung bermenit-menit lamanya. Tanpa terasa pergumulan birahi ini sudah sedemikan melenceng jauh dari rencana awal yang tadinya hanya direncanakan "Sebentar". Kulihat tubuh Mang Dedi tampak berkilatan karena keringatnya. Dan hal itu membuatnya jauh terlihat seksi di mataku. Kulihat keringatnya mengalir dari lehernya, terus ke dada bidangnya, dan akhirnya ke tonjolan otot di perutnya. Tampak sekali dia begitu kelelahan menggenjotkan penisnya ke dalam vaginaku.
"Masshhhh... akuuu sayang kamuuhh!! akuu cintaaa kamuu!!" ucapku mengelus pipinya dengan lembut. Entah dorongan apa yang membuatku berkata bahwa kini aku telah resmi membagi cintaku yang suci dari suamiku kepada tukang sayur langgananku itu..
"Akhirnyaaaa kamu mengucappkan kata-kata itu Dekk Liyahh!!" ucap Mang Dedi tersenyum sumringah. Tiba-tiba saja dia menghentikan gerakannya dan mengangkat tubuhku diatas pangkuannya. "Izinkan akuu membalasnya dengan membuahi rahimmuu dan membuat bukti cinta kita jadi nyataaa" sambung Mang Dedi lagi.
Hatiku seketika menghangat mendengar perkataan Mang Dedi tersebut. Rasanya seperti lega bahwa cinta terlarang kami adalah cinta yang benar-benar berbalas satu sama lain. Aku mencintainya, dan dia juga mencintaiku. Sudah saatnya aku jujur pada diriku sendiri bahwa aku juga menginginkan hal ini.
"Mas.. kamu pasti capek...biar aku yang puasin kamu sekarang" ucapku menyeka peluh yang ada di dahinya.
Mang Dedi tersenyum sumringah. Dia mengangguk pelan, memutar badan sehingga kini posisinya yang berada duduk di bibir bak Mandi. Sedangkan aku berada diatasnya, mempersiapkan diri untuk menggenjot batang penisnya seperti dia menggenjot vaginaku sedari tadi
"Kayaknya Caca beneran bakal punya adek baru nih" goda Mang Dedi memilin kedua puting payudaraku. "Uminya udah siap banget dibuahi sama benih om baik" sambungnya lagi tertawa.
"Iyaahh.. aku sudah siap Mas.. kita bikin adek buat Caca yahh" ucapku mencium mesra bibir Mang Dedi.
Tanpa ada rasa bersalah sedikitpun dalam hatiku, aku mulai menggerakkan badanku naik turun diatas penis Mang Dedi yang masih saja terjepit mantap di dalam vaginaku. Aku tidak terburu-buru walau sedari tadi waktu kami tidak banyak.
Malam itu, aku kembali mengayuh biduk kenikmatan terlarang yang aku sendiri tidak pernah bosan menikmatinya. Semua terasa seperti candu yang membuatku seakan menikmati untuk jatuh terus menerus di lubang dosa yang sama, tanpa ada yang bisa menyelamatkan.