Chapter 23

Liya
Keringat mengucur deras membasahi seluruh badanku saat aku duduk di sofa ruang tamu. Beberapa kali, aku meneguk air mineral dingin yang telah kuambil untuk melepas dahaga ditenggorokan.
Aku bersandar, memejamkan mata serta menarik nafasku dengan dalam. Terbayang kembali tentang apa yang aku lihat tadi.
"Bagaimana mungkin ini terjadi?" Ku berbisik sendiri.
Liya, istriku, yang selalu taat dalam menjalani perintah agama, merupakan sebuah simbol keanggunan serta ketaatan bagiku.
Sifatnya yang pemalu, lisannya yang selalu dijaga, hijab-hijab besar yang selalu membingkai wajahnya, pakaian-pakaian longgar yang menjadi ciri kesehariannya, hingga tatapan-tatapan matanya yang sayu dan polos itu, menjadi bagian utama dari pesonanya sebagai seorang perempuan dan seorang muslimah.
Namun dengan kejadian yang tadi kusaksikan, membuat seakan-akan meruntuhkan seluruh persepsi baikku terhadap istriku tersebut.
Pikiranku berkecamuk, mengingat kembali setiap detail percakapan, setiap detail suasana, setiap detail interaksi, setiap detail kemesraan, serta setiap detail perbuatan tak senonoh yang mereka lakukan.
"Ah.. Ga mungkin Liya begitu!" kataku mencoba meyakinkan diriku sendiri.
Sedangkan bayangan Liya dan Mang Dedi di gudang tadi masih terus berputar-putar di kepalaku.
"Tapi gimana kalau itu benar?" Sang iblis berbisik di telinga kiriku.
"Ya gak mungkin lah!" Aku berteriak menjawab sendiri.
Bisikan-bisikan dalam hatiku semakin membuatku kehilangan akal, terbelah menjadi dua suara yang saling berdebat dengan perdebatan yang sengit.
Yang satu berbicara dengan nada yang tenang dan menenangkan, mengatakan bahwa mungkin saja ada kesalahpahaman karena aku terburu-buru membuat kesimpulan. Suara itu bersikeras bahwa aku harus berbicara dengan Liya, meminta penjelasan yang rasional untuk apa yang aku pikir aku lihat tadi.
Namun bisikan satunya lagi, berbicara dengan frontal, bisikan itu hanya berfokus untuk menarikku kembali pada kejadian yang aku lihat: kepala Liya yang naik turun, desahan-desahan Mang Dedi, bunyi-bunyi kecipak basah, hingga bagian akhir dimana Liya tampak menelan sesuatu di mulutnya.
Bisikan itu menarik kesimpulan, bahwa Liya memang telah menghisap penis Mang Dedi di gudang tadi.
"Anjing! Bangsat! Terkutuk kau Dedi!" Aku meninju bantal sofa dengan amarah yang membuncah.
Seolah-olah bisikan kedua tiba-tiba menjadi lebih kuat dan memakan segala pemikiran positif yang tadinya sempat menenangkanku. Karena semakin aku memikirkannya, semakin pula aku merasa bahwa aku harus mendengarkan bisikan negatif itu.
"Lalu kenapa pula aku harus kabur!?" Aku mengutuk diri dalam rasa frustasi.
Kenapa aku kabur dan menjadi seorang pengecut? Kenapa aku tidak menyerbu masuk ke dalam gudang dan menghajar Mang Dedi? Kenapa justru aku tidak langsung menuntut Liya, meminta alasan kenapa dia melakukan tindakan berdosa itu?
Kenapa?
"Manusia itu kadang-kadang rumit, Pak!" tiba-tiba suara Shena menjawab pertanyaanku secara tak terduga.
Aku teringat akan topik pembicaraanku dengannya tempo hari. Berbicara tentang bagaimana kalau seandainya ada yang sengaja mendekati istriku, atau dengan sengaja menggodanya, serta bagaimana aku akan merespon kejadian tersebut.
Amat persis dengan apa yang terjadi saat ini.
"Ada kok yang saat dia tau ada yang godain pasangannya, merasa terpicu untuk bersaing dan memperjuangkan hubungannya lebih keras." Aku mencoba mengingat-ingat kembali perkataan Shena.
"Aku? Bersaing? Memperebutkan istriku sendiri dengan Mang Dedi? Yang bener saja!" Kekehku dalam hati. Merasa hal tersebut adalah sebuah kemustahilan karena sudah pasti aku adalah pemenangnya. Karena aku suami sah dari Liya.
"Ada juga yang diam-diam sudah langsung merasa kalah, namun takut untuk mengakhiri hubungan dan memilih untuk menutup mata."
"Aku? Merasa kalah dari Mang Dedi? Tukang sayur non muslim yang umurnya bahkan sudah hampir setengah abad itu? Yang benar aja!" Aku menggeleng kembali.
Tapi apakah aku akan menutup mata? Karena sudah cukup dipastikan aku juga merasa takut kehilangan Liya.
Aku menggeleng lagi.
"Terakhir, ada juga yang menikmati hal-hal tersebut dan melihatnya sebagai sebuah fantasi seksual." Kata-kata terakhir yang kuingat dari ucapan Shena tersebut membuatku tertawa.
"Yakali aku menikmati melihat Liya ngelakuin hal kayak begituan dengan Mang Dedi!" Sergahku dalam hati.
Namun tiba-tiba, kalimat terakhir dari ucapan Shena tersebut menghantam kepalaku seperti tertimpa satu ton batu bata.
Aku langsung terdiam, melayangkan pikiranku pada kejadian saat aku mengintip tadi. "Bukankah penisku menegang dan aku merasa berdebar-debar? Mungkinkah aku tidak hanya terkejut ataupun merasa jijik, tetapi juga sedikit... bergairah?"
Aku merasakan campuran emosi yang aneh mulai bercampur menjadi satu: kemarahan, penghinaan, malu, ketidakpastian, cemburu, berdebar-debar, serta gairah yang membingungkan, tidak bisa aku abaikan begitu saja.
"Enggak, enggak, enggak!" Gumamku menolak. Mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa itu hanyalah sebuah pikiran konyol.
Akan tetapi, semakin aku mencoba untuk mengabaikannya, semakin berkembang pula pikiran tersebut dalam benakku.
Aku bahkan mulai membayangkan Liya, istri muslimahku yang alim dan pemalu itu, melakukan hal-hal tak senonoh dengan seorang non-muslim seperti Mang Dedi. Dan bayanganku itu tak lagi tampak seperti sesuatu yang menjijikkan, tapi justru malah terasa menggairahkan.
Jantungku berdebar-debar, dan napasku seketika menjadi sesak. Ruang tamu tempat ku berada serasa menjadi lebih panas, dan aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang menjalar menuju selangkanganku.
"Apa yang terjadi padaku?" Tanyaku dalam hati, ngeri dengan pikiran sendiri karena tiba-tiba saja penisku berdenyut-denyut.
Masih dalam pergolakan batin yang berputar dalam hatiku, tiba-tiba Liya mengirimkan sebuah pesan ke ponselku. "Abi tenangin pikiran dulu ya! Nanti Umi kasih tau sesuatu di rumah" Tulis Liya dengan singkat.
Tanganku gemetar saat aku membaca pesan itu, merasa heran dengan sikap Liya yang santai menghadapi hal ini. Tidak ada tanda-tanda bersalah dalam pesannya, tidak ada niatan untuk meminta maaf, atau memohon untuk diberi kesempatan menjelaskan.
Emoticon di bagian akhir juga seperti menjadi sebuah tamparan di wajahku, seakan-akan Liya mengisyaratkan bahwa dia tidak peduli dengan perasaanku, dan terus mengejekku atas pengkhianatan yang dia lakukan.
Tapi aku masih mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam. Aku perlu menata perasaanku sebelum menghadapi Liya. Karena meskipun tampaknya semua sudah jelas, aku masih ingin memeberinya kesempatan untuk menjelaskan.
Bagaimanapun, dia adalah istriku yang sangat aku cintai dan aku tidak ingin kehilangannya.
Saat matahari sore memancarkan cahaya oranye hangat melalui jendela ruang tamu, mataku mulai terasa berat. Pergolakan batin serta tumpukan kelelahan setelah bergotong royong itu akhirnya memakan korban. Dan meskipun pikiranku masih berkecamuk, tubuhku telah memohon untuk di beri istirahat.
Sebelum aku menyadarinya, mataku terpejam, dan akupun terbawa ke alam mimpi.
Di alam bawah sadarku yang buram itu, aku kembali dibawa pada adegan saat aku mengintip Liya di gudang belakang tadi. Namun kali ini, bayangan adegan tersebut terlihat lebih jelas dan gamblang dari sebelumnya.
Aku melihat Liya, sedang berlutut diantara selangkangan Mang Dedi. Liya telanjang, tanpa satu helai kainpun menutupi tubuhnya, kecuali hijab lebar yang masih terpasang rapi di kepalanya bagaikan sebuah mahkota.
Tangan Liya mencengkram paha Mang Dedi, saat dia memposisikan dirinya di depan penis si tukang sayur sialan itu, dengan gerakan yang dibuat amat lambat dan disengaja, menikmati momen sakral seolah sedang memuja kelamin tak bersunat milik pria non muslim itu.
Namun yang membuatku bergidik adalah tatapan Liya, yang entah kenapa justru malah menatap ke arahku dengan tatapan polos, namun juga menggoda dan bernafsu disaat yang bersamaan. Seolah-olah dia ingin berkata, "Liat Umi, Abi! Ini yang sebenarnya Umi suka."
Dalam mimpi itu juga, aku melihat bagaimana istriku yang sedang hamil itu, memulai adegan dengan mengulurkan tangan untuk membelai batang kemaluan Mang Dedi, jari-jarinya yang lentik dan ramping melingkari batang kemaluan penjual sayur itu, yang entah kenapa terlihat berukuran sangat besar, panjang, berwarna hitam, serta tidak disunat.
Mata Liya tidak pernah lepas dari mataku, bahkan untuk sedetik pun tidak, seakan-akan dia memang sengaja melakukan tindakan berdosa ini hanya untukku seorang.
Liya kemudian menjilat bibirnya, lalu memasukkan kepala penis Dedi ke dalam mulutnya secara perlahan-lahan, mengeluarkan suara hisapan basah yang menggema di alam mimpiku.
Dan aku menyaksikannya dengan perasaan ngeri sekaligus terpesona, saat mulut Liya yang mungil begerak maju mundur untuk memompa penis Mang Dedi.
Pemandangan perutnya yang membuncit, menjadi tanda yang jelas akan betapa ternodanya ikrar pernikahan kami saat Liya melakukan tindakan bejat itu. Namun anehnya, meskipun ini hanyalah sebuah mimpi, Liya tetap tampak teguh dengan memakai jilbabnya yang tidak pernah terlepas dari tempatnya.
Tiba-tiba, suara Liya menembus keheningan mimpiku, sebuah bisikan manis yang seakan bergema dari kedalaman pikiranku sendiri. "Abi tau gak?" Ucapnya dengan mata yang masih menatapku, "Punya Mang Dedi gede banget kan?" Ia berhenti, menunjukkan betapa besarnya ukuran penis Mang Dedi ditangannya.
"Kayak... Pentungan satpam." Liya terkikik senang.
Keterkejutanku berubah menjadi amarah saat Liya benar-benar terdengar seperti dirinya yang asli saat dia berbicara dalam mimpi, suaranya bergema di seluruh ruangan. Dia mengedipkan matanya ke arahku, kenakalan di matanya semakin terlihat saat mencium kepala penis Mang Dedi yang tertutup kulupnya.
"Sedih banget, Bi!" Suara Liya terus berlanjut. "Adik kecil Abi ga ada apa-apanya dibandingkan punya Mang Dedi."
"Kayak ngebandingin batang tabu sama batang bambu." Suara Liya terdengar makin menghina. "Abi gausah khawatir, Umi bakalan tetep cinta dan sayang sama Abi kok." Ucapnya.
"Tapi sabar ya?! Umi mau dikontolin dulu sama yang ini!" Sambung Liya terkikik sambil kembali menunjukkan kembali betapa gilanya ukuran penis Mang Dedi padaku.
Aku hampir kehilangan akalku karena kata-kata dan ucapan Liya benar-benar membuat amarah dalam diriku bergejolak. Tapi layaknya sebuah mimpi, aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk mencegah selain membiarkan semuanya terjadi.
Aku kemudian melihat bagaimana Liya istriku yang berhijab itu, dengan penuh keanggunan dan gairah yang haus, menghisap penis besar tak bersunat milik Mang Dedi dengan begitu berhati-hati dan penuh penghayatan.
Seakan-akan dia sedang menyembah sesuatu yang sakral.
Mulut Liya, yang telah aku cium hingga berjuta-juta kali itu, sekarang tampak bergerak lincah melingkari penis Mang Dedi. Lidahnya menjulur keluar, menelusuri urat-urat di sepanjang batangnya sebelum ia memasukkannya kembali.
Dan seraya mimpi itu terus berlangsung, aku mulai merasakan sesuatu dalam diriku berubah.
Kemarahan yang tadi memenuhi, mulai berganti dengan perasaan aneh yang membuat darahku berdesir seperti belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku melihat pipi Liya mengembang kempis, mencoba memasukkan penis Mang Dedi yang tidak muat di mulutnya itu untuk masuk lebih dalam menuju tenggorokannya.
Suara isapannya pun terdengar semakin keras, semakin mendesak, serta semakin membuatku bergairah hingga aku mendapati penisku menegang dalam mimpi.
Saat mulut Liya bergerak semakin cepat pada penis Mang Dedi, tangannya mulai turun ke vaginanya, dan dia mulai menyentuh dirinya sendiri.
Sedangkan matanya tidak pernah lepas dari mataku, seolah-olah dia tahu aku memperhatikannya, dan dia ingin aku melihatnya.
Saat semuanya mulai terasa sedikit berlebihan untukku, aku lalu tiba-tiba mendengar sebuah suara kasar yang membelah keheningan mimpi, "Suka ya? Liat istri lu yang alim ini ngisepin kontol ga sunat punya gue?" tawa Mang Dedi menggema diseluruh alam mimpiku sehingga membuatku tersentak dan langsung terbangun.
Nafasku tersengal-sengal mencari udara untuk memenuhi rongga paruku yang terasa sesak karena mimpi barusan. Aku seperti orang yang sehabis pergi marathon, kehabisan nafas serta berkeringat di sekujur tubuh.
Aku tak menyangka kalau mimpi barusan terasa begitu nyata, bahkan ku sadari bawa selangkanganku terasa penuh sesak karena penisku menegang keras di baliknya.
Aku kemudian menyapukan pandanganku ke sekeliling ruangan, mencoba untuk kembali ke dunia nyata. Perabotan terlihat masih sama, sofa yang kududuki juga masih sama, dan jam di dinding menunjukkan waktu yang berlalu sekitar setengah jam.
Sedangkan Liya belum juga pulang.
"Huuuuffffffftttt..." Aku membuang nafas berat sambil menyendarkan badanku ke sofa.
Ketika kesadaran mulai kembali pelan-pelan mengambil alih pikiranku, aku kemudian mendapati diri mempertanyakan apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
Kemarahan serta rasa pengkhianatan tentu masih membara di dalam diriku, tetapi hal itu juga mulai dibarengi oleh sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih tabu, yang telah disingkap oleh mimpi yang baru saja kualami.
Sensasi yang terlarang, daya pikat, serta rasa mendebarkan saat melihat Liya yang amat ku cintai melakukan tindakan tak senonoh dengan Mang Dedi - melahirkan sebuah fantasi menyimpang yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Tapi itu hanyalah sekedar mimpi, sebuah bunga tidur yang tidak akan berpengaruh apa-apa pada kehidupan nyata karena aku masih tidak bisa menerima perbuatan Liya.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah aku akan menjatuhkan talak kepadanya? Mengakhiri hubungan pernikahanku dengan perceraian?
Aku merasa semakin bingung karena jawabannya mungkin tidak sesederhana kelihatannya.
Terlepas dari kemarahan dan rasa jijik yang telah menguasaiku sebelumnya, aku mengakui bahwa aku tidak dapat menghilangkan rasa cinta yang ku miliki untuknya begitu saja.
Kami telah melalui banyak hal bersama, dari awal kami merantau dari padang ke jakarta, melalui setiap momen sederhana, hingga kegembiraan dan tantangan dalam membesarkan Tasha.
Liya tentu lebih dari sekadar seorang istri bagiku; dia adalah seorang mitra, sahabat, dan orang kepercayaan, serta seorang makmun yang senantiasa bersama-sama melengkapkan ibadahku.
Akan tetapi, bagaimana jika bisikan keraguan itu benar adanya? Bagaimana jika bayangan dalam mimpi ku tadi bukan sekadar isapan jempol dari imajinasiku saja, namun merupakan cerminan dari kenyataan?
Apakah aku akan sanggup diam seperti dalam mimpi? Saat aku melihat Liya melakukan sesuatu yang menyimpang dengan Mang Dedi? Apa aku bisa tetap mencintainya seperti semula? Saat aku tau Liya sudah berkhianat kepadaku?
Tenggelam dalam pikiran sendiri, aku nyaris tidak menyadari derap langkah Liya mendekat ke arah pintu depan. Dentingan suara kunci yang di bawanya menyentakku kembali ke dunia nyata, membuat jantungku berdegup kencang seperti sebuah genderang saat aku bersiap untuk menghadapi konfrontasi yang aku tahu tidak dapat aku hindari.
Pintu terbuka, dan di sana berdiri Liya dengan senyum lebar tersungging di wajah anggun dan polosnya. Dia tampak begitu santai, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
"Assalamu'alaikum, Abi," sapanya dengan suara ceria.
"Wa'alaikumussalam," jawabku tegas, mencoba menahan emosiku.
"Kok tegang gitu sih?" tanya Liya terkikik sambil melepas sepatunya dan masuk ke dalam rumah. "Ada apa?" Dia bertanya.
"Abi mau ngomong serius!" kataku dengan suara sedikit gemetar.
Liya menatapku sejenak, lalu tersenyum nakal dan mencium tanganku. "Ayo kita duduk dulu," katanya sambil menggandeng tanganku menuju sofa.
Setelah kami berdua duduk, Liya kemudian langsung mengapit bahuku dengan tubuhnya dan bersendar manja padaku, "Abi mau ngomongin apa?" tanyanya tanpa bersalah.
Aku tak menduga bahwa Liya akan bersikap seperti ini. Karena dalam bayanganku, harusnya Liya sudah menangis mendatangiku, berkata dan merasa bahwa dirinya penuh penyesalan, serta memohon padaku untuk pengampunan.
Tapi di sinilah Liya, bertindak seolah-olah tidak ada yang terjadi, matanya masih memancarkan cahaya yang berbinar-binar dengan sedikit kenakalan, serta raut wajahnya yang masih saja ceria.
"Abi pernah buat salah sama Umi, ya?" Tanyaku menghela nafas.
Liya masih tersenyum, "Engga deh kayaknya! Abi ga pernah buat salah kok sama Umi!"
"Lalu kenapa Umi ngelakuin ini ke Abi?" Aku tercekat, tidak dapat menahan amarah dan rasa sakit. "Umi udah berzinah, dan Umi bersikap seolah-olah itu bukan apa-apa?"
Senyum istriku itu tetap tidak menghilang dari wajahnya. Liya bahkan tidak berusaha langsung membantah perkataanku, "Emangnya Abi ngeliat apa?"
"Abi liat semuanya Umi!" Suaraku meninggi. "Abi ngeliat Umi sama Mang Dedi di gudang tadi!" Sambungku dengan nada yang berubah pelan.
"Iya. Umi tau kok Abi ngeliat, kan Bu Retno tadi teriak." Jawab Liya terkikik. "Yang Umi tanyain, Abi ngeliat apa?"
Ekpresi kikikan Liya mengirim gelombang amarah ke seluruh tubuhku, "Tolong Umi jangan bercanda!" Aku berteriak, menjauhkan tubuhku darinya, "Abi ngeliat sendiri kalau Um--umi ngelakuin sesuatu!"
"Sesuatu apa sih, Abi sayang?" Tanya Liya dengan menggoda.
"U--udahlah! Ga perlu Abi sebutin segala!" Aku tergagap, merasakan gelombang panas mulai naik ke pipiku. Bayangan dari gudang dan mimpiku langsung berkelebat singkat di depan mataku, dan aku berusaha untuk tidak berkontak mata dengan Liya. "Tapi Abi tahu apa yang Abi liat!"
Tatapan Liya semakin tajam, dan ia semakin mendekat, nafasnya terasa panas di leherku. "Coba dong kasih tau, Umi," bisiknya, jari-jari tangannya yang lentik kini menghelus lenganku dengan pelan, "Abi ngeliat apa?"
Aku terdiam. Tak mampu membawa diriku sendiri untuk menjelaskan kejadian apa yang aku lihat di gudang tadi. Aku tidak ingin membuat bayangan kejadian itu menjadi lebih jelas dengan mengucapkan detailnya secara langsung.
Jadi, aku hanya duduk di sana, diam dan gemetar.
Liya tampak mengamatiku, dengan ekspresi perpaduan antara rasa ingin tahu dan geli karena kesenangan, seolah-olah dia bisa melihat ada perang batin yang terjadi dalam diriku.
"Ayo, Bi! Kasih tau Umi! Abi ngeliat apa?" Liya berbisik lembut.
Tangannya lalu meluncur turun ke bagian pahaku, mengelus pelan dengan sentuhannya yang ringan, mengirimkan beribu-ribu sentakan listrik ke seluruh syaraf di tubuhku.
"Umi, stop!" aku berusaha mencegah, Tapi istriku itu tidak mendengarkan. Tangannya terus menjelajah, bergerak semakin dekat ke arah tonjolan di celanaku.
"Hihihi.. Kenapa, Abi?" Liya menggoda, "Titit kecil Abi tegang ya? Kok bisa? Abi ngebayangin apa?" Tangan Liya menyentil sedikit ujung penisku dari balik celana.
Aku menelan ludah, mencoba mengabaikan sensasi nafsu yang menjalari tubuhku."Jangan begini, Umi! Stop!" Suaraku tegang. "Apa sih maunya Umi? Kenapa Umi jadi be---begini!!"
Liya mendekat, payudaranya menekan lenganku. "Umi jadi gimana sayang?" bisiknya, tangannya bergerak menangkup ereksi penisku.
"Kayaknya Umi deh yang harus nanya, kenapa Abi jadi begini?" Dia terkikik, menggenggam penisku yang sudah amat menegang dari balik celana.
Aku meraih pergelangan tangan Liya, menarik tangannya menjauh. "Ma--maksud Umi apaan?" Aku menuntut, berusaha menahan getaran dari suaraku.
Liya lalu menyeringai, matanya menatapku penuh hasrat. "Abi kan yang sange karena ngeliat sesuatu," katanya.
Suaranya berbisik menggoda. "Coba bilang sama Umi, Bi! Abi ngeliat apa?"
Tangan Liya bergerak begitu nakal, menyusup masuk ke balik celana training yang ku pakai dan seketika langsung menggenggam penisku yang menegang. Aku dapat merasakan tangannya yang hangat, membuat tubuhku merespon meskipun batinku sedang berteriak.
"A--abi ngeliat Umi," akhirnya aku bisa bersuara. "Sama Mang Dedi." Ucapku tergugup.
Mata Liya menatap mataku, senyum licik tersungging di bibirnya. "Ngeliat lagi apa tuh?" Tangannya mulai bergerak, memijat pelan penisku.
Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan gelombang gairah yang menerjang. "Abi... Abi liat Umi kayak lagi be--begituan sama Mang Dedi!" balasku terputus-putus dan tergagap. Kata-kata itu tetap aku ucapkan walau terasa pahit di lidahku.
"Begituan gimana?"
"Abi... Abi liat sendiri kalau kepala Umi berada di
selangkangannya Mang Dedi.. dan.. dan.." aku tak bisa menyelesaikan kalimatku dan suaraku tersendat.
"Dan apa Abi?!" Liya tampak seperti menahan tawa. Tangannya mulai mempercepat kocokannya di penisku sehingga membuat bulu kudukku semakin merinding.
"Abi... Abi... Abi.. ngeliat Umi ngisepin.. Itunya Mang Dedi..." aku memejamkan mata, tidak kuat mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku sendiri.
Liya tersenyum seperti sudah memenangkan sesuatu, "Emang iya ya?"
Kemarahan dalam diriku meningkat, tetapi begitu pula dengan ereksi penisku yang terus dikocok oleh Liya. "Iya! Abi ngeliat kepala Umi bergerak naik turun, Abi denger suara-suara mulut basah... dan Mang Dedi yang keliatan keenakan." Jawabku.
"Tapi Abi ngeliat langsung Umi ngisepin kontolnya Mang Dedi?" Liya bertanya dengan sangat vulgar namun juga polis disaat yang bersamaan.
Membuatku mengepalkan tangan, memutar ulang adegan dari gudang. "Engga, Abi ga ngeliat langsung." aku jujur mengakui.
"Tapi Abi mendengarnya. Suara basah mulut Umi.. dan Abi melihat wajah Umi setelah itu."
Tangan Liya bergerak semakin cepat mencengkram dan mengocok penisku, membuat nafasku sudah memburu dalam kenikmatan rangsangan yang diberikannya.
"Oh ya? Emang wajah Umi kayak gimana?" Tanyanya lagi.
Dengan menarik napas yang dalam dan bergetar, aku mencoba mengingat kembali momen di gudang itu. "Wajah Umi.... Kayak menikmatinya!"
"Masa' sih? Abi tau darimana kalau Umi menikmati?"
Aku menggeleng, "Gatau.. Keliatannya begitu." Balasku tercekat.
"Abi yakin kalau itu yang Abi liat?" Liya tiba-tiba memelankan kocokan tangannya, memperlambat ritme gerakannya seolah-olah dia sedang mempermainkan nafsuku. "Gimana kalau ternyata Abi yang salah liat?"
"Ga.. Ga mungkin!" Balasku yakin.
Kali ini Liya berhenti, tersenyum lebar ke arahku, "Abi beneran ngeliat langsung, atau cuma berandai-andai itu yang beneran terjadi?"
JEDAAARRRRRRRR!!
Pertanyaan Liya menghantamku seperti palu godam, menghancurkan seluruh keyakinan dan kepastian dalam diriku, bahwa apakah aku benar-benar melihat semuanya, atau hanya sekedar menarik kesimpulan.
Aku menatap ke arah Liya, dalam pikiran yang berpacu.
Apakah mungkin aku yang telah salah menafsirkan apa yang aku lihat? Bahwa bayangan istriku yang muslimah itu bersama Mang Dedi adalah proyeksi yang diputarbalikkan dari ketakutan dan kegelisahanku sendiri saat aku melihat dia begitu akrab dengan penjual sayur itu?
"Enggak! Abi beneran ngeliat!" Jawabku yang sudah yakin seratus persen.
Liya lalu tertawa, kembali mencengkram penisku dan memijatnya, "Yaudah iya.. mungkin Abi bener!!" Bisik Liya ditelingaku.
Jantungku terasa seakan berhenti, dan aku dapat merasakan wajahku memucat. Pengakuan Liya bagaikan sebuah gunting yang tajam yang memotong satu-satunya tali penyangkalan yang ada dalam diriku.
"Ja--jadi beneran?" Ucapku tak dapat menahan diri.
Dengan santainya, Liya mengangguk, "Iya, beneran!" balasnya mendekat ke telingaku, "Umi emang ngisepin kontolnya Mang Dedi" bisiknya dengan menggoda.
Dunia terasa berputar-putar.
"Umi sudah gila ya!!!! Apa maksudnya ini, Mii!!! Umi udah ngelakuin zinah dan dosa besar!!" Balasku berteriak hendak beranjak dari tempatku duduk.
Tapi Liya bergerak lebih cepat dariku, dia memegang bahuku dengan erat, cengkeramannya sangat kuat, dan mendorongku kembali ke sofa.
Tangannya meremas kuat penisku hingga membuatku meringis karena kesakitan, "Tenang dulu, Bi!" Liya menyeringai.
"Gimana Abi mau tenang, Mi! Ini sudah keterlaluan! Umi mau Abi bereaksi kayak gimana?" Tuntutku marah, mencoba mengabaikan kembali tangannya yang bergerak mengelus penisku. "Umi mau Abi maafin Umi dan ngelupain gitu aja?"
Liya mengangkat kedua bahunya, "Gak tau juga sih!" Balasnya santai. "Tapi Abi ikut menikmati kan?"
Aku tercekat. Tubuhku yang tadinya dipenuhi oleh kekuatan, langsung lemas tak berkutik mendengar ucapan istriku tersebut. Sedangkan penisku masih saja menegang dalam genggaman dan kocokan Liya, seperti mempunyai pikirannya sendiri, terpisah dari pikiranku yang berkecamuk.
"U--udah gila apa ya?!" aku tergagap, mencoba memprotes sambul memahami situasi perasaanku sendiri.
Tangan Liya tidak berhenti bergerak, genggamannya kuat dan memabukkan saat dia terus mengocok batang kemaluanku. "Titit Abi udah ngejawab semuanya kok. Ga usah bohong!" gumamnya berbisik, memancingku untuk jujur.
"Abi ngaceng karena ngebayangin Umi lagi nyepongin Mang Dedi kan? Bukan karena tangan Umi yang ngocokin titit kecil Abi?" Liya menambahkan.
Aku menggeleng menyangkalnya, untuk mengklaim bahwa hanya sentuhan tangannya lah yang mempengaruhi gairahku. Namun pada kenyataannya, bayangan Liya dengan Mang Dedi memang telah menyulut api birahi yang tidak terkendali dalam diriku.
Apalagi setelah aku bermimpi tadi.
"Enggak! Umi salah!" Kataku bergetar.
"Terus Abi ngerasain apa dong? Terangsang engga. Marah enggak. Cemburu juga engga." Tanya Liya menuntut.
"Abi.... Kaget, Mi!" Balasku bergumam.
Tangan Liya berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan belaian lembutnya. "Kaget doang?" tanyanya, dengan nada yang masih ceria. "Gak marah? Ga cemburu? Tapi kaget doang?"
"Ya engga lah! Pasti marah lah, Mi! Pasti cemburu!" Balasku kesal.
Senyum Liya lalu melebar seketika, seakan-akan ia telah berhasil menjebakku. "Trus kenapa Abi kabur?" Tanyanya, "Kenapa Abi kabur kalau Abi marah, kenapa Abi ga nyamperin Umi sama Mang Dedi langsung?"
Aku terdiam, tidak dapat memberikan jawaban yang masuk akal. Karena sebenarnya, akupun tidak tahu mengapa aku berlari kabur setelah ketahuan mengintip perbuatan tak senonoh istriku sendiri bersama pria lain.
Seolah-olah kakiku bergerak dengan sendirinya, membawaku menjauh dari adegan gila yang seumur hidup tak pernah aku bayangkan akan terjadi kepadaku.
"Bukannya nyamperin Mang Dedi dan marahin dia, kok Abi malah kabur? Katanya marah! Abi takut?" Liya lagi-lagi meledekku.
Kata-katanya menusuk dalam, mencabik-cabik harga diriku. "Takut? Takut apaan Mi? Takut menangkap basah Umi ngelakuin zinah?"
Liya terkikik lagi, kali ini lebih lembut. "Terus kenapa, Abi? Kok malah kabur? Aneh deh," ujarnya seolah-olah sangat penasaran.
Aku menatapnya dengan tatapan tak percaya, merasa semakin bingung dengan reaksinya. "U--Umi kenapa sih? Kok Umi bisa setenang ini? Umi gak merasa bersalah sedikitpun?!!"
"Lah, Abi kenapa marah sama Umi sekarang? Tadi kenapa kabur?" balasnya yang lagi-lagi balik bertanya dan menyalahkanku.
Membuatku semakin tercekat, tidak tahu harus menjawab apa. Rasanya seperti berbicara dengan tembok.
"Salah Abi sendiri juga sih! Kalau Abi gak ngintip, mungkin Abi gak akan tahu dan gak akan marah seperti sekarang." Kalimat Liya terasa bagai belati yang terus menusuk hatiku.
"Coba deh Abi pikir lagi! Kalau tadi Abi gak kabur, mungkin Umi gak ngelakuin hal itu sama Mang Dedi," ucapnya membela diri.
"Ma--maksud Umi apaan?" tanyaku dengan nada yang lebih rendah dan bingung.
"Umi yakin Abi udah ngintipin Umi dari tadinya kan?" Liya tersenyum semakin lebar, "Tapi kok Abi gak berhentiin Umi dan malah asik ngintipin? Hayolohhh!!" Sambung Liya terkikik menggoda.
Aku semakin dilema dan dibuat tidak berkutik oleh keterusterangannya.
"Umi sebenarnya mau apa sih?" tanyaku, mulai merasa tidak sanggup lagi menghadapi sikap Liya yang seperti ini. "Abi gak nyangka, Mi. Umi bisa tega melakukan ini." sambungku memelas, menyerah pada keadaan.
Mata Liya menatap lembut ke arahku. Dia kembali mengelus penisku dengan gerakan yang menggoda, "Ada alasan kenapa Umi ngelakuin hal ini, Bi!" ucapnya tersenyum.
"Alasan? Alasan apa yang bisa ngejelasin semua ini, Mi?" gerutuku dengan kesal.
"Umi akan cerita, tapi janji Abi ga boleh emosian. Bisa gak?" bisiknya lembut.
Aku ingin marah, ingin menolak, tapi tubuhku tidak bergerak. Pikiran dan perasaanku bercampur aduk, antara kemarahan, kebingungan, dan hasrat yang tiba- tiba bangkit.
"Abi, tenang dulu ya. Umi cuma mau kasih tahu kalau Umi masih sayang sama Abi," bisiknya lembut, seolah mencoba menenangkan amarahku dengan sentuhan fisiknya.
Liya kemudian menarik nafasnya dalam, lalu mulai berbicara. "Abi tau kan, semakin hari Abi jadi semakin jarang di rumah." ucapnya masih tersenyum.
"Bahkan kita udah sering berantem gara-gara Abi yang selalu sibuk sama kerjaan." sambungnya lembut.
Tangannya masih terus mengurut pelan penisku.
"Tadinya, Umi cuma iseng sama Mang Dedi! Toh orangnya seru dan rame. Bisa bikin Umi lupa sejenak rasa kesepian yang Umi rasain."
Liya tiba-tiba berhenti, "Tapi, ngeliat Abi yang kayaknya gak cemburu kalau Umi sama Mang Dedi akrab, Umi jadi keseeel." sambungnya merajuk.
"Ka--kata siapa Abi gak cemburu, Mi?!! Abi cemburu banget!" ucapku menyela perkataannya.
"Bohong ah!" cibir Liya kembali memainkan tangannya pada penisku. Kali ini gerakannya dia buat meremas seperti sedang gemas kepadaku.
"Tadi aja kabur!' sambungnya lagi.
Aku hanya terdiam, berdengus dalam nafasku yang memburu karena aku mulai kehilangan kendali atas gairahku yang memuncak serta menggebu-gebu.
"Apalagi sekarang, Umi lagi hamil, lagi butuh semua perhatian yang Abi punya sebagai suami." ucap Liya. "Tapi lagi-lagi Abi gak ada. Adanya Mang Dedi doang! Gimana dong?"
Kata-kata Liya menyentakku, membangkitkan
kesadaran bahwa aku memang adalah alasan kenapa Liya melakukan hal ini. Aku sudah terlalu acuh terhadap istriku sendiri. Aku mengira selama ini Liya baik-baik saja ketika aku tinggal sibuk bekerja, namun ternyata tidak.
"Awalnya Umi cuma iseng, Bi! Mau eksperimen
gimana reaksi cemburu Abi kalau liat Umi sama Mang Dedi!" kikik Liya dengan malu. "Umi ingin tahu seberapa besar rasa cemburu dan kepedulian Abi terhadap Umi."
Aku terpaku, merasa kebingungan bercampur aduk. "Jadi, Umi lakuin ini hanya untuk mengetes Abi? Gak masuk akal, Umi! Ga menjelaskan kenapa Umi ngelakuin hal menijijikan kayak gitu!" balasku kembali kesal.
"Sssttttttt!! Diem dulu! Abi udah janji ga boleh emosi!" Liya menaruh satu telunjuknya di bibirku.
"Iya, tadinya Umi cuma mau eksperimen aja. Tapi lama- lama, Umi khilaf dan keterusan." balas Liya membuat pengakuan dengan pipinya yang memerah.
"Lagian gak adil dong kalau misalnya Umi cuma manfaatin Mang Dedi untuk bikin Abi cemburu. Kasian kan dia!" sambung Liya memberitahu alasannya.
"Lagipula dia bisa bikin Umi ketawa terus, bisa buat Umi merasa gak kesepian lagi, bisa buat Umi ngerasa diinginkan dan dicintai." Liya berhenti sejenak, "Caca aja sekarang juga suka sama Mang Dedi. Apalagi Umi!!"
"Ta-tapi Mi!" protesku tergagap.
"Iya Umi tau kok, Umi khilaf dan ngelakuin kesalahan. Tapi Umi butuh, Bi!" jelasnya.
“Umi tau Abi adalah suami yang baik, Umi juga tau Abi adalah ayah yang baik. Tapi manusia kan gak ada yang sempurna, Bi!"
Aku semakin bingung, “Ma-maksud Umi apaan?"
"Umi cuma mau bilang kalau semua orang punya kebutuhan." Mata Liya berbinar, "Dan Mang Dedi secara kebetulan bisa memenuhi kebutuhan Umi."
"Mang Dedi ada diwaktu dan keadaan yang tepat. Dia punya sesuatu yang Abi sekalipun tidak punya." balasnya dengan tersenyum nakal.
"Kebutuhan apa? Menemukan apa?"
Liya tertawa kecil, mencium pipiku lagi dan mempercepat kocokan tangannya di penisku.
"Untuk sekarang rahasia dulu, soalnya Abi belum siap!" bisik Liya terkikik dengan lembut.
Aku menjadi sangat frustasi, fokusku yang terbagi dua oleh rangsangan tangan Liya sekaligus pengakuan dan ucapan-ucapannya, membuatku tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Aku tergugup dan gagap karena merasakan kalau puncak kenikmatan itu mulai membayang di sela-sela obrolan dan cerita Liya tersebut.
Dengan nada yang dibuat sangat manja Liya lalu berbisik ditelingaku, "Kasian tau, Bi! Mang Dedi itu duda, gak pernah dapet pelampiasan lagi selama ini." ucap Liya setengah berbisik. "Umi butuh dia dan dia butuh Umi. Jadi sebagai imbalan udah mau bantuin Umi, Umi bantuin dia buat lepasin kemauannya"
Suara Liya sudah mulai kabur terdengar dari telingaku saat titik-titik geli yang ada dalam tubuhku berkumpul. Bersiap untuk melepaskan rasa geli dan pegal nikmat yang dirangsang begitu hebat oleh kocokan tangan Liya.
"Umi cuma sepongin kontolnya beberapa kali aja kok!" bisik parau Liya ditelingaku.
Bersamaan dengan ucapannya yang membuat jantungku kaget bukan main itu, kocokan tangannya bergerak semakin cepat, memompa seluruh beban yang ada dalam kantung kelaminku untuk mulai berhamburan keluar dengan begitu dahsyat.
"CROOTTTT!!! CROOOOTTT!! CROTTTTT!! CROOOTTTT~!!"
Tak terhitung berapa kali aku menembakkan spermaku dalam kocokan tangan Liya yang tidak berhenti.
Aku merasa seperti melayang diudara dalam kenikmatan yang sekali lagi baru pernah kurasakan. Rasa nikmatnya dan sensasinya begitu berbeda dengan tingkat kepuasaannya justru sangat-sangat memuaskan.
Aku menengadah, menelen beribu-ribu mili air ludahku sendiri untuk membasahi tenggorokanku yang mengering.
Badanku kemudian ambruk ke sandaran sofa, menyisakan dadaku yang naik turun mencoba memompa oksigen yang mulai kehabisan.
Liya yang melihatku dalam kenikmatan, tersenyum sangat puas dan mendekat mencium bibirku.
"Dasar suami aneh! Istrinya nyepong kontol laki-laki lain bukannya marah malah terangsang!" bisiknya sebelum melumat bibirku.
Aku terhuyung dan tergagap mendapat serangan Liya yang begitu dahsyat. Dia menciumi bibirku, menciumi pipi, menciumi rahangku hingga pada bagian belakang telingaku sambil berbisik betapa dia menyayangiku.
Kata-kata dan sentuhannya itu, membuatku semakin bingung dan hancur. Bagaimana mungkin situasi yang begitu absurd ini justru berujung pada sensasi yang amat sangat memuaskan untukku?
Perasaan terhina, kecemburan, kebingungan, dan gairah bercampur aduk menjadi satu dan tumpah ruah dalam perasaan lega yang aneh.
"Abi..." panggil Liya dengan suara lembut,. "Umi paham kalau Abi mungkin merasa bingung dan marah sekarang. Tapi Umi cuma mau Abi tahu kalau Umi masih sangat mencintai Abi dan Umi tidak akan kemana-kemana." sambungnya mengedipkan mata.
"Hal kecil kayak gini gak mungkin bikin Abi gak sayang sama Umi lagi kan?" Liya kembali tersenyum menggoda.
"Oh iya satu lagi," Liya berhenti, "Mang Dedi ngajakin Umi pacaran. Trus Umi terima! Hihihi.."