javascript hit counter

Penunggang Liya Seorang Ibu Muda

EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Chapter 25





Liya


Kala aku benar-benar memikirkan tentang kehidupan rumah tanggaku dengan Liya, aku jadi teringat. Bahwa dulu, aku pernah merasa sangat penasaran serta bersamangat saat mendengar istriku tersebut bercerita tentang mantan-mantan pacarnya.

Entah kenapa, mendengar bahwa Liya dulu menjadi seorang primadona yang diincar banyak lelaki, membuatku merasa seperti seseorang yang paling beruntung karena berhasil menikahinya.

Mungkin semua itu disebabkan oleh sebuah faktor dimana sejak kecil, aku selalu merasa bahwa aku hanyalah seorang figuran dalam ceritaku sendiri.

Orang-orang tidak mengenalku sebagai Hadi, melainkan hanya sebagai seorang anak Kyai yang namanya cukup tersohor di daerah tempatku tinggal.

Saat aku bersekolahpun, aku menjadi orang yang selalu berada di bawah bayang-bayang teman-temanku yang lebih populer. Kisah cinta monyetku bahkan hanya sebatas mengagumi dari jauh beberapa orang perempuan, yang pada akhirnya justru kulihat malah berpacaran dengan laki-laki lain.

Karena itulah, tumbuh menjadi orang dewasa, membuatku sedikit banyak memiliki rasa insecure, rasa minder, serta rasa tidak percaya pada diri sendiri, berkat kehadiranku yang entah kenapa, selalu dianggap bukan untuk menjadi pilihan utama.

Beruntung setelah aku menikahi Liya, aku akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi yang utama, menjadi objek dari tatapan iri orang lain karena ketidakberhasilan mereka.

Namun kini, kehadiran Mang Dedi si penjual sayur sialan itu, kembali menggeser posisiku menjadi seorang figuran, menjadi sosok yang kembali hanya bisa menonton serta menyaksikan bagaimana perempuan yang dicintainya, perlahan-lahan mulai berpaling.

"Lagi ngelamunin apa, Bi? Kok mukanya kek gitu banget!" Suara Liya memecah keheningan kamar saat dia beranjak naik ke atas kasur di sampingku.

Aku mengerjap, berusaha bersikap normal, "Ga ngelamunin apa-apa kok, Umi!" Balasku cepat.

"Lagi capek yah sama kerjaan di kantor?" Liya memijat lenganku lembut.

"Dikit, Mi!" Jawabku berbohong.

Tangan Liya kemudian bergerak memijat bahuku, jemarinya yang lentik menekan dengan lembut namun bertenaga, mengusir keletihan yang terasa menumpuk di otot-ototku. Rasanya nyaman, atau bahkan mungkin terlalu nyaman.

Sehingga aku membiarkan tubuhku menjadi rileks walaupun pikiranku masih entah dimana.

"Gimana hari ini, Mi?" tanyaku membuka pembicaraan.

"Alhamdulillah, Bi! Dokter Raisa bilang kondisi kandungannya sehat, Umi sehat, dan bayi kita juga berkembang dengan baik." Balasnya

"Oiya, satu lagi..." Liya berhenti sejenak, menggodaku dengan mengelus bahuku serta berbisik pelan, "Kita udah boleh lohh.. begituan.." ucapnya.

Senyumku langsung melebar. "Serius, Mi?" tanyaku, tak bisa menyembunyikan kebahagiaanku.

Liya mengangguk sambil tersenyum nakal.

Rasa senang tentu saja tiba-tiba memenuhi dadaku saat mendengarnya. Terlepas dari badai emosi yang beberapa hari ke belakang aku hadapi, tindakan sederhana yang dilakukan Liya untuk menegaskan bahwa kami dapat melanjutkan kehidupan intim kami sebagai suami istri terasa seperti sebuah cahaya terang.

Hal ini juga sekaligus menjadi pengingat untukku, bahwa terlepas dari segala kesalahan yang dia perbuat, Liya tetaplah istriku, perempuan yang berbagi sumpah pernikahan denganku, serta ibu dari anak-anakku.

Dan aku menyadari bahwa keintiman kami sebagai suami istri inilah yang menjadi pembeda diantaraku dan Mang Dedi, yaitu hubungan seksual kami di ranjang. Liya mungkin memang telah memberikan mulutnya dengan menghisap penis Mang Dedi, tapi Liya memberikan tubuhnya padaku, memberikan kehangatan serta cintanya yang besar, yang tidak dia berikan pada tukang sayur sialan itu.

"Aku tetap menang!" ucapku dalam hati merasa telah menemukan sesuatu.

Dengan determinasi yang baru saja membuatku menjadi lebih percaya diri, aku kemudian beralih ke belakang menghadap Liya, menatapnya sebentar sebelum aku melayangkan sebuah kecupan penuh ungkapan serta isyarat yang inginkan dia kembali menjadi milikku seutuhnya.

Liya merespon ciumanku dengan tak kalah hangatnya, seolah menantangku untuk memberikan segala kemampuan terbaikku agar aku bisa kembali merebutnya dari segala penyelewengan yang telah dia lakukan.

Saat lidah kita saling menari dan menaut, aku dapat merasakan debaran jantungku berdegub seirama dengan deguban jantung Liya.

"Sssshhh... Coba Abi rebahan.." pinta Liya berkata lembut, dengan sedikit mendorong bahuku.

Dan aku menurut begitu saja, membaringkan tubuhku pelan saat Liya memposisikan dirinya dengan mengangkangiku, pahanya yang lembut menekan bagian pinggul depanku, mengirim hentakan nikmat yang membuat penisku mulai bangkit menegang.

Liya membungkuk, mulutnya menempel di telingaku. "Umi sayang sama, Abi," bisiknya dengan nafasnya yang panas dan perkataan yang manis.

Kata-katanya itu membuatku bergetar, dan untuk sesaat, aku melupakan sosok Mang Dedi yang telah merusak kebahagiaanku dengan Liya. Aku melingkarkan lenganku di pinggangnya, menarik tubuhnya untuk lebih dekat, seolah-olah aku ingin menyatukan tubuh kita. "Abi juga sayang sama Umi," gumamku, merasakan gelombang cinta dan rasa memiliki yang hampir berbarengan dengan rasa sakit.

Liya mulai menciumku kembali, bibirnya lembut dan entah bagaimana terasa lebih menuntut dari sebelumnya, lidahnya yang mungil mulai menjelajahi rongga mulutku, menari-nari, memutar, serta menaut lidahku untuk bermain bersama.

Tangan Liya meraih tanganku, membimbingnya menuju kearah payudaranya, diam-diam seperti sedang menginstruksikanku untuk membelai gundukan daging sensitif nya itu.

"Eeemmpphhh..." Liya mendesah, saat aku melakukan apa yang diperintahkan.

Aku meremas lembut kedua payudaranya dari balik baju tidur yang Liya gunakan, yang bulatannya tampak lebih besar karena kehamilannya. Ibu jari serta telunjukku, aku gunakan untuk menjentik tonjolan puting Liya yang terasa mengeras dibalik kain.

Membuat Liya semakin mengerang, mendorong serta membusungkan dadanya ke dalam sentuhanku.

Tubuhnya mulai bergerak menggesek tidak nyaman diatas tubuhku, mengisyaratkan sebuah permintaan yang diam-diam menginginkan sesuatu yang lebih, "Umi boleh minta sesuatu sama Abi gak?" dia menghentikan ciuman kami, matanya menatap langsung ke mata aku.

"Apapun buat Umi," kataku, dengan suaraku yang berat karena nafsuku yang membara.

"Tapi Abi belum pernah ngelakuinnya ke Umi," kata Liya, suaranya berbisik merayu saat dia membungkuk di atasku. "Abi tau gak apaan?"

Aku menggelengkan kepala, tidak bisa menebak apa yang dia maksud.

Liya kemudian hanya tersenyum, sambil mulai membuka satu-persatu kancing piyamanya, memperlihatkan lebih jelas bongkahan payudara yang membengkak dan membusung kencang dari balik bra berwarna biru tua yang dia pakai.

"Hihihihi.." Liya terkikik melihatku bengong.

Dia melanjutkan untuk membuka piyamanya tersebut hingga melemparnya ke sembarangan tempat. Tatapannya terlihat amat seksi dan menggoda, dengan senyum mengundang yang membuat nafasku semakin tersengal-sengal.

Usai melepas piyama, kini tangan Liya bergerak ke belakang punggungnya, menyentak kaitan bra yang dipakainya, lalu melakukan hal yang sama dengan membuat benda penutup payudaranya itu terlempar begitu saja.

Untuk sesaat, aku terdiam, merasa seperti seorang perjaka kembali, merasakan kegugupan serta kecanggungan seperti baru pertama kali melihat payudara seorang wanita. Karena setelah aku mengingat-ingat, aku ternyata sudah cukup lama tidak melihat tubuh telanjang istriku tersebut.

Dan tampaknya bongkahan daging itu terlihat lebih indah dan menggiurkan dari yang biasanya aku ingat. Bulatannya lebih padat dan kencang, putingnya gelap dan mengeras, serta ukurannya yang tampak lebih besar pula.

"Isepin tetek Umi, Bi," perintahnya dengan sangat tidak pantas.

Akan tetapi aku tak kuasa menolak. Aku menatapnya sebentar, dengan tenggorokan yang mengering. Ini adalah sisi baru dari Liya, yang belum pernah aku lihat sebelumnya, karena Liya biasanya adalah seorang istri yang pasif dan pemalu saat kami melakukan hubungan seksual.

Tapi sekarang, dia mengambil alih, memberi perintah serta menyuarakan keinginannya.

Aku kemudian bangkit untuk duduk, memegang salah satu payudara istriku tersebut dengan tanganku, merasakan betapa empuknya bongkahan daging yang sebentar lagi mungkin akan memproduksi air susu untuk anak kami.

Tanpa merasa ragu, aku mencondongkan tubuh, melahap puting sebelah kanan payudara Liya untuk masuk ke dalam mulutku. Aku menghisap, menggesek serta menekan titik sensitif istriku itu dengan gerakan lidah yang hanya mengikuti insting nafsuku saja.

Tapi ternyata aku berhasil membuatnya melenguh, "Ouuggh... Iyaa.. Pinteerrr.. Abihh.." ucap Liya melengkungkan punggungnya, mendorong dirinya lebih maju lagi untuk menenggelamkan wajahku di bongkahan payuadaranya, sementara tangannya mengacak-acak rambutku, menahanku untuk tetap di tempatnya.

"Sssshhh... Enaak sayanggg..," dia terengah-engah, tangannya menjambak rambutku sambil kemudian membimbing kepalaku ke payudaranya yang sebelah kiri.

Aku dengan penuh bernafsu menghisap dan menjilat, merasakan tubuh Liya bergetar merespons sentuhan serta hisapanku.

Penisku juga ikut mengeras disela-sela tubuh kami, menegang dari dalam celana. Tapi Liya tampak sama sekali tidak tertarik dengan hal tersebut, seolah-olah dia ingin menegaskan bahwa saat ini adalah tentang kesenangan dan kepuasannya sendiri.

Liya kemudian mendorong kepalaku ke bawah, membimbingku untuk bergerak menciumi perutnya yang sedang hamil, jari-jarinya ikut menelusuri pipiku saat aku dengan pasrah hanya mengikuti instruksinya. "Ke bawahin sayangg!!" gumamnya mendesis.

Perintah-perintah kecilnya itu semakin membuatku tegang, dan sebisa mungkin berusaha untuk mengatur pernafasanku yang kian memburu. Ku perlakukan Liya istriku tersebut dengan halus, lembut dan sama sekali tidak terburu-buru agar dia bisa menikmati setiap momennya.

Semakin lama tubuh Liya semakin perlahan-lahan mendorongku kembali ke bawah, sampai aku menyadari bahwa dia ternyata sudah memposisikan dirinya mengangkang diatas dadaku.

Liya melebarkan kedua pahanya, memperlihatkan gundukan vaginanya yang tercetak dari balik celana tidur, "Jilatin memeknya Umi dong, Bi!" pintanya seperti merengek.

Belum sempat aku memberi respon atas permintaannya, tangan Liya sudah bergerak dengan cepat ke arah pinggang celananya, sedangkan matanya tidak pernah lepas dari mataku saat ia mulai menurunkan piyamanya tersebut hingga menuju ke bawah kakinya. Seperti sebuah dejavu, Liya kemudian juga melakukan hal yang sama dengan celana dalamnya.

Berbagai emosi berkobar dalam perasaan serta hatiku---ada kebingungan, rasa ketidakpercayaan, serta sedikit luapan rasa gembira yang dibarengi juga oleh rasa takut yang bercampur aduk menjadi satu, saat untuk pertama kalinya aku melihat vagina Liya dari jarak sedekat ini.

Vaginanya terlihat... berbeda. Seolah-olah seperti telah berubah dan bertransformasi menjadi sesuatu yang asing di mataku. Kedua gundukan dagingnya tampak menonjol dan montok, dengan garis belahan yang amat tipis, bibir vagina serta labianya berwarna pink, lalu ada sebuah tonjolan kecil yang mengintip malu-malu dari dalamnya.

Dan yang lebih membuatku tertegun lagi, adalah pemandangan dimana vagina Liya tidak lagi ditumbuhi oleh bulu-bulu halus yang biasanya cukup lebat menutupi area selangkangannya itu.

Melihatku seperti hanya berdiam diri, Liya kemudian bertanya, "Kenapa? Abi gamau jilatin memek Umi ya?" tanyanya dengan nada serius, meskipun ekspresinya tetap menyiratkan sedikit candaan.

"Bu--bukan begitu." balasku tergugup.

"Trus??"

"A--abi gak tau caranya!" jawabku berterus terang, berkali-kali menelan ludahku sendiri.

Liya lalu terkikik, tangannya meraih daguku dengan lembut. "Gampang kok!" ucapnya dengan suara yang lembut namun menggoda. Membuat getaran gairahku berdenyut-denyut dan terpancing oleh keberaniannya.

Sedangkan aku menelan ludah, masih merasa ragu namun juga penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena sekalipun tak pernah aku bermimpi dan membayangkan akan melakukan hal semacam ini dengan Liya.

Namun karena aku tidak mau membuat istriku tersebut merasa semakin kecewa, aku pun memutuskan untuk membuktikan pada Liya, ataupun pada diriku sendiri, bahwa aku juga bisa memberikan sesuatu yang belum tentu akan didapatkan Liya dari Mang Dedi.

"Dua kosong!" teriakku dalam hati, merasakan kembali kemenangan.

Liya lalu beringsut pelan, memposisikan selangkangannya tepat hampir di depan wajahku sendiri, membuat hidungku dapat mencium wangi khas yang dikeluarkan oleh vaginanya saat aku tau bahwa dia terangsang.

Vagina Liya juga tampak mengkilat, menandakan bagaimana cairan pelumas yang natural sudah membasahi dinding-dinding liangnya di dalam.

"Abi deg-degan ya?!" senyum Liya begitu manis, matanya berbinar dengan rasa senang yang tak dapat dia sembunyikan.

Aku mengangguk lemah, "Dikit," ucapku hampir tercekat ditenggorokanku sendiri, yang entah kenapa terasa menjadi begitu kering.

Liya lalu tiba-tiba menjambak rambut, mengarahkan kepalaku mendekat menuju bibir vaginya, "Pelan-pelan aja," ucapnya menenangkan.

Aroma vagina Liya semakin menyeruak saat aku mulai mengarahkan mulutku menyentuh lipatan garis vaginanya. Kelembutan kulitnya, kebasahan serta aromanya yang memabukkan, terasa begitu asing namun juga familiar disaat yang bersamaan.

Aku mengikut instingku untuk menjulurkan lidahku, membelah belahan vagina Liya dengan ragu-ragu, mencoba untuk meresepi setiap momen yang ada.

"Abiii.. ughhh..." Liya langsung merespon jilatan kecilku dengan lenguhan.

Pinggulnya bergoyang saat aku kemudian menyentuh sebuah tonjolan kecil diatas belahan vaginanya yang mencuat keluar, dengan ujung lidahku, dan Liya tersentak. "Iyaahh.. Disituuhh.. Bihhh!!" ucapnya menahan kepalaku.

Sadar akan keinginannya, aku pun memusatkan rangsangan lidahku untuk menjelajahi titik tonjolan kecil tersebut, yang ternyata amat sensitif bagi Liya. Tonjolan daging mungil itu terasa semakin lama semakin mengeras sehingga sangat mudah untuk kupermainkan. Aku memutar-mutar lidah di sekitarnya, kadang-kadang aku menjilat, kadang ku sedot, bahkan beberapa kali aku menjepit tonjolan itu dengan bibirku, lalu ku tarik keluar.

"Ouugghhh.. Iyaaahh.. Kayak gituuhh.. Abihh.. Enaakkhh.." Liya merintih-rintih dengan suara yang halus.

Sementara sambil membuka lebar-lebar kedua pahanya, Liya menekan-nekan pinggulnya hingga beberapa kali membuat gerakan memutar-mutar diatas wajahku. Cairan vaginanya yang banyak, mulai membasahi bagian dagu serta pipiku.

Aku benar-benar terkejut dengan Liya yang ternyata sangat menikmati pelayanan mulutku ini, dan akupun juga terkejut pada diriku sendiri karena aku juga menikmati sensasi menjilati vaginanya.

Tangan Liya masih menjambaki rambutku, menuntun, mendorong, hingga mengarahkan wajahku lebih dalam ke dalam lipatan vaginanya.

"Ouugghhh.. Abiihh pinterr bangett.. sayanggghh.." Kata-kata pujian bertubi-tubi keluar dari mulut Liya, mendorongku untuk terus berbuat lebih jauh lagi.

Aku terus menjilati dan menciumi vagina Liya yang entah kenapa mulai sedikit mengeluarkan rasa asin, namun hal tersebut tidak membuatku serta merta berhenti. Walau rasanya aneh, tindakan yang belum pernah aku lakukan sebelumnya kepada Liya ini, terasa begitu memabukkan serta membangkitkan nafsuku.

"Cepetin lagi dongg!!" Liya memerintah, menunjukkan kepadaku bagaimana cara membuatnya merasakan nikmat tak berujung dari bagian vaginyanya itu. "Naahhh.. iyahhh.. begituu.. pinternyaaahhh.." lenguhan Liya tidak berhenti.

Maka akupun juga tidak, lidahku sengaja kubuat bergerak lebih cepat dan lebih keras pada bagian tonjolannya, sesekali aku bahkan melumat hampir keseluruhan vagina Liya ke dalam mulutku, yang membuat Liya menggelinjang geli karena rasa nikmat yang ku berikan.

Erangannya semakin keras, dan dia mulai banyak memerintah serta berbicara di sela-sela desahannya tersebut. "Uuugghhh.. Bener... apa... kata... Mang Dedihh.. Ouugghhh.." Liya bergumam, suaranya terdengar penuh dengan gairah. "Abih.. cumahh.. berbakat.. buat.. menjilati memek Umihh... ajahhh.."

Aku tertegun sejenak, karena lagi dan lagi, nama Mang Dedi meluncur keluar dari mulut Liya ketika kami sedang melakukan sesuatu yang seharusnya hanya tentang kami berdua saja.

Dan aku merasakan gejolak cemburu membakar dadaku seketika. Kenapa Liya harus menyebut namanya persis disaat ini? Ada apa? Apakah dia sengaja ingin membuatku cemburu? Untuk tujuan apa? Lalu apa maksud Liya tentang benar apa yang Mang Dedi bilang? Apa yang dikatakan tukang sayur sialan itu pada Liya? Kenapa Mang Dedi berbicara seakan-akan dia tau semua hal tentangku?

Kata-kata Liya itu terasa menyengat, tapi juga memicu hasratku untuk membuktikan bahwa aku tidaklah seperti yang dikatakan oleh Mang Dedi. Aku tertantang untuk membuktikan bahwa aku bukanlah seorang suami yang cuma berbakat menjilati vagina istriku saja, tapi juga suami yang bisa melakukan segala hal untuk memuaskan nafsunya.

Hanya saja, aku belum tau caranya.

Dibarengi dengan perkataan Liya dan juga kegiatanku menjilati vaginanya, aku merasakan penisku semakin tegang dan keras, urat-uratnya berdenyut, ingin dan menuntut untuk disentuh agar dapat memberikan rangsangan yang lebih, namun kedua tanganku terkunci pada pangkal paha Liya, menahan tubuh istriku tersebut agar tidak terlalu kuat membenamkan pinggulnya ke arah wajahku, yang sudah sangat sesak dan kesulitan untuk mendapatkan oksigen.

"Ssssshhhh... Andai.. sajah.. Abiihh.. ga sibukk.. terusss.. sama kerjaan.." Liya mendesis seperti ular, menjambak rambutku lebih kuat lagi.

"Andai... Abihh.. tauuhh... caraaanyyaahh.. muasin.. Umihhh.. dari duluhh.. " Liya membekap mulutku dengan vaginanya

"Kalau.. sajaahh.. Abi tahuu.. Umiihh.. kesepiaannn," lanjutnya, "Umihh.. pastiiihh.. tidakk ngelakuin.. ituhhh.. samaahh.. Mang Dedihhh.. Aaagghhh..." Kata-kata Liya yang terputus-putus itu terasa seperti pisau tajam yang menghujami hatiku.

Tiba-tiba saja, pikiranku sudah mulai melayang ke beberapa bulan terakhir setelah aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku.

Aku ingat, malam-malam dimana aku pulang ke rumah dalam kondisi kelelahan, langsung menuju ke kasur tanpa banyak berinteraksi dengan Liya, ataupun hubungan ranjang kami yang tak pernah lagi menjadi sebuah rutinitas.

Aku teringat, bagaimana ketika aku ingin berangkat kerja, Liya selalu memandangku dengan tatapan rindu, mungkin ingin bercerita sesuatu tentang hari-harinya, bersemangat dalam suaranya yang gembira, hanya untuk kemudian aku tanggapi dengan gumamam dan rasa tidak peduli.

Aku juga teringat, saat dimana makan malam yang telah dia persiapkan dengan susah payah, menjadi dingin di atas meja saat aku bekerja sampai larut malam. Bahkan sentuhan-sentuhan lembut yang dia berikan, seperti sebuahpengharapan bahwa akan memantik kembali percikan hasrat dari tubuhku yang lelah.

Tapi aku terlalu bodoh untuk peka terhadap itu semua.

Dalam ledakan kemarahan dan penyesalan yang tiba-tiba memenuhi rongga hatiku, aku kemudian mendorong tubuh Liya ke belakang, memaksanya untuk berbaring dan berganti posisi denganku. Aku naik ke atas tubuh telanjang Liya, menindihnya pelan dengan tubuhku.

"Maafin Abi, Mi" Permintaan maaf keluar begitu saja sebelum aku bisa menghentikannya, "Abi benar-benar gatau kalau Umi ngerasa kayak gini." ucapku menatap dalam matanya, mencoba untuk mencari sesuatu disana.

"Oh ya?" Liya tersenyum tidak percaya. "Abi pikir apa yang bakal terjadi kalau Abi sibuk terus?"

"Tapi itu gak bisa jadi alasan buat Umi ngelakuin hal kayak gitu sama Mang Dedi!" aku meninggikan suara.

"Tapi kenyataannya emang begitu, Bi!" Liya tersenyum sambil menghela nafasnya. "Abi sibuk dan Umi kesepian," sambungnya lagi.

"Dan bukan cuma Umi loh yang kesepian," kata Liya membuyar emosi sesaatku. "Anakmu tuh, sekarang lebih suka main sama Mang Dedi ketimbang sama Abinya sendiri."

Jleeebbbb!!!

Ruangan mendadak menjadi terasa dingin saat aku mendengar perkataan Liya. Putriku satu-satunya, sumber dari segala kebahagianku dan alasan utama kenapa aku sangat bersemangat untuk bekerja, berpaling kepada orang lain atas rasa sayang dan perhatian yang tidak dia dapatku dariku belakangan ini.

"Ga! Ga mungkin lah!" sanggahku tidak percaya.

Tapi Liya hanya menaikkan bahunya, "Tanya sendiri aja nanti!" ucapnya menantang.

"Tapi untuk sekarang.. kelarin dulu tuh kerjaan Abi.." kikik Liya mengisyaratkanku untuk melanjutkan kegiatan kami.

Meski masih dalam pergolakan batin yang cukup mengejutkan itu, aku pun kemudian memutuskan untuk berfokus kembali pada niatanku untuk memuaskan Liya. Untuk saat ini, aku harus lebih perhatian dalam membujuk Liya agar bisa melupakan si tukang sayur itu.
Aku harus memperbaikinya, harus menunjukkan pada Liya bahwa aku bisa memberikan apa yang dia butuhkan, harus membuktikan bahwa aku bukanlah seorang pria lemah yang hanya bisa memuaskan istrinya dengan menggunakan mulutku saja.

"I-Iyaa.. Abi tau!"

Dengan sedikit menggeram, aku merengkuh mulut Liya dengan mulutku, menciuminya dengan semua percampuran gairah yang telah aku pendam selama berbulan-bulan. Itu adalah ciuman yang penuh dengan cinta, kemarahan, dan kebutuhan yang mendesak untuk kembali memulai segalanya seperti dulu lagi.

Tapi mulut Liya tidak memberikan respon yang seperti aku harapkan, dia membalas ciumanku dengan rasa dingin yang aneh dan sama sekali tidak tertarik. Meskipun aku sudah berusaha untuk memagut, menaut lidah serta menghisap mulutnya, Liya tampak seperti tidak mood untuk melakukannya.

Kemudian dia mendorongku dengan kekuatan yang cukup kuat, tangannya menahan tubuhku dari pundak. "Bukan ini yang Umi mau!" dia menarik napas, matanya dipenuhi dengan campuran hasrat dan sesuatu yang lain. "Maunya Abi jilatin memek Umi kayak tadi lagi. Soalnya cuma itu yang enak!" sambungnya sedikit menyindir.

Kata-kata Liya membuatku tersinggung, seolah mengatakan kalau keintiman diantara kita, dikalahkan oleh keinginan dan nafsunya yang mau merasakan jilatanku di vaginanya kembali, tapi aku menelan harga diriku dan mengangguk, bergerak turun untuk mencium perutnya lagi.

"Iyaa.. Maafin Abi, Umi." jawabku membalas.

Ekspresi Liya melembut, dan ia mengulurkan tangan untuk membelai pipiku. "Gitu dong! Suamikuu yang pinterrr.." suaranya berubah seketika menjadi riang.

Dengan menarik napas panjang, aku mencondongkan badanku ke arah bawah tubuh Liya, mencium perutnya sekali lagi, tapi kali ini dengan lebih lembut dan menghayati. Ku berikan beberapa kali kecupan ringan di perutnya yang buncit itu sebelum mulutku turun ke pusarnya.

"Geliihh.. Abihhh.." Nafas Liya memburu, dan ia memejamkan matanya, sambil sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya.

Saat mulutku mencapai pinggangnya, aku berhenti sejenak untuk mencium setiap tulang pinggulnya, bermain-main sebentar di area tersebut saat Liya kembali mengeluarkan erangan lembut yang membuatku ikut bergairah.

Aku lalu semakin turun ke bawah, mencium kulit sensitif paha bagian dalam Liya, merasakan panasnya hasrat selangkangannya yang kembali memancar dari arah liang vaginanya. Setiap ciuman yang ku berikan, ku buat seolah-olah aku sedang meminta permintaan maaf untuk pengabaian dan keintiman yang telah hilang di antara kami.

Pelan-pelan, kusapukan lidahku pada pinggir vagina Liya, berhasil membuatnya kembali bergetar dan mendesis pelan. Aku lalu menjilatnya dengan lembut, menikmati rasa, aroma, serta suara desahan kenikmatan yang Liya keluarkan.

Tangan Liya kembali menjambak rambutku, mengacak-ngacak serta menggaruk kulit kepalaku saat aku menyentuh kembali tonjolan daging kecil yang ada di vaginanya itu. Entah kenapa, aku merasa bahwa itulah titik paling sensitif yang ada pada tubuh Liya sehingga aku berinisiatif untuk terus merangsangnya.

"Uggghh.. Iyaahhh.. Bihh.. Enakkhh disituuhhh.." Liya meracau memberitahu titik kenikmatannya.

Entah mendapat sebuah ide dari mana, aku kemudian membelah bibir vagina Liya dengan jariku yang sedari tadi aku gunakan untuk mengelus penisku dari balik celana. Aroma pekat liang senggama Liya merebak ke seluruh ruangan saat kedua daging montok itu merekah terbelah dan memperlihatkan isinya yang berwarna merah muda.

"Hmmmmmpphh.." Liya meliuk ngilu, saat ujung lidahku menggelitik di tonjolan daging kecilnya serta tanganku yang sedikit menggaruk bibir vaginya.

"Iyaahh.. Bihh.. Ittuuhh.. Itilnyaahh Umiihhh.. jilatin terussshhh.." perintah Liya yang menyebut tonjolan daging itu dengan sebutan "itil."

Seperti mendapat sebuah pengetahuan yang baru, aku pun semakin bersemangat melancarkan seranganku pada vagina istriku tersebut, yang semakin lama juga semakin membuatku mabuk dalam gairah yang tidak bisa di bendung.

"Ouugghh.. Abihh.. Pinternyaahhh.." puji Liya padaku. "Abihhh.. Pastiihh.. cemburuhh yaahhh.." ucap Liya meracau-racau dalam kenikmatan. "Makanyaahhh.. Abiihh.. mauuhhh begiinihh.. kan??"

Aku tidak memperdulikan ucapan Liya saat kakinya mulai bergetar dan menghentak-hentak, persis seperti wanita yang ada dalam video yang pernah ku tonton tempo hari, dimana dia berteriak bahwa dia akan keluar, lalu si pria menghujamkan penisnya lebih cepat setelahnya.

Karena teringat akan hal tersebut, aku pun kemudian melipatgandakan tindakanku dengan semakin ganas dan bernafsu, lidahku menjentik cepat bagian itil Liya yang sensitif itu, sedangkan jariku, sengaja ku tusukkan lebih dalam ke dalam liang senggamanya, merasakan denyutan dan jepitan otot vagina Liya yang berkedut-kedut dan licin membasah, menciptakan simfoni perpaduan lenguhan serta gerakan tubuhnya yang semakin keras.

"Ouugghhh,.. Iyaahh.. Abihh.. Sayaangggkuhhh.. Iyaaahhhh.. teruusss... sedikitt lagiiihh... sayangggg... aaaanngghhhh.." Selangkangan Liya terangkat-angkat bertemu dengan mulutku.

Aku pun menyambutnya dengan tangan kiriku, menahan bongkahan pantatnya yang terangkat sambil aku meremas gundukan daging pinggulnya yang padat itu, tentu dengan terus mengusahakan rangsangan mulut dan jari tangan kananku di vaginanya.

Beberapa saat aku mencoba melirik ke arah Liya, yang seperti sudah tenggelam dalam lautan nafsu dan gairah hewaniahnya yang mampu membuatnya menjadi sangat liar dan menuntut, hingga dia tampak tidak mempedulikan lagi bagaimana ekspresi yang dia buat, atau apapun perkataan yang keluar dari mulutnya.

"Ummihh.. Mauuhh keluarrr Abiihh.. mau keluaarrrhh..." Ucap Liya seperti tergesa-gesa.

Sedangkan aku yang tidak paham, hanya melanjutkan apa yang seharusnya aku lakukan, mulutku masih di selangkangannya, lidahku masih menggelitik itilnya, jari-jariku mengocok liang vaginya, dan tangan kiriku meremas-remas pantatnya.

Badan Liya kemudian mengejang-ngejang dengan kuat, kedua pahanya mencoba mengapit kepalaku di masing-masing kiri dan kanan, untuk menahan posisi kepalaku agar tetap berada di sana. Tungkai kakinya yang jenjang, ia lingkarkan pada tubuhku lewat masing-masing bahu.

Kedua tangannya meremas sprei ranjang tidur seperti sedang berpegangan kuat karena dilanda oleh badai kenikmatan, badannya juga melengkung tegang, seperti sebuah busur panah yang ditarik secara penuh.

"Ouuugghhh.. Iyaaahhhhh.." Liya mengeluarkan jeritan nikmat terakhirnya sebelum kemudian aku merasakan otot vaginanya berkedut-kedut, mengapit jari telunjukku serta mengeluarkan banyak sekali cairan bening dari dalam lorongnya mengenai mulutku.

Liya memejamkan matanya, membanting kepalanya ke kiri dan ke kanan sambil kakinya menekuk dan membuka. Getaran tubuhnya begitu lama, seperti menandakan bahwa dia sedang berada dalam tingginya kenikmatan puncak yang telah berhasil dia daki.

"OOOOOOOGGGHHHHHHH..." Liya seperti melonglong layaknya sebuah serigala di bulan purnama.

Dan di moment itulah aku akhirnya juga sadar, bahwa ternyata, seperti inilah seharusnya seorang perempuan menikmati kenikmatan seksualnya, liar dan tanpa ada batasan. Hal yang sebelumnya bahkan tidak pernah aku ketahui, ataupun pernah aku berikan kepada istriku tersebut.

"Tiga kosong!" teriakku dalam hati, akhirnya berhasil memberikan apa yang seharusnya sudah Liya dapatkan dariku sejak dulu.


EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28