Chapter 17
Liya

Seperti pasangan baru yang sedang dalam masa pengantinnya, aku dan Mang Dedi menjalani hubungan terlarang ini dengan penuh kesenangan yang bertumbuh seiring jalannya hari.
Mungkin inilah yang dinamakan bucin alias budak cinta. Hal-hal kecil seperti bertegur sapa hingga untuk sekedar bertukar pesan harian lewat WA saja sudah membuatku sangat bahagia.
Aku bahkan selalu melupakan statusku sebagai seorang istri dan juga seorang wanita muslimah saat aku bersama Mang Dedi. Dimatanya, aku tak lebih dari seorang gadis yang kini menjadi pasangannya.
Semenjak kejadian di kontrakan Mang Dedi itu pula, aku memutuskan untuk menerima ajakan berpacaran dari tukang sayur langgananku tersebut dan bersedia memadu kasih kapanpun dia mau.
Sejalan dengan itu, keadaan ternyata juga ikut berpihak melancarkan hubungan terlarangku ini.
Tepat untuk dua minggu kedepan, suamiku mendapat tugas keluar kota dari perusahaannya. Peluang besar bagiku untuk kembali memupuk ladang cinta dengan Mang Dedi tanpa harus ada gangguan dari suamiku sendiri.
"Yakin Mi gapapa cuma berdua di rumah?" Tampak sedikit ragu suamiku bertanya.
Saat ini kami tengah berada di stasiun kota untuk mengantarkan kepergian suamiku. Lengkap dengan kehadiran Mang Dedi yang sengaja aku ajak sebagai sopir karena aku beralasan masih belum terlalu mahir menyetir mobil sendirian.
Mengenal sikap suamiku yang sudah melunak dengan kehadiran Mang Dedi dalam kehidupan kami, Suamiku akhirnya memberi lampu hijau atas kedekatanku dengan Mang Dedi yang menurutnya masih dalam batasan wajar pertemanan.
"Iyahh Abiikuu.. Abi fokus aja sama kerjaannya. Biar nanti bisa ajak Umi sama Caca liburan bareng-bareng." Balasku meyakinkan.
"Wah ide bagus tuh.. Udah lama kita ga liburan bareng." Suamiku sumringah.
"Om baiknya diajak juga gak kalau kita pergi liburan, Bi?" Tiba-tiba Tasha menyela pembicaraan.
Tampak raut wajah Mang Dedi berubah senang mendengar hal tersebut, sedangkan suamiku bersungut masam, "Omnya kan sibuk sayang. Nanti kita bertiga aja yaa.." Ucap Suamiku menghampiri Tasha dan berlutut di depannya.
"Iyaa sayang.. Om sibuk nih mau jualan sayur biar ibu-ibu di komplek gak kelaperan." Balas Mang Dedi bercanda.
Aku spontan tertawa terbahak-bahak, "Bisa aja kamu Mas!! kayak kamu satu-satunya yang jualan sayur.." ucapku memukul pelan bahu Mang Dedi.
"Tapi kan cuma aku yang digandrungi sama mereka Dek." Balas Mang Dedi.
Aku lalu meledeknya, "Yailah sipaling digandrungi."
"Iyaa buktinya, kalau aku gak jualan pasti dicariin sama kamu."
"Eh?"
Aku terperanjat kaget mendengar ucapan Mang Dedi yang mungkin saja bisa salah diartikan oleh suamiku. Sebentar dapat aku lihat raut wajahnya yang menyimpan pertanyaan.
"Kalau aku gak ada, kamu pasti nyariin karena gak ada bahan makanan yang mau dimasak toh." Jawab Mang Dedi tertawa,
"Iya gak Da?" sambungnya melempar pertanyaan ke suamiku.
"Hahaha.. Iyalah Mang. Nanti saya makan apa kalau gak ada bahan belanjaan." Jawab Suamiku agak memaksakan tawa.
"Tuhhh kan Dek.. " Mang Dedi ikut tertawa.
Salah satu hal yang membuat banyak orang sebenarnya bisa menyukai Mang Dedi adalah caranya berkomunikasi dengan orang lain. Beberapa kali dia bercanda ringan sehingga orang lain merasa nyaman didekatnya.
Dan kali ini, meski tampak sedikit risih dengan kehadiran Mang Dedi, suamiku pun seperi "dipaksa" ikut dibuat nyambung dengan celetukan si tukang sayur itu.
"Kok kayaknya kalian akrab banget ya? Baru tau kamu dipanggil Adek segala." Suamiku tiba-tiba bertanya menyelidik.
Aku yang tidak siap dengan pertanyaan itu dibuat langsung salah tingkah dan bingung bagaimana menjawabnya.
Beruntung Mang Dedi langsung menyela, "Yah.. Uda harusnya ikut ngegosip bareng kita dan ibu-ibu komplek nih." Jawabnya santai. "Dijamin bakalan ikutan akrab." sambungnya masih tertawa.
"Bener Bi! Bahkan Ibu Ratna saja kadang suka manggil sayang ke Mang Dedi." Timpalku ikut mendukung.
Beruntung jawabanku tersebut cukup untuk membuat suamiku tak lagi curiga, "Emang sih ya, kalau ibu-ibu sudah ngumpul pasti bakalan ngegosip terus ya Mang!" kali ini suamiku yang memancing pembicaraan dengan Mang Dedi.
"Betul banget Uda!! Kalau ga ngegosip nih, mereka merasa seperti ada yang kurang di hidup mereka." Balas Mang Dedi bersemangat. "Apa aja diomongin. Gosip seleb lah, politik lah, masalah anak muda jaman sekarang. Macem-macem pokoknya."
"Untung ga ngomongin bapak-bapak kayak kita ya.. " celetuk suamiku.
"Wahhh.. Uda gatau aja.. Selain sesi jual beli sayur, biasanya juga ada sesi curhat perihal rumah tangga. Kadang juga ada yang suka ngomongin suaminya." Balas Mang Dedi.
"Waduhhh. Berarti istri saya juga suka ngomongin saya dong." Lirik suamiku kearahku.
Aku tersontak kaget dan berdegub melihat suamiku yang seperti mencari sesuatu dalam percakapannya dengan Mang Dedi.
Untungnya, Mang Dedi selalu punya cara untuk mengalihkan perhatian suamiku tersebut. "Wah kalau itu sih rahasia perusahaan Uda." Jawabnya terbahak-bahak.
"Huuuu.. Pengen tau aja dia Jeng! Itukan rahasia para wanita ya Jeng." Ucapku menimpali dengan bercanda membuat gesture.
"Iyaahh.. Kalau mau tau yahh harus mau gabung dengan kitah-kitah." Sambung Mang Dedi ikut mengikuti gaya bicaraku.
Kami bertiga kemudian tertawa bersama-sama.
Rasanya hatiku menghangat begitu senang menyaksikan bagaimana hubungan kami perlahan-lahan mulai mencair. Dua orang laki-laki yang berstatus sebagai suami dan selingkuhanku itu tampaknya terlihat bisa akrab. Dua-duanya sama-sama membuatku jatuh cinta dengan cara yang berbeda.
"Tuh kan Bi! Umi bilang juga apa! kalau ngobrol sama Mang Dedi tuh gak ada habisnya dia mah." Ucapku spontan membanggakan sosok Mang Dedi.
Suamiku pun lalu mengangguk-angguk, "Hahaha.. Pantes ya Mang digandrungi ibu-ibu komplek." Balas Suamiku ikut mengeluarkan candaan.
Sedangkan Mang Dedi masih bergaya dengan gesture ala-ala bancinya sambil mengangguk-ngangguk bangga. Kami bertiga lalu tertawa berbarengan lagi.
"Yasudah kalau gitu Mang! Saya tolong minta titip istri saya sebentar yaa! Minta tolong dijagain." Ujar suamiku yang entah dia sadar atau tidak sudah memberikan sebuah ijin pada Mang Dedi.
Mendengarnyapun Mang Dedi langsung senyum sumringah sambil berpose hormat, "Siap laksanakan! komandan." Ucap Mang Dedi meniru gaya ala-ala militer.
"Syiap laksyanakan komandan." Tak mau kalah saing, Tasha mengikuti gaya Mang Dedi dengan tak kalah imutnya.
"Adududuhh.. gemes banget kesayangan Abi. Jangan nakal yahhh.. " ucap suamiku mencium pipinya.
"Syiap laksyanakan komandan." Ulang Tasha yang membuat kita bertiga sangat gemas.
"Yasudah.. Caca ikut sama om baik dulu yuk. Kita jajan kesana." Ajak Mang Dedi ke Tasha.
"Abi sama Uminya mau berpamitan dulu." Sambung Mang Dedi mengerlingkan mata memberi kode pada suamiku.
Seakan mengerti apa yang dimaksud oleh Mang Dedi, suamiku pun tersenyum sumringah menghampiriku, "Aku tinggal dua minggu yah sayang.." Ucap suamiku memeluk. "Baik-baik dirumah. Kalau ada apa-apa kamu kabarin aku."
"Iyaa Abii.. kamu juga hati-hati. Jaga makannya jangan fokus kerja terus." Balasku mengusap punggung suamiku itu.
"Jangan lama-lama juga nanti istrinya di embat orang, Uda." timpal Mang Dedi yang cekikikan lalu meninggalkan kami berdua.
"Bener-bener ya Mang Dedi.. " Ucap Suamiku menggeleng-geleng tertawa.
Suamiku kemudian mengecup keningku pelan dan hangat. "Abi jalan dulu ya." Ucapnya menjulurkan tangan yang sekaligus aku sambut dan menciumnya.
Setelah puas berpamitan satu sama lain, akhirnya waktu keberangkatan kereta suamikupun tiba. Aku dan Mang Dedi berserta Tasha mengantar suamiku sampai ke pintu masuk.
"Hati-hati, Bi" Ucapku setengah berteriak.
Ketika suamiku mulai berjalan masuk ke kereta, Mang Dedi tiba-tiba saja melingkarkan tangannya di pinggangku.
"Bener-bener suami yang baik." Ucap Mang Dedi terkekeh senang. "Bisa-bisanya dia nitipin istri sholehnya sama tukang sayur kafir." Sambungnya meledek.
"Mas!!" Protesku kaget.
Saat itu aku panik dan langsung mengecek keadaan sekitar, memastikan keberadaan suamiku yang bisa saja melihat perbuatan nekat Mang Dedi tersebut.
Jantungku berdegub sangat kencang karena selain banyaknya orang-orang disekitar, perbuatan Mang Dedi itu terasa semakin kurang ajar saat suamiku masih belum sepenuhnya meninggalkan kami.
Aku berusaha melepaskan tangan Mang Dedi dengan sedikit maju ke depan melambaikan tangan pada suamiku didalam kereta.
Akan tetapi bukannya berhenti, Mang Dedei malah meremas pantatku di saat aku masih melambai-lambai ke arah suamiku.
"Mass.. sabarrr!" Protesku sambil tersenyum menjaga raut wajahku agar suamiku tidak curiga.
Namun rasanya cukup menggelitik dan aneh, ketika tubuhku yang tertutup baju kurung besar dan jilbab lebar ini di sentuh dibagian terlarang oleh orang lain di tempat umum penuh dengan keramaian sekaligus keberadaan suamiku.
Seperti sebuah perasaan ingin narsis namun juga takut kalau-kalau ketahuan.
"Masshhh Jangannn ihhh.." ucapku lirih merasakan selangkanganku terasa geli akibat remasan Mang Dedi di pantatku.
Ditengah ramainya orang-orang yang seakan sibuk dengan kegiatan masing-masing, kereta yang ditumpangi suamiku mulai perlahan-lahan menghilang dari pandangan meninggalkan kami.
Selanjutnya, Aku merasa tidak punya tenaga untuk menolak pelecehan gila yang dilakukan oleh Mang Dedi.
Mataku hanya celingak-celinguk memastikan kalau tak ada orang yang memperhatikan perbuatannya itu, "Masshh... udahhh dongg!! Nanti ada yang liatt!!" Ucapku memprotes. Akan tetapi tubuhku tidak bergeming dari sana.
Rasa yang bercampur aduk itu semakin membuat tubuhku menegang. Rasanya ingin berhenti namun disaat yang sama aku menginginkan lebih.
"Hehehe. Basah ya Dek.." Bisik Mang Dedi pelan ditelingaku.
Baru saja aku ingin membalas, Tasha kemudian berbicara menyela, "Umii.. Caca ngantuk." ucapnya mengusap mata.
Aku yang langsung tersadar dengan keadaan kemudian menyentil tangan nakal Mang Dedi cukup keras karena gemas dengan kenakalannya.
"Awwhhhh... Jahatnyaa.." ringis Mang Dedi kesakitan.
"Abisnya nakal mulu." Ucapku berpura-pura ngambek menahan senyum. "Yuk kita pulang sayang." ajakku menggandeng tangan Tasha mulai berjalan duluan.
Sesampainya kami di parkiran mobil, Aku mempersiapkan sebuah tempat duduk khusus balita di kursi tengah agar nanti Tasha bisa tidur dengan nyaman.
"Sini sayang!" ucapku mendudukkan Tasha di Carseat care tersebut.
Saat sudah selesai memasangkan sabuk pengaman, lagi-lagi Mang Dedi berbuat nakal dengan memepetkan badannya ke pantatku yang masih dalam keadaan menungging itu.
"Astagfirullah Massshh.." Ucapku memprotes.
Namun dapat kurasakan dari balik baju kurungku bahwa penis Mang Dedi ternyata sudah menegang begitu keras.
Aku menyadari kalau bukan aku saja yang merasa agak horny saat Mang Dedi meremas-remas pantatku di tempat umum tadi, melainkan dia juga merasakan hal yang sama.
"Hehehe. Habisnya aku sudah tidak tahan pengen ngentotin kamu sayang.." Jawab Mang Dedi dengan frontalnya. "Dari tadi aku nahan diri ngeliat kecantikan kamu pake hijab lebar kayak gini." Sambungnya lagi.
Aku tersenyum mendengar kejujurannya tersebut, "Ya tapi gak di parkiran juga kali Mas!" jawabku memprotes.
Tiba-tiba Mang Dedi menarik tanganku dan membawa tubuhku menghadap kearahnya, didudukannya aku di atas kursi mobil membelakangi Tasha yang tampak sudah mulai tertidur.
"Tapi aku pengennya sekarang sayang.." Rengeknya. "Tuh kamu rasain sendiri kontolku udah ga sabar.." ucapnya mengarahkan tanganku untuk menyentuh penisnya.
"Ya ampun Mas! Kok bisa??" tanyaku heran sambil mengelus-elus penis Mang Dedi yang sudah tegang dari luar celananya.
"Mana bisa tahan aku sama wanita kayak kamu." Ucap Mang Dedi yang perlahan mendekatkan bibirnya.
Aku sempat melirik keadaan sekitar untuk memastikan kalau tidak ada orang yang melihat, sebelum akhirnya menyambut bibir Mang Dedi dengan sedikit rasa ragu.
"Cupp.." Mang Dedi mengecup pelan bibirku.
Dia kemudian menarik pinggangku semakin dekat hingga tubuh kami saling menempel dalam keadaan dia terjepit diantara pangkal pahaku.
Ciuman yang awalnya penuh keragu-raguan itu perlahan terasa semakin memabukkan dan lembut. Hingga aku mulai membalasnya dengan melingkarkan tanganku di leher Mang Dedi. Membuatnya semakin leluasa dalam menguasi bibirku.
Bahkan akupun tidak lagi peduli kalau kami berciuman di parkiran stasiun yang bisa saja dilihat oleh orang lain. Beruntung posisi mobil kami tepat berada dibagian paling ujung sehingga disebelah hanya terdapat sebuah tembok saja.
"Mmmmppphhh... cuupppp.. mmmuuuaacchhhhhhmmmm." Suara-suara kecil pergumulan lidah kami mulai terdengar.
Aku tidak menyangka kalau berciuman diparkiran seperti ini terasa sangat menyenangkan. Efek dari debaran jantung yang selalu terasa was-was takut ketahuan membuat sensasi ciuman ini terasa menjadi lebih nikmat dari ciuman sebelum-sebelumnya.
"Kamu tau gak Dek, apa yang paling aku suka dari kamu?" Ucap Mang Dedi tiba-tiba menghentikan ciuman kami.
Aku menggeleng, "Engga."
"Yang paling aku suka dari kamu---"
"Pasti jorok." potongku langsung.
Mang Dedi terkekeh, "Sok tau." Balasnya menyentil hidungku.
Mang Dedi lalu kembali menciumku pelan begitu dalam, "Aku sangat suka mata dan raut wajahmu Dek." Jawabnya singkat.
"Apalagi saat melihat kamu sange kayak gini. Mata sayu dan pipimu yang merona merah ini membuatku jatuh cinta." lanjutnya lagi.
Aku tidak bisa menyangkal diri kalau aku tersanjung dan berbunga-bunga mendengar ucapan dari Mang Dedi tersebut. Kukira selama ini Mang Dedi mencintaiku karena dia bisa memanfaatkanku untuk memenuhi hasratnya.
Tapi ternyata hal itu salah.
"Mas tau juga gak apa hal yang paling aku suka dari Mas?" balasku kini bertanya.
"Sudah pasti inikan?" Jawab Mang Dedi menunjuk kearah penisnya.
"Ihhh bukann!!" protesku memukul dadanya pelan.
Meski memang benar penis besar miliknya itu juga menjadi salah satu faktor yang paling aku sukai darinya, akan tetapi ada faktor yang lebih besar yang rasanya lebih membuatku semakin jatuh cinta dengan si tukang sayur langgananku itu.
"Apa dong kalau gitu?" Tanya Mang Dedi.
"Aku suka sama setiap kata-kata yang Mas ucapkan. Apalagi saat Mas memuji aku, menyapaku, menggombali aku, atau mungkin candaan-candaan kecil Mas itu." Jawabku amat dalam dengan perkataanku.
Namun bukannya merasa tersentuh, Mang Dedi justru memprotes, "Waduhh. Berarti aku buaya tukang gombalin istri orang dong?" ucapnya tidak terima.
"Baru tau ya? Nih aku istri orangnya." Balasku kesal meledeknya.
"Oh iya lupaaa!!" ucapnya berpura-pura menepuk jidat.
"Yasudah kalau istri orangnya udah kegoda. Aku mau ngentotin sekalian boleh ga?"
Aku mengangguk, "Boleh sayang.. Entotin aku kapanpun kamu mau.." Jawabku tersipu malu berusaha jujur dengan perasaanku.
Mang Dedi tersenyum senang mendengar jawabanku tersebut. Dia lalu menciumku kembali, menyesapnya dan melumat bibirku penuh kelembutan sekaligus menuntut gairahnya disaat yang bersamaan.
Akupun tidak menolak ciuman itu seakan tidak ada hari esok, meskipun bodohnya sekarang kami masih berada di tempat umum, tapi aku juga sudah terlanjur bergairah dengan ciuman kami.
Aku tau ini bukanlah ciuman pertama kami, namun melakukannya di tempat umum seperti ini memberikanku sebuah sensasi berbeda dari yang aku rasakan sebelumnya.
Mang Dedi menciumku sangat santai dan nyaman seolah tidak takut dipergoki orang lain, sedangkan aku sudah tak bisa menyembunyikan gemuruh jantungku yang berdetak tidak terkendali karena takut kalau ada yang melihat perbuatan mesum kami.
Belum cukup sampai disitu, kini tangan Mang Dedi mulai menggerayangi bagian punggungku untuk mencari bagian resleting baju kurung yang kupakai.
"Mashhh...Jangannn.. Disini!!" Protesku menghentikan tangannya.
Namun bukannya berhenti, Mang Dedi justru hanya tersenyum menciumku dengan lembut sampai akhirnya aku bisa mendengar suara resleting baju kurungku terbuka dengan nyaring.
"Ohh tidak!!" teriakku dalam hati.
Aku tetap memejamkan mata sambil menikmati cumbuan Mang Dedi yang mulai beralih ke bagian pipiku, menyusur ke rahang menuju telinga, dan terus bergerak turun ke leherku yang masih tertutup oleh hijab yang ku pakai.
"Ohh tuhan..Tolong hentikan kegilaan ini karena aku tidak yakin akan berhenti dengan sendirinya." Batinku berteriak memberontak, namun tubuhku bereaksi sebaliknya.
Kurasakan baju kurung yang kupakai sudah menjadi agak longgar pertanda Mang Dedi berhasil membuka resleting bajuku tersebut sampai ke bagian bawah pinggangku.
"Buka ya.." Bujuk Mang Dedi terdengar parau.
Aku hanya mengganguk sayu membalas keinginannya. Sudah tidak ada lagi guna menolak syahwat yang menggerogoti tubuhku menunggu untuk dipuaskan meski masih dalam keadaan yang was-was.
Mang Dedi tersenyum nakal saat dirinya mulai menarik bagian depan baju kurungku dan meloloskannya dengan mudah dari lengan dan tubuhku.
Kini, diarea parkiran stasiun kota, di tengah terangnya matahari siang yang bersinar, diatas mobil yang pintunya masih terbuka, aku tengah bertelanjang sepinggang dihadapan laki-laki yang bukan suamiku tersebut.
"Masshh maluu.." Ucapku menutup bagian dadaku yang juga masih dilapisi bra hitam yang kupakai.
Mang Dedi tampak meneguk ludahnya, dia seperti tengah mengontrol diri agar tidak menyerangku dengan membabi buta. Ketenangan dirinya itu benar-benar membuatku salut karena aku saja bisa merasakan tenagaku berkurang setengah saat bermesum ria ditempat terbuka seperti ini.
"Tidak usah malu sayang.. cuma ada kita disini.." Ucap Mang Dedi memastikan keadaan sekitar.
Aku kemudian ikut melihat-lihat sambil memutar pandanganku, "Kan?" ucapnya tersenyum menenangkanku.
Meski masih merasa khawatir ketahuan, aku tetap menganggukkan kepalaku pada keinginan Mang Dedi tersebut karena sangat sulit untuk menolak gelombang syahwat yang menggebu dalam tubuhku.
"Sini cium aku Dek! gak ada orang yang bakalan liat." Pancing Mang Dedi padaku.
Setelah memastikan kembali keadaan, aku lalu balik mencium Mang Dedi. Rasanya tidak secanggung sebelumnya karena aku mulai yakin tidak akan ada orang yang akan melihat perbuatan mesum kami tersebut.
Perlahan-lahan, pertahananku pun mulai lemah sehingga tanganku tak lagi menutupi bagian dada, membiarkannya terekspos begitu saja walau masih tertutup oleh sebuah bra.
Sensasinya begitu luar biasa hingga membuat vaginaku terasa berkedut-kedut beberapa kali mengeluarkan cairan cinta yang hangat dan menenangkan.
Kami terus berciuman, terasa seperti sebuah ciuman paling lama yang pernah kami lakukan karena begitu nikmatnya. Lidah kami saling menari-nari di sela dalamnya ciuman itu saling menaut semakin dalam.
Nafasku terengah-engah saat Mang Dedi kemudian melepas ciuman tersebut dan menatapku dalam penuh nafsu. "Cantik" pujinya mengelus pipiku.
Tanpa menunggu aku membalas perkataannya, Mang Dedi lalu menyibakkan hijab yang ku pakai ke bagian belakang. Memberikan keluluasaan padanya untuk langsung bergerak mengecup pelan bagian bahuku, bergerak ke samping ke arah tulang selangka, lalu berakhir di bagian leherku.
"Emhhhhpp.. Masshhhh... geliihhhh.." desahku tak tertahan.
Mang Dedi mengecup leherku lembut dan pelan, sekali-sekali dia menggigit kecil seperti ingin membuat tanda bahwa aku telah menjadi miliknya dan dia berkuasa sepenuhnya akan tubuhku.
Aku membalasnya dengan melenguh menahan desahan, takut kalau seandainya ada orang yang mendengarku lalu menghampiri kami.
Kenikmatan dalam rasa khawatir itu menjadi tambah nikmat karena Mang Dedi tidak berencana berhenti disana. Lenguhanku seakan jadi motivasi baginya untuk berbuat lebih.
Dengan lihai dan cekatan, tangannya bergerak kembali menyusuri bagian punggungku untuk kali ini melepaskan pengait bra yang kupakai.
"Ohhhh..." Aku tersentak kaget.
Tubuhku bergidik saat sepenuhnya kini aku bertelanjang dada di tempat umum. Rasanya begitu menegangkan sehingga dapat kurasakan puting payudaraku keras mengacung.
"Tetekmu ini bagus Dek." Suara Mang Dedi terdengar lembut. "Tapi sayangnya kurang gede." Sambungnya meledek sambil mengangkat kedua bongkah payudaraku dengan kedua tangannya.
"Tapi kan Mas Suka!" jawabku membela diri.
"Suka sih.. Tapi alangkah baiknya digedein lagi"
"Emang bisa?" tanyaku penasaran.
"Bisa!."
"Caranya??"
"Gini!" Jawab Mang Dedi menyentuhkan tangannya pada payudaraku.
Dia meremasnya dengan membuat gerakan memutar perlahan, beberapa kali sedikit menekan sebelum akhirnya dia meremas agak kuat, lalu mengulanginya lagi dan lagi.
Aku tertawa, "Itu mah di remas kayak biasanya Mas." ucapku meledek akal-akalannya.
"Dih.. Beneran ini namanya pijat pembesar tetek." Seringainya mesum. "Harus dilakukan setiap hari oleh profesional." sambungnya tertawa.
Aku ikut tersenyum menikmati gaya khas tangan Mang Dedi dalam menyentuh sepasang gunung kembar milikku tersebut. Meski tidak berukuran besar, payudaraku itu masih terlihat kencang meskipun sudah pernah menyusui dan bentuknya masih sama tidak mengendur.
"Gimana rasanya?" tanya Mang Dedi padaku.
Tangannya masih bergerak dibongkahan payudaraku, seolah gundukan itu adalah adonan roti. Dia meremas-remas, memutar-meremas, sesekali menekan dan kembali meremas.
Aku mendongakkan kepala, "Shh....Enak mas.." jawabku mendesis jujur.
Tanpa kuduga, Mang Dedi tiba-tiba saja mencubit puting payudara kananku dengan dengan jarinya.
"Awhhhh... Masshhhhh!! sakitt!!" rengekku yang sedikit berteriak.
Mang Dedi menyeringai jahil, selanjutnya dia mencubit puting kiriku. "Euummmmhhh... Mass! enakk!!" ucapku berbalik.
Harus ku akui kalau cubitan-cubitan kecil itu memberikan efek baru perpaduan antara rasa nyeri dan nikmat. Membuatku seperti ketagihan oleh rasa yang baru pertama kali kurasakan tersebut.
Ditambah lagi dengan suasana tempat kami berada saat ini, membuat seluruh titik adrenalinku berpacu memompa syahwat-syahwat nikmat keseluruh ujung bagian tubuhku.
Mang Dedi belum berhenti, dia mendorong tangannya dari masing-masing sisi payudaraku dan mengumpulkan keduanya di tengah. Menekan kedua gundukan daging dadaku itu untuk saling beradu dengan kuat.
Saat dia melakukannya, otomatis kedua putingku juga ikut berdekatan. Mang Dedi lalu memainkan kedua putingku tersebut dengan ibu jarinya.
"Ouughhhh... Enaakkk sekalii Massshh.." bisikku semakin mendongak.
Aku memejamkan mata, sedangkan mulutku terbuka mendesah karena nikmat yang diberikan oleh tangan-tangan Mang Dedi pada bagian dadaku itu.
Tangannya yang masih menahan payudaraku di tengah, kini bergerak perlahan keatas penuh penekanan. Mang Dedi lalu membuat gerakan berputar secara berlawanan arah antara payudara kanan dan kiri, sebelum mempersatukannya kembali di tengah.
"Sssshhhhhhhhh....enakk bangettttt..." Aku terus mendesis seperti seekor ular.
"Mau diginiin gak tiap hari?" Tanya Mang Dedi menatap dalam padaku dengan seringainya yang tak hilang. Sedangkan tangannya masih aktif bermain.
"Mau Mass!! mau bangettt...mmppphhh.." Anggukku lemah.
"Kalau begitu tiap pagi kita kayak gini di pos ronda ya!" saran gila Mang Dedi.
Aku menggeleng, "Ihh.. jangan di tempat terbuka terus Mas.. nanti ketahuan orang-orang." rengekku menolak
"Tapi enakkan di tempat kayak gini??" pancing Mang Dedi. "Rasanya pasti deg-degan" sambungnya lagi.
Tidak dapat ku bantah apa yang Mang Dedi katakan karena sensasi berbuat mesum di tempat umum seperti ini malah membuatku semakin bergairah nikmat.
Entah faktor apa yang memicu hal tersebut, namun dapat aku rasakan kalau melakukannya di tempat terbuka justru malah membuatku semakin tertantang.
"Liat aja nih! kamu sampai banjir begini padahal kita cuma ciuman doang!" kekeh Mang Dedi mencolek selangkanganku yang ternyata memang sudah basah membanjiri celana dalam yang ku pakai.
Kami berdua kemudian kembali menautkan lidah saling berciuman dengan tangan Mang Dedi masih bermain-main di payudaraku.
"Mau ya??" bujuknya belum menyerah.
Belum sempat aku menjawab perkataan Mang Dedi, aku mendengar sayup-sayup suara beberapa orang mulai mendekat kearah mobil.
"Mass.. ada orang!!" ucapku panik tidak karuan.
Ternyata dari arah belakang mobil kami, tampak 4 orang pemuda tengah berjalan sambil berbicara dan bercanda-canda satu sama lain.
Bukannya menutup pintu tempat aku duduk, Mang Dedi justru dengan santainya membuka pintu mobil bagian depan dan menyuruhku masuk. "Duduk di depan aja Dek!" ucapnya santai.
Entah karena rasa panikku yang begitu besar, aku dengan bodohnya turun dari pintu tengah dengan keadaan bertelanjang dada sambil terpogoh-pogoh masuk ke pintu bagian depan. Aku tergesa-gesa memakai kembali baju kurungku hingga tak kusadari, bra hitam yang ku pakai tadi ternyata terjatuh.
Aku langsung panik melihat Mang Dedi yang juga tidak sadar dengan hal itu. Dia berjalan santai mengitari mobil lalu masuk kedalam.
"Mas!! Braku jatuh!" ucapku berteriak.
"Waduhhhh..." Mang Dedi ikut kaget.
Sialnya lagi, empat orang pemuda tersebut ternyata menyadari kalau bra yang ku pakai terjatuh ke samping mobil sehingga mereka berjalan menghampiri kami.
TOK!! TOK!! TOKK!!! Salah satu pemuda tadi mengetuk kaca mobil di sebelahku. Aku berusaha memberi kode kepada Mang Dedi untuk segera berangkat pergi dari sana.
Namun bukannya menghidupkan mesin, Mang Dedi malah membuka kaca pintu mobil sampingku tersebut. "Kenapa ya Mas??" tanyanya begitu polos.
"Ini Pak. BH Mbaknya jatuh" jawab Pemuda itu tiba-tiba mengambil bra hitam milikku.
Aku membuang muka dan menggigit bibirku menahan malu luar biasa. Benar-benar tidak sanggup melihat kearah pemuda yang ada diluar tersebut karena mereka pasti sudah menyadari perbuatan mesum kami.
"Oh iyaa maaf Mas. Majikan saya tergesa-gesa tadi." jawab Mang Dedi santai menyebutku sebagai majikannya.
"Wahh.. Abis ngapain tuh pak? pakai lepas BH segala" celetuk salah seorang pemuda.
Mang Dedi tertawa, "Biasa Mas! lagi nyari-nyari sensasi baru." jawabnya malah ikut bercanda.
Aku tau Mang Dedi sangat suka melempar lelucoan, namun aku tidak menyangka kalau dia bisa bercanda dalam keadaan seperti ini. Terlebih candaannya menurutku malah memancing rasa penasaran para pemuda itu.
"Wuiihhh.. Alim-alim nyari sensasinya di tempat umum ya!" timpal salah seorang pemuda lagi.
Mereka berempat lalu tertawa bersama-sama.
Jujur aku sama sekali tidak terima dikatai seperti itu oleh mereka. Namun melihat keadaan saat ini, membuatku hanya bisa pasrah merasakan amarah yang bercampur malu dalam debaran jantungku yang begitu kencang.
Pemuda yang tadi memegang braku, kemudian memberikan bra tersebut, "Ini Mbak BH nya dibawa lagi. Nanti masuk angin loh!" Ucapnya tersenyum menggodaku.
Mau tidak mau, akupun kemudian menjulurkan tanganku mengambil benda penutup dada itu sambil sedikit menunduk. "Makasih Mas!" ucapku pelan masih sangat malu.
Beruntung setelah aku mengambilnya, Mang Dedi mengangguk pelan ke arah empat orang pemuda itu dan langsung menutup kaca mobil.
"Behijab lebar tapi kok ngentotnya di tempat umum." celetuk salah seorang pemuda terdengar sesaat sebelum kaca mobil tertutup seutuhnya.
Aku merasa begitu syok mendengar perkataan pemuda itu. Seluruh tubuhku seperti kehilangan tenaga dan lemas. Baru kali ini aku menerima sebuah pelecehan dari orang lain seperti itu.
"Udah gausah di dengerin Dek! mereka cuma bercanda kok" Ucap Mang Dedi menenangkanku.
Aku yang merasa marah itu menatap kearahnya, "Kenapa Mas malah membuka kaca mobil?" ucapku mempertanyakan aksinya tadi. "Akukan udah bilang mending pergi saja."
"Mereka udah ngeliat kita Dek. Takut nanti mereka melapor." jawab Mang Dedi santai.
"Emm--emangnya mereka bisa ngelapor?" Aku tergugup.
"Bisa aja kalau mereka mau. Makanya tadi aku ajak mereka bercanda supaya keliatan akrab saja." balas Mang Dedi.
"Lagian Mas juga sih! pengennya disitu!" gerutuku.
Mang Dedi terkekeh, "Tapi seru kan?" tanyanya.
"Seru apanya ihh!! hampir ketauan jugaa!!" Balasku memukul pundaknya berkali-kali.
Mang Dedi hanya tertawa-tawa geli menahan pukulanku yang merasa sangat gemas dengan kelakuannya itu.
Meski pada akhirnya tidak terjadi apa-apa, namun kejadian barusan sudah cukup membuatku merasakan sebuah lonjakan adrenalin yang begitu besar dibarengi oleh syahwat karena perbuatan mesum kami sebelumnya.