javascript hit counter

Penunggang Liya Seorang Ibu Muda

EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Chapter 21





Liya


Akhir pekan selalu menjadi penantian panjang bagi seorang pegawai kantoran sepertiku. Dua hari ini adalah waktu di mana aku bisa bernafas lega dari kepenatan pekerjaan dan menikmati momen bersama keluarga.

Biasanya, aku selalu menghabiskan waktu liburku dengan bermalas-malasan di rumah, atau pergi berlibur ke tempat-tempat menarik bersama Istri dan anakku.

Bahkan, tempo hari aku sudah merencanakan kunjungan ke kebun binatang di tengah kota, untuk mengajak Tasha anakku yang sudah lama ingin melihat langsung binatang-binatang yang selama ini hanya ia kenal dari buku cerita maupun televisi.

Namun rencana tersebut harus dibatalkan di hari H karena ternyata bentrok dengan jadwal gotong royong warga komplekku yang baru diberitahukan oleh Liya.

Awalnya aku mengira Tasha akan merengek dan memaksa kami untuk tetap pergi, namun entah apa yang dikatakan oleh istriku kepadanya, kini malaikat kecilku itu tampak lebih bersemangat pergi gotong royong ketimbang pergi ke kebun binatang.

"Kenapa, Bi?" tanya Liya saat melihatku kehilangan semangat. Rasa-rasanya badanku terasa berat untuk beranjak dari kasur.

"Ah, malas banget harus ikut gotong royong," keluhku. "Kalau Abi nggak ikut, nggak apa-apa, kali ya?"

Liya tersenyum tipis, mengangkat alisnya. "Nggak apa-apa sih, paling cuma jadi omongan orang aja." balasnya terkikik.

Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa malas yang membuncah. Liya benar, absennya aku dari kegiatan warga hanya akan menjadi bahan perbincangan tak berujung.

Apalagi kami masih terhitung warga pendatang di komplek ini sehingga lebih baik aku hadapi saja daripada harus menjadi topik gosip selama sebulan penuh.

"Ya sudah, Mi. Kamu sama Caca duluan aja. Abi mau siap-siap dulu," ucapku, berusaha menyuntikkan semangat pada diriku sendiri.

"Okey siap bos!" teriak Caca, tampak lebih bersemangat dariku.

"Kita tunggu di lapangan RT ya, Bi!" kata Liya sambil mengajakku pamit.

Namun sebelum aku benar-benar bangkit dari tempat tidur, tubuhku tiba-tiba mematung dan tertegun saat baru memperhatikan kalau pakaian yang di kenakan oleh Liya cukup berbeda dari yang biasa dia pakai.

Atau mungkin sedikit berlebihan.

Pakaian Liya, yang biasanya terdiri dari setelan gamis panjang atau baju-baju longgar lain yang seperti menjadi kulit kedua baginya itu, kini tak lagi dia kenakan.

Sebaliknya, kini Liya tampak memakai atasan dengan baju legging warna hitam super ketat yang jelas sekali menonjolkan lekukan-lekukan tubuh bagian atasnya, terutama pada payudara serta bagian perutnya yang membuncit.

Baju legging tersebut, juga ia padukan dengan celana legging serasi yang membungkus dengan sempurna betisnya yang jenjang dan bentuk kakinya yang ramping.

Liya kemudian sengaja memakai sebuah rok selutut untuk sekedar menutupi bagian lekukan pantatnya. Namun meskipun begitu, aku masih bisa dapat melihat sekilas bongkahan daging pantatnya tersebut tercetak.

"Eh tunggu! U-umi mau pakai baju kayak gini?" tanyaku ragu, memandang heran pada penampilan istriku yang terlihat sangat seksi.

Liya tertawa, "Yakali, Bi! Ini Umi pake jaket sama hijab yang gede kok!" Sambungnya menenangkan.

Dia kemudian dengan santai memakai sebuah jaket training, yang sejatinya masih juga belum bisa menutup seluruh lekukan tubuh atasnya, apalagi jaket tersebut bahkan tidak bisa ia katupkan pada bagian resletingnya dikarenakan terhalang oleh perutnya yang membuncit.

Tapi beruntung, hijab yang Liya pakai berukuran cukup besar, bahkan cukup untuk menutupi seluruh bagian dadanya.

"Kayaknya rok Umi juga terlalu pendek deh! Gak ada yang agak panjangan gitu?" usahaku masih sedikit memprotes.

Liya menatap heran padaku, "Kan mau gotong royong, Abi! Mau gerak-gerak." Balasnya. "Kalau roknya panjang, jadi gabisa ngapa-ngapin dong," kikiknya tertawa.

Aku tersenyum cengengesan merasakan kalau alasan yang dia katakan cukup masuk akal. Tapi apakah ini menjadi sebuah tanda bahwa Liya sudah tidak lagi mempedulikan cara berpakaiannya? Atau mungkin aku saja yang terlalu berpikiran negatif? Karena sebagai perempuan hamil, tentu Liya juga akan memilih pakaian yang paling bisa membuatnya nyaman.

"Emangnya baju Umi aneh, Bi? Ini kan baju olahraga," Liya kembali berkata.

"Kayaknya agak ketat deh, Mi," jawabku dengan canggung, sambil tersenyum tipis. "Abi cuma agak khawatir aja, nanti orang-orang ngomongin." Sambungku membuat alasan.

Liya lalu tertawa kecil menggoda. "Ah, kamu lebay Bi! Ini nyaman kok buat gerak. Apalagi pakai legging begini, jadi makin satset satset kan nanti," ujarnya sambil memperagakan gerakan lincah yang membuatku tertawa kecil.

Dalam hati, aku ingin tetap melarangnya, namun daripada aku membuatnya semakin tidak nyaman dan kehilangan semangat, aku kemudian memilih untuk mengangguk mengijinkan.

Karena sebenarnya, Liya juga tampil sangat cantik dalam balutan pakaian yang sebelumnya tidak pernah terlihat untukku sekalipun.

"Ya sudah kalau kamu nyaman, Mi!" Balasku tersenyum, mencoba mengabaikan kekhawatiranku. "Umi tetep cantik kok."

Wajah Liya langsung memerah, "Apa sih! Gombal terus!" Balasnya merasa sangat senang.

Tasha yang sedari tadi sibuk dengan mainannya, kini melompat-lompat kegirangan. "Umi Ayoo! Kita harus jadi yang pertama di lapangan ih!"

Aku dan Liya tertawa melihat antusiasme Tasha, "Salim dulu dong sama Abinya!" Ucap Istriku.

Caca berlari kecil ke arahku, memberikan ciuman di pipiku dan mencium tangan sebelum berkata, "Abi cepat nyusul ya!"

"Iya sayang.." balasku tak kalah gemas.

Liya tertawa kecil sambil menggenggam tangan Tasha yang sejak tadi tak sabar. "Umi duluan ya, Bi. Jangan lama-lama siap-siapnya!"

Aku mengangguk lalu melambaikan tangan.

Begitu mereka terdengar sudah menutup rumah, aku menarik napas panjang, bersiap untuk menghadapi hari yang pasti akan sangat melelahkan.

Meskipun terpaksa, aku tetap tahu pentingnya membangun hubungan baik dengan tetangga, sehingga mau tak mau aku harus menumpas rasa malas ini dengan segera beranjak ke kamar mandi.

Sambil membasuh wajah, pikiranku tiba-tiba melayang ke arah Liya. Karena dalam kehamilannya kali ini, dia mengalami banyak perubahan yang cukup signifikan, baik secara fisik maupun emosional.

Utamanya pada satu bulan kebelakang.

Tubuhnya yang dulu langsing kini mulai sedikit berisi, tetapi justru membuatnya terlihat semakin menawan dengan proporsi yang sempurna.

Pantatnya yang dulu datar kini tampak lebih padat, memberi lekukan yang indah ketika dia berjalan. Buah dadanya yang dulu berukuran sedang, kini tampak lebih penuh dan menggoda.

Bulatannya tampak semakin membuncah, kencang dan membusung ke depan. Putingnya terlihat menonjol setiap saat, sementara areolanya yang dulu berwarna pink terang, kini berangsur-angsur menjadi hitam gelap dengan diameter yang makin besar pula. Bahkan saat memakai baju yang tidak terlalu tipis sekalipun, putingnya masih tetap bisa terlihat menerawang.

Perubahan itupun ternyata tidak hanya mempengaruhi penampilan fisiknya saja, tetapi juga caranya berpakaian.

Sekarang Liya lebih sering mengenakan pakaian yang sedikit lebih berani dibandingkan sebelumnya, dia beralasan seperti tidak nyaman ataupun susah bergerak sehingga dia lebih memilih memakai baju yang lebih enak untuk digunakan, layaknya pakaian yang dia gunakan tadi.

Beberapa kali bahkan, aku sering menemukan pakaian seksi dan lingerie yang dulu tidak pernah ada di lemari dan tidak tau sejak kapan dia membelinya.

Jangankan pakaian seksi, untuk celana dalam bermotif atau sekedar bra berenda saja sebelumnya dia tidak pernah mau membeli, apalagi untuk memakainya.

Padahal sebelumnya, Liya tidak pernah memprioritas kenyamanan dalam memilih pakaian yang biasa dia kenakan. Dia selalu memilih yang tertutup, longgar dan tidak mencolok seakan-akan dia mengibaratkan bajunya sebagai sebuah perisai yang dia gunakan untuk menangkis tatapan lelaki lain.

Sosoknya yang dulu sangat pemalu dan tertutup itu, kini tampaknya memang perlahan-lahan berubah menjadi perempuan yang supel serta lebih percaya diri.

Dan sebagai seorang suami, awalnya aku merasa canggung dan khawatir, melihat kepercayaan diri yang tumbuh dalam diri Liya mungkin saja menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Namun untuk sekarang, aku cukup menikmati perubahan tersebut dan memutuskan untuk membiarkannya saja.

***

Aku kemudian melanjutkan bersiap-siap dengan menghabiskan beberapa menit di kamar mandi, lalu beranjak memakai baju dan celana olahraga serta mengambil beberapa peralatan yang akan aku gunakan untuk gotong royong.

Setelah dirasa siap, aku mengunci pintu rumah dan berjalan menuju lapangan RT tempat semua warga berkumpul.

Ketika aku sampai disana, kegiatan gotong royong ternyata sudah dimulai. Suasananya cukup ramai dengan warga yang tampak sibuk dengan berbagai aktivitas, ada yang membersihkan rumput liar, membersihkan parit, hingga mengecat pagar.

"Eh, Uda! Akhirnya datang juga!" seru Pak Budi, ketua RT kami, sambil melambaikan tangan menyambutku.

Aku tersenyum dan berjalan mendekat. "Maaf telat, Pak. Tadi ada sedikit urusan di rumah," jawabku berbohong.

"Santai saja Uda! Yang penting datang. Mari-mari!" Ajak Pak Budi menepuk pundakku, mengajakku bergabung dengan beberapa bapak-bapak yang ada disana.

Sambil berbasa-basi dengan para warga, aku memutar mata celingukan berusaha mencari keberadaan istri dan anakku yang sedari tadi tidak terlihat. Bahkan ketika aku sudah mulai bekerja membersihkan parit, Liya dan Caca masih saja belum keliatan.

Memahami keresahanku, Pak Budi bertanya, "Uda lagi cari istrinya ya?"

"Ah, iya, Pak. Tadi mereka berangkat duluan soalnya," jawabku sambil tersenyum canggung.

"Ohh iya. Mbak Liya mah tergabung sama kelompok yang di taman sebelah SD, Uda!" Jawab Pak Budi.

Dia kemudian ikut menjelaskan kalau kegiatan gotong royong kali ini dibagi ke beberapa kelompok untuk memastikan semua area tercover.

"Kayaknya Uni Liya masuk kelompoknya Mang Dedi deh," Sambung Pak Budi tiba-tiba.

Mendengar nama Mang Dedi disebut, jantungku berdegub dengan cepat secara mendadak. Aku kembali merasakan kecurigaan yang menghantuiku belakangan ini atas kedekatan istriku dengannya.

"Oh iya makasih, Pak!" jawabku sambil berusaha tetap tenang. "Saya ijin mau kesana sebentar boleh ga ya?"

Pak Budi tersenyum dan mengangguk tertawa, "Hahaha. Udah kayak anak sekolah aja Uda pake izin segala!" Ucapnya bercanda.

Sedangkan aku hanya tersenyum kecut lalu berlalu meninggalkannya.

Aku melangkah menuju taman sebelah SD dengan hati yang berkecamuk. Kecurigaan yang semakin hari semakin kuat membuat langkahku terasa berat. Apa yang sebenarnya terjadi antara Liya dan Mang Dedi? Kenapa selalu saja nama tukang sayur itu disebut jika hal itu berhubungan dengan istriku?

Sesampainya di taman, aku memandang ke sekeliling, mencari keberadaan istriku tersebut. Namun lagi-lagi, tak ada tanda-tanda kehadirannya di antara kerumunan warga yang sedang sibuk bergotong royong. Aku mulai merasa semakin cemas. Di mana Liya? Apa yang sedang dia lakukan bersama Mang Dedi?

Aku memutuskan untuk bertanya kepada seorang ibu yang sedang menyapu.

"Permisi, Bu. Ibu liat Liya Istri saya gak? Kata Pak RT dia disni," tanyaku.

"Oh, tadi saya lihat dia sama Mang Dedi, Mas. Mereka ke arah gudang belakang sana, mungkin lagi ngambil alat atau istirahat sebentar," jawabnya sambil tersenyum ramah.

Dengan cepat aku mengucapkan terima kasih dan segera berjalan menuju arah yang ditunjukkan.

Ketika aku mendekati gudang, suara tawa Liya yang ceria terdengar samar-samar dari balik dinding. Hatiku semakin berdebar kencang.

Apa yang mereka lakukan di sana?

Aku mengendap-endap mendekati sudut gudang, berusaha tidak membuat suara. Ketika aku mengintip dari balik dinding, pemandangan yang kulihat membuatku amat terkejut.

Liya dan Mang Dedi sedang bercanda mesra, sangat dekat, dan tertawa bersama. Liya memukul-mukul lengan Mang Dedi dengan gemas, sementara Mang Dedi sesekali memegang tangan istriku itu dengan lembut.

Hatiku tiba-tiba sakit terasa seperti diremas. Marah, cemburu, dan kebingungan menyelimuti. Bagaimana bisa mereka begitu dekat seperti ini? Apa yang sebenarnya telah terjadi di belakangku?

Aku memaksa diriku untuk tetap tenang, meskipun hatiku bergejolak. Melihat Liya tertawa bersama Mang Dedi, bercanda dengan begitu bebas, membuatku merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengikatku di tempat.

Aku seharusnya marah, berteriak, atau setidaknya menuntut penjelasan. Namun, setiap kali aku mencoba melangkah maju, sesuatu di dalam diriku menahan.

Perasaan campur aduk itu semakin membuatku bingung. Di satu sisi, aku merasa marah dan terkhianati, namun di sisi lain, ada sebuah sensasi aneh yang tidak bisa aku jelaskan muncul saat melihat istriku yang seorang muslimah berhijab itu, terlihat sangat mesra dengan lawan jenis yang bukan mahromnya.

"Kamu makin cantik aja, Dek" kata Mang Dedi dengan suara rendah namun penuh arti.

Liya tersipu, "Ah, Mas bisa saja. Ada maunya nih pasti!"

"Dih, Serius aku, Dek! Aku nggak bohong. Kamu tambah cantik, apalagi lagi hamil begini. Tambah menggiurkan," jawab Mang Dedi sambil tersenyum.

Liya tertawa kecil, "Kamu ini, Mas. Awas aja nanti ada yang dengar."

Mang Dedi mendekatkan wajahnya ke wajah Liya, "Nggak ada yang denger kok. Kita aman di sini." Balasnya cekikikan.

Menyaksikan serta mendengar percakapan mereka, darahku mendidih begitu panas serasa akan keluar dari ubun-ubunku.
Ini sudah keterlaluan, sudah melewati batas-batas wajar untuk ukuran pertemanan diantara lawan jenis.

Namun lagi-lagi sensasi aneh dalam diriku itu semakin kuat, menggantikan amarahku dengan perasaan yang tak bisa kugambarkan.

Mang Dedi menatap Liya dengan tatapan penuh hasrat, "Baju kamu juga cocok banget, Dek. Ketat, keliatan seksi lekuk tubuh kamu. Pasti enak nih, dipake..." ucapnya sambil tertawa kecil.

Liya membalas memukul lengan Mang Dedi dengan gemas, "Mas ya, ada-ada aja," katanya sambil tersenyum malu. "Ini kan Mas yang nyuruh aku pakai baju begini."

BBDDAAAAAARRRR!!!

Seperti tengah disambar petir di siang bolong, aku mematung di tempat.

Kok bisa? Dua kata itu berputar di kepalaku.

Bagaimana bisa, Liya, istriku, yang merupakan seorang muslimah alim yang ku tahu selalu menutup auratnya di hadapan lelaki lain, kini memakai baju tak pantas sesuai dengan permintaan Mang Dedi?

Bagaimana pula seorang tukang sayur rendahan seperti dia bisa membuat permintaan cabul kepada istriku? Bukankah harusnya istriku marah? Menolak? Atau mungkin memberikan sebuah tamparan karena sudah menghina martabatnya sebagai seorang muslimah.

Tapi kenapa Liya tampak seperti menikmatinya? Seakan-akan dia sengaja menawarkan diri sebagai target, lalu menyerahkan panah kepada Mang Dedi? Menyerahkan hadiah kepada orang yang sudah melucuti harga dirinya sebagai istri dan perempuan muslimah.

Kenapa?

"Hehe Iya, Dek. Makasih ya udah mau nurutin kemauan aku," kata Mang Dedi sambil mengelus pipi Liya dengan lembut.

"Sialan! Kurang ajar! Brengsek kau Dedi!!!" umpatku dalam hati.

Darahku terasa begitu mendidih sampai-sampai aku mengepalkan tangan begitu kuat. Setiap syaraf di tubuhku berteriak dengan kencang ingin segera mendatangi mereka dan menghentikan apapun yang saat ini mereka lakukan.

Tapi lagi-lagi aku membeku.

Saat istriku, justru tampak tersenyum malu-malu, "Sama-sama, Mas." Ucapnya. "Lagian, aku kayaknya juga suka pakai baju yang Mas pilih. Rasanya lebih nyaman dan..," ia berhenti sejenak, wajahnya memerah, "...lebih seksi." sambungnya setengah berbisik.

"Serius dek?" Tanya Mang Dedi dengan tatapan berbinar.

Liya mengangguk lalu beringsut mendekat kearahnya, "Iya, Mas! Kayaknya aku berasa jadi lebih... Lepas."

"Iyakah? Berarti ga nyesel dong nurutin aku?"

Liya menggeleng bersemangat, "Ga nyesel sama sekali!"

Mang Dedi terkekeh, "Kalau gitu, nanti kita coba pakai baju yang lebih hot lagi, gimana? Berani?" Tawarnya dengan muka yang kurang ajar.

Mereka berdua kemudian tertawa bersama, dan aku disini hanya tetap berdiri kaku, menyaksikan adegan yang seharusnya membuatku marah sebagai suami. Namun pada kenyataannya, aku tetap saja menahan diri.

Entah karena alasan apa.

Apalagi setelah kuperhatikan, Liya juga tampak begitu berbeda ketika dia dengan Mang Dedi. Dia terlihat lebih bebas, lebih hidup dan tertawa lepas. Sesuatu yang mungkin jarang kulihat ketika dia bersamaku.

Apakah mungkin selama ini aku terlalu mengekang Liya? Apakah ada sisi dirinya yang belum pernah kulihat? Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri dari banyaknya pertanyaan.

"Yuk, Mas! Kita balik ke taman! Takut ada yang nyariin." Ajak Liya pada Mang Dedi.

Namun si penjual sayur itu malah bersungut dan merajuk seperti anak kecil, "Yah!! Aku kentang nih, Dek!"

"Lagian Mas keluarnya lama! Mulutku sampai pegel ihh!!"

Perkataan Liya membuatku tertegun. Apa yang sebenarnya mereka lakukan sebelum aku datang kesini? Apa maksudnya dengan Mang Dedi yang keluarnya lama? Sehingga bisa membuat mulut istriku pegal?

Pikiran-pikiran liar mulai menghantui benakku, menambah beban yang sedari tadi sudah berat di dada. Rasa cemburu dan curiga juga kian menggerogoti. Dan ditengah-tengah perasaan itu pula, aku juga menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dalam menggangguku.

Yaitu pikiran tentang sensasi aneh yang bergejolak, perasaan yang tak bisa tergambarkan namun semakin menguat setiap kali aku melihat kemesraan istriku Liya dengan Mang Dedi si tukang sayur, perasaan yang seolah-olah mensugestiku untuk menikmati interaksi mereka.

Mang Dedi menghela napas berat, "Yasudahlah. Nanti kita lanjutin lagi, janji ya?"

Liya mengangguk dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya, "Iya, Mas. Janji." balasnya.

Matahari semakin terik di atas kepala saat mereka kemudian keluar dari gudang, bayangan pohon-pohon di sekitar taman sudah mulai memendek menandakan kalau sebentar lagi waktu sudah hampir memasuki dzuhur.

Aku menunggu sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyianku. Dengan langkah berat, aku kembali menuju taman, mencoba menenangkan diri dan menata pikiran yang sudah kacau balau oleh perbuatan istriku itu.

Sesampainya di taman, aku melihat Liya dan Mang Dedi sudah bergabung kembali dengan kerumunan warga lainnya, membantu membersihkan sisa-sisa gotong royong. Liya terlihat begitu ceria, bercanda dengan beberapa ibu-ibu lain, sementara Mang Dedi sibuk dengan pekerjaannya, namun sesekali melirik ke arah Liya.

Sedangkan aku berdiri di pinggir taman, mengamati tingkah mereka dengan hati yang masih bergejolak. Aku mencoba menganalisis perasaanku, mencoba mencari jawaban atas apa yang sebenarnya kurasakan. Apakah ini cemburu? Atau ada sesuatu yang lebih dalam yang tidak bisa aku pahami?

"Abi!" Suara Tasha membuyarkan lamunanku. Ia berlari kecil mendekat, memelukku dengan erat. "Abi kok gak ikutan kerja sih?" tanyanya gemas.

Aku tersenyum tipis, mengusap kepala Tasha dengan lembut. "Iya, sayang. Ini mau bantuin." balasku.

Dari ujung mata, aku lalu menangkap sosok Liya yang berjalan menghampiriku, dia tersenyum seolah-olah tidak ada yang terjadi, "Kata Bu Intan Abi tadi udah kesini ya?"

Aku mengangguk sambil menggaruk kepala, "Hehehe.. Iya Umi. Abi cari Umi tapi Uminya gak ada." balasku berusaha bersikap normal.

"Ehh.. eehmmm.. Ta--tadi Umi lagi bersihin area belakang." jawab terbata Liya. Aku dapat melihat sekilas kilatan cahaya keraguan dari matanya. "Trus Abi kemana?" sambungnya bertanya.

"Hehehe. Abi mules Umi, biasalah!" jawabku tersenyum, meski di dalam hati, aku merasa ada sesuatu yang salah dengan sikapku sendiri.

Harusnya aku marah, melihat bagaimana istriku yang sholehah ini, sudah terang-terangan berbohong kepadaku. Namun lagi-lagi, sesuatu hal dalam diriku mencegahku untuk melakukannya.

Liya tersenyum meledek, "Emang ya! Abi tuh dimana-mana selalu mules." Dia terkikik.

Kami lalu kembali bergabung dengan rombongan warga disana karena sebentar lagi akan ada waktu istirahat yang akan kita pergunakan untuk menyantap makanan bersama-sama.


EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28