Chapter 26

Liya
Beberapa orang mungkin akan menggapku sebagai seorang suami yang aneh, beberapa pula mungkin akan berpikir bahwa aku merupakan seorang pria terbodoh yang pernah ada di muka bumi ini.
Karena ternyata, runtutan kejadian yang telah terjadi diantara istriku dengan Mang Dedi selama ini, benar-benar telah mengacaukan isi pikiranku, merubah jati diriku yang tadinya percaya bahwa aku adalah pria yang sama dengan kebanyakan pria diluar sana, menjadi seseorang yang bahkan aku sendiri tak pernah tau bisa menjadi seperti ini.
Saking anehnya, sampai-sampai saat ini, dimana aku tengah sibuk memompakan penisku ke dalam liang vagina Liya, aku merasa seperti tidak lagi bersemangat, merasakan bahwa kenikmatan hubungan intimku dengan istriku tersebut, tidak lagi terasa sama.
Aku bahkan membandingkan, bagaimana nikmat seks yang tengah kurengkuh saat ini dari tubuh Liya, terasa tidak sebanding lagi dengan kenikmatan kocokan lembut tangannya pada penisku, saat dia juga tentu membuatku membayangkan tindakan-tindakan mesumnya dengan Mang Dedi.
"Kok berhenti, Bi?" Tanya Liya, saat aku tiba-tiba tidak lagi memompakan pinggulku. "Abi capek ya?"
Aku mengerang dan mengangguk, "Di-dikit, Mi." balasku lesu.
"Baru juga beberapa menit, Bi!" celetuk Liya yang anehnya malah terkikik.
Liya lalu menarik pinggulnya menjauh, membuat penisku yang entah kenapa tidak bisa bertahan dengan ereksi maksimal sedari tadi, keluar dari vagina Liya dalam keadaan lemas dan mengecil.
"Padahal udah lama loh kita gak ngewe," Liya masih tersenyum, namun penisku justru berdenyut saat dia mengucap kata "Ngewe" yang terdengar begitu menggairahkan di telingaku.
"Umi kok frontal banget sih ngomongnya?" tanyaku yang sebenarnya merasa suka dan tidak disaat yang bersamaan.
Liya lalu tersenyum nakal, "Kenapa? Abi ga suka ya Umi ngomong jorok begitu?" tanyanya sambil meraih penisku yang lesu dengan tangannya.
"A-agak aneh aja kedengarannya." jawabku tercekat.
"Gak aneh kok!" Liya terkikik, memijat dan mengelus pelan penisku, "Titit Abi aja suka nih!" sambungnya memperlihatkan bagaimana penisku lagi-lagi dengan anehnya menegang sangat keras.
"Yang aneh itu justru ya titit ini sih," Liya menatapku dengan tatapan meledek, "Masuk ke memek Umi dia gak mau berdiri, giliran di pegang dikit pake tangan, dia langsung hormat loh!" Liya melanjutkan dengan mengocok pelan, "Kok bisa gitu ya?"
Suasana menjadi hening seketika, saat aku tidak dapat menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Liya, atau lebih tepatnya aku sendiri tidak tau kenapa rubuhku merespon cepat elusan tangan istriku tersebut, ketimbang saat aku melakukan penetrasi pada vaginanya.
"Mu-mungkin lagi capek aja, Mi." balasku berbohong, berharap bahwa Liya akan percaya. "Tadi kerjaan di kantor lagi banyak soalnya," sambungku memperpanjang kebohongan tersebut.
Tapi Liya dengan cerdik menjadikan jawabanku justru menjadi bumerang yang berbalik menyerangku, "Masa sih? Ini pas dikocok begini bisa tegang kok!?"
Lagi dan lagi aku tercekat dalam diam.
Tangan Liya tidak berhenti bergerak naik turun pada penisku dengan pelan. Matanya mencoba mencari mataku, mencoba menemukan sebuah jawaban, sebuah pengakuan, atau mungkin sedikit reaksi yang bisa memuaskan rasa penasarannya.
Tapi tampaknya dia tidak menemukan hal tersebut, sehingga dia kembali tersenyum seperti mendapatkan sebuah ide, "Mungkin karena ada yang kurang kali ya?"
"En-enggak! Kurang apaan?" tanyaku langsung menyergah.
"Gatau, harusnya Abi dong yang ngasih tau ke Umi," ucap Liya tersenyum nakal, "Abi merasa ada yang kurang gak?"
Aku menggeleng cepat, "Engga ada! Gak ada yang kurang dari Umi," jawabku jujur.
"Terus kenapa Abi ga nafsu ngentotin Umi kayak dulu-dulu?"
"Apaan sih Mi! Kenapa ngomongnya jadi begitu?!"
"Buktinya," Liya memanyunkan bibirnya. "Abi lebih seneng Umi kocokin daripada ngewe sama Umi."
Aku menghela nafas, "Bukan begitu sayang," ucapku membujuk.
"Terus apa?" Liya menuntut.
Dan aku terdiam.
Senyum nakal kemudian tersungging di bibirnya, "Oh Umi tau!" suaranya bersemangat dengan tiba-tiba, "Abi masih cemburu sama Mang Dedi ya?" tanyanya.
"Abi sekarang ngerasa jijik sama Umi karena udah nyepongin Mang Dedi kan?"
Aku mengerjap, tidak menyangka kalau Liya bisa punya pemikiran seperti itu serta mengutarakannya secara tiba-tiba, "E-enggak! Abi gak pernah mikir kayak gitu!"
"Trus apa dong?!" Liya meremas kuat penisku. "Jawab yang jujur!" perintahnya seperti mengancam.
Genggamannya itu sedikit membuatku meringis, "Abi juga gatau, Umi." jawabku dengan lesu.
"Yasudah berarti Abi belum siap," ucap Liya yang kemudian memelankan cengkraman tangannya.
Liya dengan santai kembali mengurut batang penisku yang menjulang tegak dengan tempo yang pelan, memberikan sensasi pijatan nikmat yang menjalari tubuhku seperti layaknya tersengat aliran listrik yang menggelitik.
Kami berdua kembali diam dalam suara engahan nafasku yang mulai memburu. Liya tetap menatapku lekat dengan matanya, dan dia sesekali tersenyum melihat kearahku yang kewalahan menghadapi pundi-pundi gairahku sendiri, yang pasti sudah tercermin jelas dari raut wajahku.
Dalam kenikmatan yang tengah ku resapi dengan menggebu-gebu, Liya tiba-tiba mencondongkan wajahnya ke telingaku, nafasnya terasa hangat saat dia berbisik amat pelan, "Abi sayang sama Umi kan?"
Aku mengangguk, menggertak gigiku sendiri dalam mulut untuk berusaha sedikit meredam kenaikan nafsuku yang sepertinya sudah terkumpul, ibarat sebuah bola-bola salju yang semakin lama terasa semakin besar seiring waktunya berguling.
"Abi bisa kan? Anggap apa yang Umi lakuin ke Mang Dedi itu cuma bentuk terima kasih Umi ke dia?!" Liya menarik wajahnya dari telingaku, lalu bergerak menatapku pelan berhadap-hadapan, "Anggap itu imbalan buat dia, karena udah mau menemani istri Abi yang kesepian ini saat Abi gak ada." Liya tersenyum.
Sedangkan aku menganga, merasakan penisku menjadi memberontak keras dalam baluran telapak tangan Liya yang masih mengurutnya dengan sangat pelan, membiarkan bagaimana urat-urat yang berada di batang penisku tersebut berdenyut keras serta menyembul keluar.
"Abi adalah suaminya Umi." ucap Liya melanjutkan. "Abi cintanya Umi, Abi tetap adalah tempat Umi buat kembali, rumah yang selalu ada buat Umi."
Aku tidak sanggup menjawab perkataan Liya meskipun aku ingin, karena pikiranku kalut, bercampur-campur antara perasaan yang tidak jelas yang mana yang mengambil alih serta mendominasi.
"Mang Dedi cuma temen kok!" Liya memastikan sekali lagi. "Dia cuma temen yang ngajarin Umi sesuatu yang bahkan Abi juga belum tau," senyum Liya merekah nakal.
"Harusnya Abi berterima kasih sama dia, karena dia udah banyak ngajarin Umi tentang berbagai hal," Sambungnya yang tiba-tiba menghentikan kocokan tangannya.
Membawa pikiran sehatku kembali bisa sedikit memprotes, "U-Umi mau Abi berterima kasih sama dia?" tanyaku tidak percaya dengan apa yang kudengar.
Liya mengangguk pelan, matanya berkilau dengan sesuatu yang tak ku pahami, "Coba deh Abi pikir lagi!" katan Liya sembari menggoda penisku dengan cara menyentil dengan telunjuknya. "Kalau gak ada Mang Dedi, mungkin Umi udah temenan sama orang yang mungkin aja punya niat jahat."
Dia berhenti sejenak, "Bisa aja Umi berpikiran buat ninggalin Abi."
"Ma-maksud Umi?" Aku terlonjak kaget.
"Ya bisa aja kan!" Liya kini mencubit sedikit kepala penisku yang sensitif, membuatku merasa kegelian yang amat luar biasa, "Abi liat sendiri di berita-berita! Banyak pasangan yang akhirnya bercerai karena suaminya terlalu sibuk dan gak ada waktu buat istrinya."
Aku ingin segera memprotes, namun ucapanku langsung disela.
"Tapi Mang Dedi ga pernah tuh nyuruh Umi buat begitu!" Liya menyunggingkan senyum malu-malunya. Seperti seorang remaja polos yang sedang menjelaskan kelebihan yang dimiliki oleh pasangannya.
"Mang Dedi justru bilang kalau Umi harus tetap sayang sama Abi, dan tetap jadi istri yang baik buat Abi."
Pengakuan Liya tersebut membuatku semakin tak bisa berkata-kata. Pikiranku mencoba memahami logika terbalik yang Liya sampaikan. Bagaimana bisa, laki-laki yang sudah menggoda, memanfaatkan rasa kesepian istriku, serta melakukan hal yang tidak senonoh dengan Liya itu, justru malah yang menyuruh Liya untuk tetap bersamaku.
"Lah? Kok bisa?!" tanyaku kebingungan.
Liya tersenyum, dia kembali meraih penisku dengan tangannya, "Karena Mang Dedi peduli sama Umi, Bi!" jawabnya lirih. "Dia gak pengen liat Umi sedih dan gak bahagia, tapi dia tau kalau sumber kebahagiaan Umi adalah Abi dan Caca."
"Mang Dedi tau, terlepas bagaimanapun masalah yang terjadi antara Umi sama Abi, Umi tetap mencintai Abi sepenuhnya karena Umi istrinya Abi."
Aku menatap bingung ke arah Liya, mencoba membayangkan sosok laki-laki bejat yang sudah merasakan nikmatnya hisapan mulut istriku itu, dengan sosok yang baru saja diceritakan oleh Liya.
"Apakah itu Mang Dedi yang sama?" tanyaku dalam hati. Tidak dapat menerima logika menyimpang ini.
Tapi tidak bisa aku pungkiri kalau sebenarnya hatiku juga sedikit menghangat mendengar pengakuan Liya yang tampak begitu mencintaiku sebagai suaminya.
Terlepas dari apa yang telah Liya perbuat kepada Mang Dedi, aku sekarang dapat merasakan apa yang juga dirasakan oleh para suami-suami cuckold yang membagikan ceritanya di internet, yang kemarin sempat ku ledek dan ku katai, saat mereka menceritakan bagaimana istri mereka berubah jauh lebih mencintai mereka setelah mereka mengizinkan istrinya tersebut berhubungan dengan pria lain.
Hal yang awalnya sangat-sangat tidak masuk akal bagiku.
"Dan Abi tau gak?" Liya menahan tawa menarik kembali perhatianku. "Alasan kenapa Umi jago banget ngocokin tititnya Abi?" Liya meremas pelan penisku. "Sampai-sampai Abi ga suka masukin titinya ke memek Umi lagi?!"
Aku menggeleng. Benar-benar pasrah dalam ketidaktahuan.
"Itu Mang Dedi yang ngajarin!" bisiknya pada telingaku. Suaranya terdengar seperti sebuah ajakan yang membawaku semakin jatuh ke dalam jurang penyimpangan aneh yang begitu memabukkan bagiku.
"Ma-maksud Umi?"
Liya tersenyum kecut nyaris tampak seperti mengasihani, "Abi tau sendiri dulu kita kalau begituan kayak gimana."
"Kita berdua dibesarin di lingkungan yang taat. Kita diajarin untuk tidak berhubungan badan sebelum menikah. Tapi kita gak diajarin caranya menikmati seks setelah kita menikah. Kita cuma dikasih tau kalau seks itu tugas istri buat suami." Liya menjelaskan.
"Dan Umi udah penuhin tugas Umi sebagai istri, melayani Abi sebagai suami," sambungnya kembali mengocok penisku. "Tapi bukannya tugas suami dalam agama kita juga memberi nafkah lahir dan batin ke istri ya?"
Aku mengangguk.
"Kok Umi merasa selama ini batin Umi ga terpenuhi sama Abi?"
DEEEGGGHHHHHH!!
Perkataan Liya benar-benar membuatku tercekat serta diam dalam kebisuan. Tapi sepertinya Liya tidak mempedulikan hal tersebut karena dia hanya tersenyum, melanjutkan kocokan tangannya pada penisku serta meningkatkan temponya perlahan-lahan.
"Umiihh.." ucapku meringis, merasakan rasa bersalah dan kasihan ternyata bisa bercampur dengan perasaan nikmat yang menghujam.
"Berarti ada yang kurang kan?" ucap Liya memegang pangkal penisku dengan tangan kirinya.
Liya lalu menekan kuat pangkal penisku tersebut, dan menggunakan telapak tangan sebelah kanannya untuk menyentuh kepala penisku, membuat gerakan berputar-putar mengitari bagian seperti jamur yang sensitif itu layaknya sedang membuat adonan kue.
Dan gerakannya tersebut berhasil membuatku terkejang dan mengerjap-ngerjap menahan kegelian yang luar biasa, "Uuuummmmmiihhhhhh..." aku meracau memanggilnya.
Tapi Liya tidak berhenti disana, "Dan Mang Dedi yang ngasih tau Umi semuanya. Ngasih tau apa yang kurang dari Umi, ngasih tau apa yang kurang dari Abi, Dan apa yang kurang dari rumah tangga kita."
"Mang Dedi yang ngasih tau kalau seks bukan cuma peraduan dua kelamin manusia aja!" Penjelasan panjang Liya semakin terdengar samar ditelingaku karena aku tidak lagi memfokuskan semua panca indraku pada perkataannya, melainkan justru pada sentuhan tangannya.
"Dia ngajarin, kalau untuk memuaskan hasrat suami kayak Abi, tidak perlu lagi dengan ngelakuin seks!"
Liya menegaskan dengan agak kasar, namun fokusku hanya bertaut pada rasa geli yang menjadi-jadi saat Liya menggunakan cairan pelumas yang keluar begitu banyak dari lubang pipisku, sebagai pelicin gerakan telapak tangannya yang masih berputar-putar diatas kepala penisku.
"Tapi bisa dengan cara seperti ini aja!" sambung Liya menatap dalam kearahku yang mengerjap-ngerjap dan melonglong pilu dalam kegelian yang membuat tubuhku melonjak-lonjak diatas kasur.
Seluruh syaraf ditubuhku berdesir, terjebak dalam campuran antara amarah dan gairah yang aneh. Membayangkan Liya, istriku yang berhijab itu berbicara seperti ini, melakukan hal-hal tak senonoh yang seharusnya tidak dilakukan oleh muslimah sepertinya, serta pengakuan-pengakuan tabu yang dilakukannya dengan Mang Dedi, membuatku semakin jatuh dalam fantasi liarku sendiri.
"Umihhh! Abiihh... Udahh.... mauuu..." eranganku terputus-putus saat aku merasakan titik kegelianku berkumpul dan bersiap untuk menjebol tanggul kenikmatan yang tertahan sedari tadi.
"Abi mau masukin gak?" goda Liya yang tiba-tiba berbisik sekaligus terdengar seperti membujuk.
Dalam rasa gairah yang selalu dibuat tanggung oleh Liya saat dia mengocoki penisku beberapa minggu terakhir, akupun dengan sangat cepat mengangguk-anggukan kepala, seperti seorang yang berputus asa karena tidak ingin merasakan kenikmatan orgasmeku berakhir hanya di tangan istriku seperti sebelum-sebelum.
"Bilang kalau Abi mau masukin tititnya ke memek Umi! Bilang permisi dulu!" perintah Liya dengan nakalnya memantik gairahku semakin menjadi-jadi.
"Uuugghhhhh..." Aku mengeram, berusaha untuk mengeluarkan kata-kata di sela nafasku yang memburu, "Abiihh.. Maauhhh.. ijinn..."
"Ijin apa sayang?" Liya mempermainkan gairahku.
"Ijiiinnn... mauuuhh.. ituuuhhh.. masukiiiiinnnn..."
"Masukin apa?"
"Maasssuuukkiiinn... punyaahhh.. Abiihhhh.."
"Apaan tuh punya Abi?"
"Oooouggghh.. Ituu.. Mihhh.. tititnyaaahh... Abiiihhhh..." aku semakin kehilangan akal saat aku merasakan berjuta-juta mili spermaku mulai menjalar menuju pangkal penisku.
Liya lalu dengan senyum penuh kemenangan mendorong tubuhku ke belakang dengan tangannya lebih keras, "Nyender, Bi!" perintahnya padaku.
Dengan sangat cepat, aku bergerak mengikuti kemauan Liya. Aku membawa tubuhku untuk mendekat ke bagian kepala ranjang, menyenderkan punggungku disana sambil melihat Liya dengan tubuh telanjang serta perutnya yang membuncit, beringsut memposisikan dirinya mengangkangi selangkanganku.
Liya menggengam penisku dengan sangat kuat, mencegah datangnya orgasmeku yang dari tadi sudah terasa berada di titik pangkal penisku dengan membendung aliran spermaku.
Dan sambil menyunggingkan sebuah senyum aneh padaku, Liya kemudian menurukan pelan-pelan selangkangannya, mengarahkan kepala penisku pada bagian vaginanya yang ternyata sudah sangat basah seperti saat tadi aku menjilatinya.
Namun sesuatu yang tak terduga tiba-tiba terjadi, saat kemudian kepala penisku bersentuhan dengan bibir vagina Liya yang licin, penisku yang tegang malah sedikit bergeser masuk dengan begitu bebasnya ke dalam lubang pantat Liya.
Aku tersentak kaget, mataku langsung terbuka melihat ke arah wajah Liya yang menutup mulutnya dengan tangan, "Upssss.. Salah masuk!!" ucapnya seperti sedang menahan tawa.
"Ummiih.. Apaa.. Apaan in-" belum sempat aku menyelesaikan protesku, Liya kemudian sudah langsung melumat bibirku dengan sangat ganas.
Lidahnya bermain, dan bibirnya menghisap bibirku dengan sangat rakus dan liar, "Ssssssttt... Nikmatin aja, Bih!" ucap Liya yang kemudian melepas genggaman tangannya pada pangkal penisku.
Sesaat itu juga, badanku berkelojotan dalam rasa pegal dan geli, seperti semua syaraf yang ada di tubuhku ditarik secara bersamaan lewat batang penisku, merasakan bagaimana aliran sperma yang tadinya tertahan kini saling berebut dan berpacu untuk dikeluarkan.
"OOUUUUUUUGGGGGGGGGGHHHHHH..."
Aku berteriak dengan sangat nikmat melepas ejakulasiku, tanganku mencengkram keras sprei ranjang sambil kepala kutengadahkan. Mataku terpejam saat tubuhku menyerah pada sensasi klimaks yang luar biasa menyalurkan getaran kenikmatan yang mengalir pada semua pembuluh darahku, menyebabkan otot-ototku ditubuhku mengejang beberapa kali, sebelum akhirnya melemas kehilangan tenaga seiring dengan semburan spermaku yang meluap di dalam lubang pantat Liya.
Sedangkan Liya sendiri menyambut ejakulasiku dengan memeluk badanku, seperti ingin merasakan apa yang sedang tubuhku rasakan, menyerap energi kenikmatan yang aku keluarkan menggunakan tubuhnya sendiri dalam nafasnya yang ikut terengah-engah.
Namun, ketika badai gairah yang menerjangku mulai mereda dari tubuhku, perasaan gelisah yang aneh mulai menyusup ke dalam pikiran. Karena sesaat setelah akal sehat itu muncul dan mengambil alih, aku menyadari sesuatu yang sama sekali tidak terduga dan sangat mengganggu.
Anus Liya, yang seharusnya menjadi sebuah lorong sempit tempatnya membuang hajat itu, malah terasa sangat.. sangat longgar, sama sekali tidak mengcengkram batang penisku dengan otot-otot yang seharusnya ada disana untuk mencegah benda asing yang masuk.
Lubang itu, terasa seperti sudah diregangkan hingga mencapai batas elastisitasnya. Seolah-olah otot-otot yang dirancang untuk melindungi bagian tersebut, telah dilatih untuk mengakomodasi dan menerima benda yang jauh lebih besar dari penisku.
"Um-umi!" ucapku memanggil. Tidak yakin dengan apa yang harus aku katakan tapi aku benar-benar sangat penasaran.
Liya mengangkat kepala, "Kenapa, Bi?" tanyanya tersenyum.
"Ka-kayaknya.. Ituu.. Salah masuk.." ucapku langsung berterus terang.
"Oh!" Liya terkekeh singkat, "Salah ya?!" ucapnya sambil mengangkat pelan-pelan pantatnya dari penisku, "Titit Abi kekecilan sih, jadi ga begitu berasa," sambungnya dengan tertawa meledek.
Sedangkan aku tak mempedulikan ucapannya tersebut walaupun terkesan menyakitkan, karena fokusku kini mengarah pada bagian selangkangan Liya, terutama pada lubang anusnya yang mengeluarkan sedikit demi sedikir cairan spermaku menuju pangkal pahanya.
Belum sempat aku kembali ingin bertanya sesuatu tentang keanehan tersebut, handphone Liya tiba-tiba berdering dengan nyaring memenuhi ruangan kamar. Liya juga tampak sedikit kaget mendengar suara hapenya sendiri, sebelum akhirnya dia beringsut ke arah meja nakas untuk meraih ponselnya tersebut.
"Halo, Ma!" ujar Liya sangat sopan mengangkat telfon.
Aku tadinya mengira bahwa telfon tersebut berasal dari Mang Dedi, karena sekilas aku sempat menangkap sedikit tulisan yang tertera di layar ponsel Liya bertuliskan nama Mang Dedi, tapi setelah dengan samar aku mendengar suara seorang wanita, akupun menjadi sedikit penasaran.
"Liya, kamu jadi ikut sama kita hari minggu kan? Mama sudah tidak sabar pengen kenalin kamu ke temennya mama!" ucap wanita tersebut.
Meski Liya tidak menggunakan loudspeaker, aku tetap dapat mendengar samar pembicaraan wanita yang memanggil dirinya dengan sebutan mama itu, sedang ingin mengajak istriku untuk pergi ke suatu tempat.
Dan akupun tau kalau wanita itu bukanlah ibunya Liya, karena Liya memanggil mertuaku dengan panggilan Ami dan Aba. Dan orang itupun sudah pasti bukan Bu Retno ataupun seseorang yang mungkin saja aku kenal.
"Siapa, Mi?" tanyaku pelan.
Melihat keberadaanku yang sepertinya curiga, Liya kemudian bangkit dari kasur tanpa mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawabku, dia lalu menggeleng pelan kearahku, lalu dengan cepat melenggang pergi ke arah kamar mandi, meninggalkanku yang masih mematung sekaligus kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi.
Misteri tentang anus Liya yang longgar, serta wanita misterius yang memanggil dirinya sebagai mama, tiba-tiba saja menambah beban pikiranku seperti sebuah teka-teki yang muncul dalam sekelebat waktu, namun menuntut untuk segera diselesaikan.
"Aaaaaaaaarrrrgghhh.. Apa yang sebenarnya terjadi?!!"