javascript hit counter

Penunggang Liya Seorang Ibu Muda

EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Chapter 22





Liya


Tak terasa waktu berlalu dengan cepat hingga sampailah kami pada jam istirahat siang.

Beberapa warga tampak mulai membuat kelompok serta berbondong-bondong mencari tempat untuk berteduh dari teriknya panas matahari.

Aku sendiri, mengajak Liya dan Caca untuk pergi menuju sudut taman dimana ada sebuah pohon yang cukup besar disana.

Kami melihat sudah ada kelompok yang diisi oleh para ibu-ibu berjumlah enam orang. Diantara mereka, tampaknya ada beberapa yang cukup mengenal istriku sehingga mereka mengajak kami bergabung.

"Ah, Liya, sini-sini gabung," sapa ramah seorang ibu-ibu yang setauku bernama Bu Retno.

"Terima kasih, Bu," jawab Liya sambil tersenyum.

Kami menggelar tikar dan duduk bersama di bawah pohon.

Suasana terasa lebih sejuk dan nyaman karena teriknya matahari terhalang oleh dedaunan pohon yang begitu banyak.

Obrolan para ibu-ibu komplek mulai riuh saat mereka masing-masing mengeluarkan makanan yang telah mereka bawa dari rumah. Ternyata semua ibu-ibu tampak begitu antusias dan menantikan momen gotong royong ini, terlihat dari betapa banyaknya makanan yang telah mereka persiapkan.

Liya sendiri tampak berbinar-binar serta bersemangat terlibat dalam percakapan, mungkin karena selama ini dia belum mempunyai teman yang cukup akrab untuk bisa sekedar diajak berbicara ataupun menggosip di perumahan ini.

"Ini udah masuk empat bulan ya?" tanya Bu Retno pada Liya sambil membuka kotak bekal berisi makanan.

Liya lalu mengangguk, "Iya, Bu, udah mau lima malah." jawabnya sambil mengusap perutnya yang membuncit.

"Wah ga terasa ya?!" Balas Bu Retno. "Bentar lagi si Uda bisa kembali beraksi tuh! Ga perlu pake tangan lagi," dia tertawa.

Disusul oleh para ibu-ibu lainnya.

Sedangkan aku hanya menyambutnya dengan malu-malu tersenyum kecut sambil menggaruk kepala, "Hahaha.. Bisa aja Ibu.."

"Wuu.. Sabar banget ya si Uda. Suami saya dulu pas udah dibolehin dokter langsung minta jatah beronde- ronde loh," sambung salah seorang ibu.

Mereka kembali tertawa.

"Waahhh.. Apa suami saya nanti begitu juga ya, Bu?" kali ini Liya yang ikut bercanda.

Tawa ibu-ibu semakin riuh mendengar candaan Liya. Aku hanya bisa tersenyum kecut sambil merasa sedikit malu, tapi aku juga ikut bahagia melihat Liya bisa sangat akrab sambil bercanda dan tertawa lepas bersama mereka.

Percakapan terus berlanjut tentang seputar kehamilan, mulai dari pengalaman hamil mereka masing-masing, pantangan-pantangan yang harus dihindari, hingga tips-tips tentang kehamilan lainnya.

Dan aku hanya menyimak sambil mengangguk-angguk hingga sesekali ikut tertawa.

Ketika kita mulai akan menyantap makanan, Bu Retno tiba-tiba melihat sosok Mang Dedi berada tidak jauh dari tempat kita berkumpul. "Eh, itu ada Mang Dedi tuh!" Ucapnya menunjuk.

Bu Retno melambaikan tangannya sambil memanggil, "Mang Dedi!! Sinii!! Gabung sama kita!" Teriaknya.

Mendengar namanya di panggil, Mang Dedi lalu mendongak, dia menyunggingkan senyum lebar sambil berjalan mendekat, menyeka tangannya dengan kain yang disampirkan di bahunya. Mang Dedi mengamati keberadaan kami, sebelum akhirnya dia menangkap sosok Liya dan tersenyum makin sumringah.

"Wah! Ini nih yang saya cari daritadi. Kumpulan Ibu-ibu yang masakannya paling enak sekomplek," ucapnya bercanda santai.

Para ibu-ibu kemudian tertawa, menyambut kedatangan tukang sayur paruh baya itu dengan cukup hangat, termasuk Liya yang juga ikut terkikik malu-malu.

Sedangkan aku memaksakan senyum, mendadak kehilangan nafsu makan.

Bayangan tentang keakrabannya dengan istriku di gudang tadi, mulai terngiang-ngiang di kepalaku seperti sebuah kaset rusak. Dan eksperesinya kurang ajarnya itu, semakin membuat darahku mendidih.

Tapi seakan belum cukup membuat suasana hatiku menjadi buruk, Mang Dedi kemudian memilih untuk duduk di sebelah Liya, berada di tengah antara Bu Retno dan istriku, seakan-akan dia menganggap kalau itu adalah tempat yang dikhususkan untuknya.

"Hai ukhti Liya, hari ini kayaknya panas banget ya?" Sapa Mang Dedi mengedipkan mata.

Para ibu-ibu langsung bereaksi dengan tertawa geli saat mereka mendengar Mang Dedi memanggil istriku tersebut menggunakan sebutan ukhti.

"Buset. Ganjen banget lu, Ded! Manggil-manggil ukhti segala!" Salah seorang Ibu mencibir ke arahnya.

"Ya bener dong, Bu! Masa saya panggil mas!" Balas Mang Dedi mengelak. "Yakali yang secantik Dek Liya dipanggilnya mas-mas. Ya gak Uda?" Mang Dedi melempar pembicaraan padaku.

Sedangkan aku tertegun mendapati Liya yang terkikik malu-malu sendirian karena tingkah Mang Dedi. "Eh? Iya Mang! Ga cocok dong kalau gitu," balasku gugup, berusaha bersikap se normal mungkin.

Para ibu-ibu kemudian tertawa terbahak-bahak serta saling bergantian mencibir Mang Dedi. Sementara aku merasakan rasa kecemburuan yang luar biasa saat melihat Liya tidak menyadari ketidaknyamananku, dia justru malah ikut tertawa bersama mereka.

"Alaaahh.. Bilang aja lu mau ngegodain Dik Liya kan? Ngaku lu!" Bu Retno menunjuk serta menuduhnya dengan geli, "Sengaja banget nyari posisi duduknya."

Mang Dedi terkikik, "Yah daripada deket-deket sama nenek-nenek lampir, mending saya duduk di sebelah Dek Liya yang cantik ini lah!" Ucapnya dengan nada yang tulus memuji.

Para ibu-ibu pun riuh setelah mendengar ucapan Mang Dedi tersebut, mereka bahkan mencie-cie kan Liya yang wajahnya tampak memerah seperti tomat mendengar pujian Mang Dedi.

"Emang gak ada sopan santunnya si Dedi ini! Udah tau ada suaminya disini juga, masih aja mau ngembat Dik Liya!" Bu Retno menepuk-nepuk pundak Mang Dedi dengan gemas dan kesal.

Liya pun tiba-tiba ikut tertawa terbahak-bahak, "Emangnya Mang Dedi suka ngembat istri orang, Bu?!" Tanyanya.

"Ah dia mah siapa aja juga diembat Dik! Nenek-nenek jomblo juga pasti di godain." Bu Retno tertawa terbahak-bahak.

"Sorry yeee buibu, saya cuma nyari yang cantik kayak Dek Liya aja! Nenek-nenek mah gak dulu!" Jawab Mang Dedi membela diri.

Memantik kembali tawa para Ibu-ibu dengan riuh, beberapa dari mereka bahkan mencoba mencuri-curi pandang ke arahku seakan ingin melihat aku bereaksi.

Tapi yang kulakukan hanyalah mengertakkan gigi dan mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang tumbuh cepat di dada. Aku berulang kali berkata dalam hati kalau ini hanyalah sebuah candaan yang sama sekali tidak perlu dimasukkan dalam hati.

"Saya mah duduk deket Dek Liya karena kangen masakannya yang enak banget." Kata Mang Dedi tiba-tiba.

Akupun secara tidak sadar, reflek bertanya dengan nada penuh ketidaksukaan, "Emangnya Mang Dedi udah pernah nyoba masakan istri saya ya?"

Semua mata tiba-tiba tertuju pada Mang Dedi. Aku bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul karena suasana menjadi agak canggung.

Namun dengan santainya Mang Dedi tertawa kecil.

"Pernah dong, Uda! Waktu saya nganter Uda ke stasiun kan pulangnya saya disuruh makan dulu sama Dek Liya."

Mang Dedi berhenti lalu memalingkan wajahnya ke istriku, "Iya gak Dek?" Ucapnya sambil mengedip.

"Hehehe Iyaa bener." Jawab Liya malu-malu di depanku.

Sedangkan aku mematung tak tau harus berbuat apa mendengar pengakuan itu. Jadi selama ini hubungan mereka sudah terlalu akrab tanpa sepengetahuanku?

"Wah! Wah! Wah!! Telah terjadi skandal terbesar abad ini pemirsahhhh!!" sela Bu Retno bertepuk tangan sambil disambut tawa riuh serta siulan ibu-ibu disana.

"Pasti nih tukang sayur makannya banyak ya Mba Liya?" Bu Retno kembali bercanda, memecah suasana yang tidak mengenakkan.

"Huhu.. Iya Bu! Masa nasi saya satu magicom diabisin sendiri!" Liya ikut menimpali candaan Bu Retno, tapi sepertinya dia tidak menyadari kegundahan hatiku.

Semua orang ikut tertawa mendengar ucapan Liya.

"Eh, pantesan aja lu kuat, Ded. Tiap hari pasti makannya segunung," canda salah satu ibu-ibu, membuat suasana semakin riuh.

Mang Dedi tersenyum lebar, "Hehe, ya gimana Bu, masakan Dek Liya emang paling enak. Jadi saya susah nahan diri." ucap Mang Dedi mendedipkan lagi matanya kearah Liya.

Seolah-olah memberi pertanda kalau dia bukan sedang membicarakan masakan istriku, namun membicarakan sesuatu yang lain.

"Bisa aja kamu, Mas!" jawab Liya tersenyum malu-malu seperti menyukai pujian itu. "Padahal itu mah karena kamu lagi laper aja pasti kan?"

Semua orang disana tertegun sebentar, mendengar bagaimana Liya memanggil tukang sayur sialan itu dengan sebuatan 'Mas,' tak terkecuali aku sendiri yang sebenarnya sudah tau sejak lama, namun ikut terkaget karena Liya kini memanggilnya di depan umum.

Seolah ia sedang mengisyaratkan serta memberitahukan kedekatan mereka kepada semua orang.

"Engga ya, Aku bener-bener suka loh sama masakan kamu Dek!" Balas Mang Dedi menjawab.

Disambut kembali oleh tawa ibu-ibu, "Suka masakannya atau suka orangnya nih?" Bu Retno memancing.

"Cieee Dedi dipanggil Mas sama Dik Liya!”

"Pantesan tuh senyum lebar banget kayaknya tadi," para ibu-ibu bergantian meledek.

Sedangkan Liya kembali malu-malu dengan wajah memerah, seperti dia secara tidak sengaja memanggil Mang Dedi dengan sebutan Mas di depan banyak orang, namun ikut senang saat orang-orang tau tentang keakraban mereka.

Aku kembali merasakan campuran emosi yang aneh saat melihat Liya tertawa bersama Mang Dedi dan ibu-ibu lainnya. Senyumku terasa kaku dan hatiku berdegup lebih kencang.

Bagaimana bisa Liya bersikap seakrab ini dengan pria lain dihadapanku yang merupakan suaminya sendiri? Apakah sudah sejauh itu hubungan kedekatan mereka sehingga mereka sudah berani terang-terangan seperti ini? Lalu hal apa yang bisa aku perbuat untuk menghentikan istriku yang tampak sangat bahagia itu?

Dan kenapa pula cemburu ini terasa berbeda?

"Ayo makan, Bi," Liya menyodorkan sepotong ayam padaku, memotong lamunanku.

Aku mengangguk dan mengambilnya, tapi selera makanku sudah hilang. Masih terbayang adegan Liya dan Mang Dedi di gudang tadi, serta ditambah dengan kemesraan mereka saat ini.

Sambil menyendok makanan, mataku terus mengawasi Liya, yang masih asik bercanda lepas dengan Mang Dedi dan ibu-ibu lainnya.

Sedangkan aku makin lama makin merasa terasingkan.

Ketika tawa mereka mulai mereda, Bu Retno menambahkan, "Wah, kayaknya masakan Mba Liya bener-bener spesial nih di hati lu, Ded!"

"Hahaha.. Iya bu, kalau tiap hari ada yang masakin enak gini, bisa-bisa saya pindah rumah nih," Mang Dedi kembali membuat riuh suasana dengan candaannya.

Namun Liya seperti juga tak mau kalah, "Kayaknya saya harus masak lebih banyak nih mulai sekarang."

"Ide bagus tuh! Saya mau!" sorak Mang Dedi menyetujui.

Para ibu-ibu tertawa, melempar benda apa saja yang bisa mereka gapai ke arah Mang Dedi.

"Gak ada sopan santunnya emang si Dedi!" geleng Bu Retno tertawa. "Hati-hati loh! Nanti suaminya cemburu," kata Bu Retno.

Semua kembali tertawa termasuk Liya.

Akupun ikut tersenyum kecut, tetapi hatiku terasa sakit, "Canda ya Uda!" sambung Bu Retno kepadaku.

Aku merasa seperti orang luar yang sedang menonton sebuah adegan yang seharusnya membuatku murka dan marah. Rasanya aneh, ada campuran kecemburuan serta rasa lemah dalam diriku yang membuatku seolah-olah tidak berdaya untuk sedikit bangkit membela diri.

"Umii!! Caca mau disuapin!" Ditengah riuhnya suasana, Tasha menyela dengan suara cemprengnya yang gemas. Liya dengan segera menyuapi anak kami tersebut lalu membiarkannya kembali bermain.

"Idih Dedi, ngeliatin Mba Liya gitu banget." Ucap Bu Retno, "Mau disuapin sama Mba Liya juga lu?"

Mereka tertawa. "Hehehe. Mau lah!" kekeh Mang Dedi dengan tidak sopannya.

"Woooo... Gak tau diri nih tukang sayur!!"

"Udah engkong-engkong masih genit wae yaa!!"

"Gak sudi Mba Liya nyuapin bapak-bapak kek elu, Ded!"

Para ibu-ibu disana saling bergantian meledek Mang Dedi sambil memukul-mukul tubuhnya. Kejadian itu cukup kocak sehingga akupun tak bisa menahan diri untuk tak bisa tertawa meskipun hatiku masih dalam keadaan gundah.

Akan tetapi selanjutnya aku dibuat sedikit terperangah, karena istriku tanpa ragu, mengambil sendok dan menyendokkan sup ayam ke arah Mang Dedi, "Nih, Mas! Buka mulutnya," katanya sambil tersenyum manis.

Riuh siulan dan teriakan Ibu-ibu pun mengiringi keceriaan Mang Dedi yang dengan cepat membuka mulut, membiarkan Liya menyuapinya. Adegan itu membuat darahku begitu mendidih, tapi sekaligus dibarengi dengan perasaan aneh yang membuatku tidak bisa berpaling.

Apakah aku benar-benar cemburu?

"Mba Liya jangan terlalu dibaekin nih tua bangka, nanti ngelunjak loh dia!" Gemas, seorang Ibu-ibu langsung mencibir Mang Dedi.

"Yaelah, Emang kenapa sih Bu? Suaminya aja gak marah." balas Mang Dedi mencibir balik. "Iya gak, Uda?" tanyanya kepadaku.

Aku sempat akan berpikir untuk menjawab serius pertanyaan Mang Dedi tersebut, namun mengingat suasana yang sedang asik-asiknya, akupun lagi-lagi memutuskan untuk ikut sedikit bercanda, "Kata siapa saya gak cemburu?" balasku bersidekap, "Saya juga mau lah disuapin sama istri saya!" sambungku lagi.

"Nah kan! Mamam tuh! Marah suaminya!"

"Hayo loh Ded! Tanggung jawab loh!"

"Macam-macam sih!"

Para ibu-ibu langsung menimpali perkataan ku dengan cibiran kearah Mang Dedi. Yang pada akhirnya membuat semua orang tertawa tak terkecuali Liya.

Makan siang itupun berlanjut dengan kejadian yang hampir sama, dimana Mang Dedi sudah terlihat seperti seorang badut hiburan yang membuat suasana semakin riuh dengan candaannya. Sesekali bahkan dia sengaja melirik ke arah istriku untuk sekedar mengedipkan mata ataupun menggodanya.

Sampai pada akhirnya, justru aku sendiri yang mulai merasa tidak nyaman berada disana, karena aku seperti terasingkan dari mereka yang sangat asik bercanda sedangkan aku hanya beberapa kali tersenyum.

"Abi mau ke mushola dulu ga?" tanya Liya disela-sela obrolan.

Seperti mendapat sebuah jalan keluar, akupun mengangguk, "Iya, Mi! Mau Dzuhur dulu kayaknya." balasku.

"Yaudah Abi duluan gih! Ajakin Caca, nanti Umi nyusul!" kata Liya mempersilahkan.

Tadinya aku sempat ragu, harus meninggalkan istriku tersebut bersama dengan Mang Dedi sekali lagi, namun mengingat masih ada ibu-ibu disana, aku yakin baik Mang Dedi maupun Liya bisa menjaga sikap mereka dan tidak akan berbuat sesuatu diluar batas.

Aku mengangguk.

Dengan berpamitan kepada semua yang ada disana, aku berjalan perlahan meninggalkan mereka sambil menggandeng tangan kecil Tasha menuju mushola yang berada di dekat lapangan RT.

Usai menunaikan sholat, aku mendapati kalau Tasha sudah tertidur pulas di balik pintu mushola sehingga membuat banyak orang yang melihatnya menjadi gemas.

"Mungkin sudah abis baterainya." ucapku dalam hati.

Setelah memastikan dia nyaman, aku duduk sejenak di dekat pintu mushola, merenungi kejadian hari ini yang begitu menguras emosi dan tenagaku.

Aku pelan-pelan mencerna, berusaha untuk berpikiran se positif mungkin, walau sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kedekatan Liya istriku dan Mang Dedi, aku masih tidak mau berpikiran buruk. Paling tidak aku masih bisa mempercayai Liya, yang pasti akan menjaga marwahnya sebagai istri dan seorang muslimah.

Lagipula, bukankah Liya hanya bersikap ramah? Aku percaya padanya dan tidak ingin merusak suasana. Mungkin, aku yang terlalu berlebihan karena bisa jadi Liya tidak menganggap Mang Dedi sebagai lelaki secara utuh, namun sebagai teman yang bisa diajak ngobrol dan bercanda lepas?

Lalu bagaimana dengan kejadian di gudang tadi? Kenapa mereka tampak memelikk sebuah rahasia yang hanya mereka yang tau? Apa benar hanya itu yang terjadi? Kenapa harus diam-diam kalau memang tak ada yang mereka sembunyikan? Kenapa harus takut pula kalau orang lain akan melihat mereka?

Satu persatu pertanyaan mulai tumbuh dalam benakku.

Bukan hanya pertanyaan tentang Liya serta Mang Dedi saja, tiba-tiba muncul juga pertanyaan terhadap diriku sendiri.

Kenapa aku tidak marah? Aku melihat bagaimana Mang Dedi merayu Liya, memujinya dengan kata-kata manis yang kurang pantas diucapkan seorang lelaki kepada perempuan yang sudah bersuami.

Aku meliat Liya tertawa riang, duduk berdekatan dengan Mang Dedi, tanpa rasa canggung, bereaksi seolah-olah menikmati setiap detik waktunya dengan penjual sayur itu. Bahkan di depanku dan di depan banyak orang, Liya tidak segan menyuapi Mang Dedi, bercanda seolah-olah aku sebagai suaminya tidak akan merasa kecemburuan.

Lalu kenapa pula aku hanya diam saat aku sudah tau fakta bahwa Mang Dedi lah yang menyuruh Liya memakai baju yang kurang sopan itu?

Harusnya aku bertanya.

"Huufffttt.. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Aku menghela napas panjang, mencoba mencari jawaban.

Dalam hati kecilku, aku tau, ada yang tidak beres. Tapi aku memilih untuk menekannya, menutupi kecurigaan dengan lapisan kepercayaan yang tebal. Aku tidak ingin menjadi suami yang cemburuan, yang selalu meragukan kesetiaan istrinya sendiri.

Lagipula, seperti apa yang aku pikirkan jauh-jauh hari, butuh sebuah keajaiban yang benar-benar ajaib bagi seorang seperti Mang Dedi untuk dapat membuat istriku mau berselingkuh dengannya.

"Ya itu tidak mungkin," anggukku dalam hati.

Setelah selesai menenangkan pikiran, Aku kemudian meraih ponselku dan memberitahu Liya kalau Tasha tertidur di mushola. Selang tak berapa lama, Liya akhirnya datang menghampiriku.

"Ditinggal aja, Bi! Umi juga mau sholat dulu nih! Abis itu mau istirahat bentar," ucap Liya tersenyum.

Aku lalu mengangguk senang, karena dengan tak sengaja sudah berhasil membuat istriku tak lagi harus berdekatan dengan Mang Dedi. "Yaudah, Mi! Nanti Abi ijin sama Pak RT deh. Umi kan lagi hamil juga, jangan terlalu dipaksain." ucapku menemukan sebuah alasan yang cukup tepat.

"Hehehe. Iya Abi. Tapi gantinya Abi harus kerja dua kali lipat ya?!" balas Liya.

"Oh siap bosque!" ucapku terkekeh senang.

Dengan semangat empat lima, aku kemudian pergi meninggalkan istriku di mushola. Setelah memberitahukan kepada Pak RT, aku kembali menuju taman dekat sekolahan untuk melanjutkan kegiatan gotong royong.

Kali ini aku bersemangat, seperti mendapat tambahan energi baru setelah mengetahui kalau Mang Dedi sudah tidak bisa lagi berdekatan dengan Liya. Aku bahkan terus mengawasi keberadaannya, takut-takut kalau seandainya dia menghilang ditengah keramaian.

Entah apa yang aku pikirkan saat itu. Yang pasti, aku tidak ingin lagi melihat Mang Dedi dan istriku berdekatan.

Namun rencana tinggalah rencana, karena selang tak beberapa lama kemudian, aku melihat sosok Mang Dedi berpindah tempat. Sedangkan secara mendadak pula, perutku bergemuruh hebat menandakan datangnya panggilan alam yang menuntut untuk dituntaskan.

"Ah, kenapa sekarang sih," gumamku kesal sambil melirik ke arah Mang Dedi yang menghilang.

Dengan keterpaksaan yang tak bisa dielakkan, aku dengan berat hati segera beranjak menuju kamar mandi di belakang sekolah SD, yang posisinya hampir berdekatan dengan gudang tempat aku mengintip Liya dan Mang Dedi sebelum istirahat siang tadi.

"Perasaan gak makan yang pedes dah tadi," gumamku menggerutu sambil menyelesaikan urusanku.

Waktu terasa berjalan begitu lambat, dan aku malah dibuat semakin gelisah dengan pikiran tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di luar sana. Entah apa yang mempengaruhi ku sehingga aku bisa berpikiran seperti itu. Namun yang pasti, aku tidak bisa berpikir secara rasional.

Menit demi menit bahkan terlewat seakan-akan sangat lama, sedangkan perutku masih saja mulas dan melilit. Bulir-bulir keringat membasahi seluruh wajahku dalam suasana kamar mandi yang begitu panas ditambah dengan gejolak pikiranku.

Tiba-tiba saja, aku mendengar samar suara Liya yang terkikik pelan namun cukup jelas, "Mas yakin gak ada yang liat kita?" tanya Liya sedikit was-was.

Sedangkan aku yang mendengarnya, langsung merasakan tabuhan gendang jantungku berdegub sangat kencang. Segala macam imajinasi liar sekilas bermunculan dalam benakku.

"Apa-apaan ini? Baru sebentar aku menghilang dan Liya sudah kembali kesini?" teriakku dalam hati.

"Hehehe. Tenang aja, sayang. Aman kok," Mang Dedi membalas. Membuat darahku mendidih mendengar kekehan penjual sayur tua itu.

Tak berselang lama, suara istriku dan Mang Dedi itupun lenyap dan tidak lagi terdengar. Sehingga dengan perasaan yang gundah dan gusar, aku segera menyelesaikan urusan perutku.

Aku tidak lagi peduli dengan rasa mulas yang masih tersisa. Pikiran tentang Liya dan Mang Dedi memenuhi kepalaku, mendorongku untuk segera keluar dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Sambil berlari kecil menuju sumber suara tadi, jantungku masih berdetak amat kencang, rasa penasaran bercampur dengan kecemasan memenuhi dadaku. Tangan dan kakiku gemetar, sebagian karena emosi dan sebagian lagi karena ketakutan yang belakangan ini aku pikirkan mungkin saja benar-benar terjadi.

Aku menyelinap ke belakang gudang sekolah, tempat suara tadi berasal.

Di tempat yang sama dengan tempat aku mengintip tadi, aku bersembunyi, melihat Liya dan Mang Dedi sedang duduk berdekatan dengan posisi membelakangiku. Mang Dedi tampak membisikkan sesuatu di telinga Liya, lalu membuat Liya tersenyum nakal dan memukul dada pria itu.

Melihatnya, detak jantungku berdetak semakin keras, seakan-akan siap meledak di dalam dadaku. Mata ini tak bisa berpaling dari pemandangan di depan sana.

Usai Liya mendengar bisikan Mang Dedi sekali lagi, Liya mengangguk pelan, lalu tubuhnya condong ke arah Mang Dedi. Kepalanya menunduk, tenggelam di balik senderan kursi, membuatku tak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi.

Sedangkan pikiran-pikiran liar mulai mempengaruhiku untuk menebak apa yang sedang mereka lakukan.

Belum cukup dengan keherananku yang belum terjawab, kali ini aku melihat kepala Liya mulai bergerak naik turun, sedangkan Mang Dedi tampak menyender ke sandaran kursi seperti menikmati situasi itu, sambil tangannya kokmemegang kepala Liya yang terbalut hijab dengan raut wajah yang aneh.

Dan mimpi buruk yang aku takutkan itu, ternyata benar-benar menjadi kenyataan.

Dibarengi dengan gerakan kepala Liya yang terus bergerak naik turun, aku mulai mendengar suara-suara samar yang berkecipak basah seperti suara mulut yang sedang mengulum sesuatu.

Suara itupun juga dibarengi dengan beberapa kali suara rintihan pelan Liya serta suara lenguhan penuh kenikmatan dari Mang Dedi.

DEEEEGHHHHHH!!

Aku menggigit bibirku keras-keras, karena jauh dalam lubuk hatiku, aku tau apa yang sedang dilakukan oleh istriku kepada tukang sayur sialan itu.

Aku tidak bisa mengabaikan suara-suara yang mereka buat serta suara kursi yang berderit mengikuti gerakan Liya selain berkesimpulan bahwa saat ini istriku yang sholehah itu, tengah melakukan seuatu hal yang tak senonoh, yaitu menghisap penis Mang Dedi.

Tapi sampai sekarang pandanganku masih terhalang, masih belum bisa melihat dengan jelas kejadian yang sebenarnya.

Sehingga aku memutuskan untuk berjingkat-jingkat di sekitar gudang, dengan putus asa mencari sudut yang lebih baik untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik kursi.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari celah atau ruang yang bisa memberiku pandangan yang lebih jelas ke dalam.

Akan tetapi, tumpukan barang bekas dan pencahayaan gudang yang buruk, seakan-akan bersekongkol melawan dan mencegahku untuk melihat lebih jauh.

"Anjinglah!" Aku mengumpat merasa sangat frustasi.

Bukan hanya karena kecurigaanku tentang Liya yang mungkin melakukan sesuatu yang tak senonoh dengan Mang Dedi, tapi juga karena kursi sialan yang menghalangi pandanganku itu. Sandaran bangkunya yang tinggi seakan-sekaan menjadi tembok yang besar bagiku.

Meninggalkanku yang hanya bisa menebak serta membayangkan dalam imajinasi tentang apa yang Liya perbuat kepada Mang Dedi.

Marah? Tentu saja. Cemburu? Sudah pasti. Terhina? Apalagi.

Kakiku bahkan terasa amat lemas, hampir tak sanggup menopang badanku.

Dunia pun seolah berhenti berputar, segala macam kebisingin hilang, hingga yang terdengar hanyalah suara denyut nadi dan degub jantungku sendiri yang menggema di telinga. Aku berusaha untuk bernapas, namun rasa sakit di dadaku semakin menjadi-jadi.

Bagaimana mungkin, Liya, istriku yang amat aku cintai dan kupercayai selama ini, berbuat menyeleweng dengan seorang tukang sayur?

Bagaimana mungkin, Liya, yang merupakan seorang muslimah sholehah itu, telah menggunakan mulutnya untuk melakukan sesuatu yang sangat berdosa?

Bagaimana mungkin Liya bisa merendahkan dirinya sendiri di hadapan Mang Dedi?

Ingin rasanya aku berteriak, menghentikan segala kegilaan yang sedang dilakukan oleh istriku tersebut. Namun suaraku tertahan di tenggorokan, seolah ada gumpalan besar yang menghalangi.

Lagi dan lagi, perasaan itu membuatku bingung dan marah pada diriku sendiri. Apa yang salah denganku? Kenapa aku tidak langsung menghentikan semua ini? Kenapa justru aku diam dalam amarah? Kenapa aku malah merasa penasaran dalam rasa yang memalukan?

Meski sudah berusaha menepis perasaan aneh itu, namun semakin aku mencobanya, semakin kuat pula perasaan itu menghimpit. Perasaan itu menghinakan, tapi juga tak kulepaskan.

Kenapa Liya melakukan hal ini dengan Mang Dedi? Tak cukupkah aku seorang suami untuknya? Apa yang membuat laki-laki penjual sayur yang sudah berumur itu lebih unggul dariku? Sehingga seorang istri dan perempuan alim seperti Liya pun dengan sukarela memenuhi hasrat seksualnya.

"Uggghhh.. Mas udah mau keluar, Dek!" suara parau Mang Dedi mengambil alih kembali pikiranku yang berkutat.

Hanya berselang tak begitu lama, Mang Dedi kemudian terdengar mengeram cukup kencang, kedua tangannya menahan kepala berhijab istriku sambil menekannya ke bawah.

Mang Dedi tampak menengadah, mungkin menikmati momen keberhasilannya dalam melepaskan hasratnya ke dalam mulut Liya.

"Ouuuggghhhhh!!" Badan penjual sayur itu bergetar, menandakan pastinya dia sedang berada di puncak ejakulasi.

Aku melihat dalam keadaan bergidik ngeri, setelah bagaimana badan Mang Dedi kembali normal, Liya bangkit dengan ekspresi yang aneh. Mulutnya dibuat mengembung, seolah-olah mengisyaratkan ada sesuatu di dalamnya.

Dia tersenyum nakal ke arah Mang Dedi, lalu mencoba membuka pelan-pelan mulutnya tersebut.

Setelah dengan satu anggukan dari Mang Dedi, Liya kemudian menelan benda yang kuyakini pasti adalah sperma milik lelaki bangsat itu.

Melihatnya, aku merasa mual, campuran antara rasa jijik dan kecemburuan yang luar biasa. Bahkan Liya tidak pernah sekalipun melakukan hal tersebut kepadaku suaminya sendiri.

"Siaalll" aku mengumpat kesal.

Tapi tanpa kusadari, ternyata dibalik celana yang ku pakai, penisku ternyata sudah menegang luar biasa keras hingga membuatku merasa menjadi penuh sesak.

”Ada apa sebenarnya denganku?" Tanyaku dalam hati.

Kenapa justru aku secara tidak sadar terangsang mengetahui kalau istriku melakukan perbuatan tak senonoh dengan pria lain? Kenapa aku merasa terangsang saat aku tau bahwa istriku melakukan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan padaku?

Kenapa?

Lamunanku tiba-tiba saja terhenti saat ada seseorang menepuk pundakku dari belakang tempatku mengintip. Membuatku terperanjat dan terlonjak kaget, hampir terjatuh dari posisiku.

"Bu--Bu Retno?" tanyaku tergagap mendapati siapa sosok yang menepukku.

Wanita paruh baya yang memakai hijab itu, tersenyum nakal ke arahku dengan tatapan yang menggoda serta seperti sedikit ingin meledek.

"Dek Liya! Suamimu ngintipin kamu lagi enak-enak nih daritadi!" teriak Bu Retno dengan lantangnya ke arah istriku dan Mang Dedi.


EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28