javascript hit counter

Penunggang Liya Seorang Ibu Muda

EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Chapter 27





Liya


Shena


Sang waktu tampak tidak berbelas kasihan, saat detik-detik yang diputarnya terasa berlalu dengan begitu cepat. Ia tak bisa diajak berkompromi, meski diluar sana ada manusia dengan hati yang tengah berkecamuk, ada manusia dengan kesedihan, ataupun ada yang berharap agar sang waktu bisa berhenti sejenak.

Dia tidak peduli.

Begitu pulalah keadaannya denganku, yang kembali menemukan diri sedang duduk di belakang meja kerja dengan tumpukan-tumpukan kertas dokumen. Walau dengan pikiran yang sedang tidak bisa fokus, walau dengan hati yang sedang tidak baik-baik saja.

Tapi aku juga tidak sedang mempermasalahkan itu semua, karena sekarang aku tengah sibuk menenggelamkan diri dalam dunia internet, yang tentunya untuk kembali mencari info penambah wawasan atas topik cuckold, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan fantasi seksual, fetish, dan hal lainnya.

Menelisik lebih jauh dari yang kulakukan sebelumnya, aku bahkan kini telah menemukan sebuah forum yang bisa dikatakan sebagai tempat berkumpulnya para penikmat ketabuan. Forum itu diberi nama "Semprot," mungkin seperti sebuah pengungkapan bahwa para pengunjungnya bisa dengan bebas mengeluarkan uneg-uneg dikepala layaknya cairan yang keluar dari dalam semprotan.

Dan disana jugalah aku melakukan hal tersebut. Aku membuat postingan tentang keanehan yang kemarin malam ku rasakan, tentang betapa longgarnya anus milik istriku saat penisku secara tidak sengaja masuk ke dalamnya.

Beberapa komentar-komentar pertama yang ada di postingan curhatku tersebut membuat badanku terasa panas dingin saat membacanya.

"Kemungkinan pantatnya udah sering digenjot sama orang lain suhu!"

"Kalau menurut gw kayaknya kontol lu deh yang kekecilan."

"Hayolohhh gan!! Selingkuh tuh istrinyaa.. hahaha.."

Selain banyaknya respon-respon iseng yang meledek serta menertawakan, ada pula beberapa user yang dengan cukup serius menanggapi postinganku, seperti salah seorang user yang bernama "Analenjoyer," yang tidak segan membagikan sedikit pengetahuan dan pengalamannya tentang hal-hal yang berkaitan dengan apa yang dia sebut sebagai "lubang kedua" wanita itu.

Seperti seorang murid yang mendapat pengetahuan aneh, aku membaca komentar sang user dengan seksama sekaligus bergidik ngeri. Karena aku tidak tahu bahwa seseorang ternyata bisa melakukan seks lewat lubang yang seharusnya di pergunakan untuk saluran hajat manusia.

Dan anehnya hal itu ternyata cukup normal bagi beberapa orang.

Dia lalu menjelaskan, bahwa memang lubang anus bisa menjadi lebih rileks dan merenggang seiring berjalannya waktu, karena otot-otot pada anus tidak memiliki elastisitas yang sama dengan vagina, dan hal itu mungkin disebabkan oleh perubahan alami yang dialami oleh tubuh seseorang.

"Tebakan ane mungkin memang istri ente udah sering dianal," tulisnya lagi mengakhiri penjelasannya.

Aku tercekat serta diam dalam deguban jantung yang berpacu, karena memang penjelasan dari user tersebut terdengar sangat masuk akal, tidak mungkin anus istriku menjadi longgar secara alami tanpa ada penyebabnya.

Dan sebenarnya dari semalampun aku sudah menaruh curiga, berpikir bahwa mungkin saja Liya sudah melakukan perbuatan yang lebih menjijikkan dengan Mang Dedi tanpa sepengetahuanku, tapi aku tidak pernah sekalipun berpikir bahwa ada kemungkinan dimana Liya akan berhubungan seks lewat lubang anusnya.

"Sialan!" aku mengumpat.

Merasa seperti orang bodoh yang naif, berpikir bahwa perbuatan penyelewengan istriku dan Mang Dedi hanyalah sebatas apa yang aku lihat di gudang saat itu. Padahal setelah aku berpikir lebih dalam, Liya istriku sudah terlalu jauh melangkah dan melanggar aturan agama serta kesucian dirinya saat dia menghisap penis Mang Dedi. Lalu apa yang menghentikan dia untuk berbuat lebih jauh?

Jawabannya tentu tidak ada.

Liya juga manusia, dia seorang istri yang dalam masa kesepian, seorang wanita hamil yang tengah mengalami lonjakan hormon, seorang pasangan yang tak pernah mendapat kepuasan seksual dari aku suaminya sendiri. Jadi, tidaklah menutup kemungkinan bahwa ternyata hubungan Liya dan Mang Dedi sudah berjalan ke arah yang melebihi perkiraanku.

"Apakah selama Liya dilarang berhubungan seks oleh dokter, dia melakukan anal seks dengan Mang Dedi?" tanyaku dalam hati, merasa seperti sudah terbodohi untuk kesekian kali.

Tapi bagian anehnya adalah, aku kini sama sekali tidak merasakan amarahku bangkit dengan kecemburuan yang membabi buta seperti sebelumnya. Aku hanya merasa frustasi, dengan sedikit perasaan tidak berdaya, serta banyaknya rasa penasaran yang membuncah.

"Apa sih yang sebenarnya Liya cari dari Mang Dedi?"

"Jikalau Liya hanya merasa sepi dan merasa tak pernah terpuaskan secara seksual olehku, kenapa dia harus melakukan hal-hal menjijikkan seperti berhubungan lewat anusnya segala?"

"Lalu bagaimana pula si bandot tua penjual sayur itu bisa membujuk istriku untuk melakukan hal-hal diluar nalar itu?"


Aku mengacak-acak rambutku dengan frustasi, kehilangan cara untuk mengekspresikan diri yang sudah terlalu jauh tenggelam dalam kesalahan yang kuperbuat sendiri. Entah kenapa aku merasa mungkin ini memang sudah waktunya aku mengetahui semuanya dari Liya, mendengar langsung dari mulutnya tentang semua hal yang telah dia perbuat dengan Mang Dedi.

"Tapi apakah aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada?" tanyaku ragu dalam hati.

Bagaimana kalau seandainya kejujuran Liya justru melebihi batas moral serta batas imajinasiku sendiri? Bagaimana kalau ternyata, ada hal yang lebih gila lagi yang masih Liya sembunyikan di balik perubahan sikapnya yang baru itu?

"Apakah aku sanggup mengatasinya dan mencintai Liya seperti sebelumnya?" Aku menghela nafas, mengambil ponsel yang ada di atas meja kerjaku dan menyalakan layarnya.

Disana, terdapat foto keluarga kecil kami yang sengaja kujadikan sebagai wallpapernya. Foto dimana Liya tampak tersenyum bahagia.

Sambil menatap foto itu, aku menyusur seluruh bagian wajah Liya, dari alisnya yang lebat, matanya yang memancarkan sinar teduh, hidungnya yang mancung, dagunya yang runcing, garis-garis tulang pipinya, bagian bibirnya yang ranum, semua tampak begitu sempurna dalam balutan hijab putih yang dikenakannya.

Semua kumaksudkan untuk mencoba menemukan kembali sosok wanita yang aku nikahi dulu, wanita yang biasanya tersipu malu hanya dengan sedikit gombalan-gombalan receh dariku, ataupun dia yang selalu senantiasa bertumpu padaku.

Dan anehnya aku masih bisa menemukan itu dari sosoknya, walau disaat yang bersamaan aku juga dapat membayangkan bagaimana Liya yang pemalu, Liya yang suci, serta Liya yang pendiam itu kini perlahan-lahan terkotori oleh perbuatan tukang sayur bejat bernama Dedi itu.

"Kayaknya hari ini gausah lembur dulu deh," bisikku dalam hati menyaksikan jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore.

Setelah beberapa menit aku mencoba untuk berdiam diri, akupun kemudian menyerah, mengemas serta membereskan seluruh barang-barangku, termasuk laporan-laporan yang belum selesai aku kerjakan. Karena tampaknya, memilih untuk pulang adalah keputusan terbaikku saat ini, ketimbang hanya menghabiskan waktu dengan melamun serta berselancar di internet.

Saat aku melangkah keluar dari bangunan kantor, angin sejuk setelah hujan sore menerpaku, memberikan sedikit kesan menyegarkan setelah dari pagi aku berada dalam lingkungan kantor yang pengap.

Dengan sedikit bermalas-malasan aku lalu berjalan ke arah parkiran, membuka pintu mobil lalu melempar tas kerjaku kearah kursi penumpang.

"Hufftttt..." aku menghela nafas panjang, menaruh kepalaku pada permukaan stir mobil sambil menutup mata.

Pikiranku masih berbelit-belit dengan keingananku untuk segera pulang ke rumah, ingin menghadap langsung kepada Liya, serta menanyakan perihal semua sepak terjang perbuatan tak senonohnya dengan Mang Dedi.

Aku tahu bahwa aku harus mengetahui semuanya dari Liya cepat atau lambat, sehingga aku dapat mengambil resiko sakit hatiku lebih dulu, ketimbang aku sendiri yang malah menemukannya secara tidak sengaja seperti kejadian-kejadian belum lama ini.

Karena lebih cepat aku tau, maka akan lebih cepat pula aku bisa mengambil sikap serta tindakan kedepannya.

Selagi masih terhanyut dalam pikiran, aku dibuat tersentak oleh suara ketukan pada kaca pintu mobilku. Sambil memijat pangkal hidung, aku menoleh ke samping dan mendapati kalau disana ada Shena yang tengah melambai-lambai tersenyum.

"Kenapa Shen?" tanyaku datar saat menurunkan kaca mobil.

"Dih! Dingin banget cowo satu ini!"

Shena bersungut kesal sambil bersidekap, membuat bongkahan payudaranya terangkat serta memamerkan belahan dadanya yang menggoda dari balik kemeja kerja yang dia pakai. Shena masih tampak fresh dengan blazer dan rok selutut yang mengetat di tubuhnya, sehingga dia tampil agak sesak dengan pantatnya yang membulat dan lekukan tubuhnya yang tercetak.

Insting kelelakianku pun menyambut dengan meneguk ludah saat aku melihatnya, "I-iya ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sedikit memalingkan wajah, menocba mengontrol hasratku sendiri yang entah kenapa mulai tergoda dan melihat Shena dengan cara yang berbeda.

"Pak Hadi lewat Sudarsono, kan? Shena mau nebeng!" balasnya santai.

"Loh?! Cowo mu kemana? Biasanya jemput."

Shena terkikik, "Ciee.. Yang sering perhatiin Shena."

"Dih.." Aku memasang tampak jijik, namun sebenarnya merasa sedikit salting.

"Cowo Shena lagi ada trip ke labuan bajo, jadi ga bisa jemput." ucap Shena dengan muka memelas, "Boleh ya Shena nebeng Pak Hadi?" tanyanya kembali.

Sepintas aku mencoba untuk mencari cara agar menolak, karena rasanya tidak cukup afdhol bagi seorang pria yang sudah beristri sepertiku harus berduaan dengan wanita lain, terutama jika orang tersebut adalah Shena.

Tapi entah apa yang ada di pikiranku saat itu, aku dengan santai mengiyakan permintaannya, merasa bahwa tidak ada salahnya sedikit membebaskan diri dari aturan ketat yang selama ini aku pegang teguh, karena disaat yang bersamaan, istriku juga telah melakukannya dengan pria lain.

"Yaudah ayo.." jawabku berusaha terdengar seperti terpaksa.

Shena pun melonjak riang dan tersenyum senang sebelum kemudian dia berjalan mengitari mobil untuk menuju pintu di sebelahku. "Permisiiii..." ucapnya sambil masuk.

Segera setelahnya, aroma dalam mobilku berubah menjadi dipenuhi oleh wangi parfum vanila khas Shena yang cukup familiar di hidungku. Rok pendek yang di pakai Shena pun tampak semakin pendek saat dia menghenyakkan pantatnya diatas kursi.

Jujur saja saat itu ada sekelebat keinginan nakal dan imajinasi liar yang terbesit di benakku. Tapi dengan cepat pula aku mencoba menghapusnya dengan terus berucap dalam hati.

"Main-main kau Hadi,"
hardik pikiranku menghakimi diriku sendiri.

Lama berdiam dalam kecanggungan, Shena tiba-tiba berinisiatif berbicara duluan. "Oh iya.. Pak Hadi mau beli makan dulu gak? Shena tau tempat makan yang enak loh!" ucapnya.

"Hmmm.. Kayaknya saya mau makan di rumah aja deh." jawabku datar. Kemudian menyalakan mesin mobil.

"Idihh.. Kaku banget tolong!" Shena melempar tubuhnya ke senderan kursi. "Padahal mah kemarin-kemarin Pak Hadi asik tuh curhatnya sama Shena," dia mencibir.

"Kukira kita bestie, ternyata yang merasa cuma aku sendiri." Sambungnya merajuk.

Membuatku mau tak mau tertawa, "Apaan sih Shen. Lebay!" jawabku yang mulai mengendarai mobil keluar parkiran.

"Pak Hadi tau, ngobrol panjang sama Pak Hadi itu adalah impian aku, Pak!" Shena mulai ber-akting. "It's my dream, not her!" Sambungnya menirukan sebuah adegan film yang sedang viral beberapa bulan ke belakang.

"Kamu mau saya turunin disini?" Ucapku gemas dengan tingkahnya.

"Eittsss.. Jangan dong!" Jawab Shena dengan centil, tapi dia tetap tidak berhenti berbicara, "Sekali-kali gitu Pak, makan sama bawahan," sambungnya.

"Syukur-syukur mau traktir Shena makan enak!" dia menahan senyum ke arahku. Sedangkan aku berusaha untuk tidak terpancing melirik ke arahnya dan lebih memilih berfokus pada jalanan.

"Emang kamu gak pernah diajak cowomu makan enak?" tanyaku berniat untuk berbasa-basi.

Namun tampaknya ucapanku tersebut malah disalah artikan oleh Shena, "Pak Hadi kenapa sih bawa-bawa cowo Shena mulu?" Shena mencondongkan kepalanya ke depan, mencoba mencari mataku. "Shena ga tau kalau ternyata Pak Hadi se posesif ini," dia tersenyum nakal.

"Dih! Cuma nanya doang loh saya!" balasku.

"Emang kalau Shena gak pernah diajak cowo Shena makan makanan enak, Pak Hadi mau ngajakin?" tanyanya tiba-tiba.

"Engga juga sih." jawabku.

"Tuh kan! Ga asik banget." Shena kembali menyender dan merajuk.

Beberapa saat keadaan mobil hening karena aku tidak tau harus berbuat apa disaat seperti ini. Karena adalah pertama kalinya aku berhadapan langsung dengan perempuan yang bersikap cukup frontal dan berani mengutarakan isi pikirannya secara langsung seperti Shena.

"Kalau gitu mampir di apartemen Shena aja mau gak?"

"Uhukk.. uhukk.." Aku tersedak dan hampir mengerem mobil secara mendadak. "Ga lucu ya, Shen!" balasku berusaha serius, tapi tak bisa dipungkiri bahwa jantungku berdegub sangat kencang.

Sedangkan Shena justru malah tertawa terbahak-bahak melihat reaksiku, "Ya ampun.. Hahahahaha.. Pak Hadi.. Lucu banget.. ihhhh.." Dia menepuk-nepuk bahuku.

"Reaksinya udah kayak berondong digodain tau.." sambungnya.

Aku tersenyum kecut sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Jantungku bergemuruh, tapi bukan karena penampilan Shena, dan bukan pula karena ucapan nyelenehnya. Aku justru berdegub karena tiba-tiba saja aku sempat berpikir bagaimana kalau seandainya Shena serius dan aku mengiyakan ajakannya tersebut.

"Hahaha. Maapin Shena, Pak! Shena cuma bercanda!" ucap Shena yang masih memegangi perutnya tertawa.
"Jangan begitu Shen candaan kamu!" balasku sedikit bergetar.

Shena lalu menyunggingkan senyum terkekehnya, "Kenapa Pak? Kalau beneran pun, Pak Hadi juga bakalan nolak kan?" dia terdengar seperti menantangku.

Layaknya kerasukan sesuatu yang datang entah darimana, seketika aku dengan berani menepikan mobil secara mendadak, "Kamu tau dari mana saya bakal menolak?" balasku mencoba menantang balik.

Shena masih terkikik seperti menganggap aku sedang bercanda, "Yaudah kalau gitu a-mmpppphhhhh.."

Suara Shena terputus karena aku dengan cepat bergerak membungkam mulutnya dengan menggunakan mulutku sendiri. Entah ada setan apa yang merasukiku saat itu, aku dengan liar melumat dan mencium bibir Shena yang tampak tak kalah kagetnya mendapat ciuman dariku.

Kedua tanganku kugunakan untuk menahan kedua bahu Shena yang sedikit ku himpit menggunakan badanku, sementara tangan Shena mencoba menepuk-nepuk pundakku dengan pelan seperti membuat gestur penolakan yang lemah.

Aku seperti orang yang sedang kesetanan, memagut serta menyesap madu manis dari bibir Shena sambil menghisap-isapnya dengan kuat, seakan-akan ingin meluapkan semua beban perasaan dan keinginanku untuk membalas perbuatan istriku dengan Mang Dedi.

Saat menemukan celah untuk melawan, Shena kemudian mendorong tubuhku dengan satu momentum kuat hingga membuatku kembali terhenyak ke bangku kemudi, "Trust me! Pak Hadi gamau ngelakuin hal ini." ucapnya santai namun berhasil membuatku tersadar.

Karena tiba-tiba saja, keringat dingin meluncur dari dahiku bersamaan dengan badanku yang mendadak menggigil saat aku mengerti kesalahan apa yang telah kuperbuat. Dengkul kakiku melemas seiring dengan meluapnya keberanian yang tadi sempat membumbung tinggi.

"So-sorry Shen.." permintaan maaf meluncur dari mulutku begitu saja.

"Don't be.." Jawab Shena menatapku lekat, "Shena bukan mau menolak kok!" Dia terkikik, lalu meneruskan, "Shena cuma mau mastiin aja, apa Pak Hadi bener-bener pengen ngelakuin ini?" tanyanya.

"You're right.." balasku memelas, "Saya khilaf!"

"Pasti gara-gara istri Pak Hadi, kan?" tanya Shena mendadak.

Menjadikanku tercekat sekaligus tergugup, "Ma-maksud kamu?"

"Hahaha.. Orang kolot mana yang pake komputer kantor buat browsing internet, tapi lupa buat ngeclose tab browsernya?"

DEEEEEEEEGGHHHHH... Jantungku terasa ingin berhenti saat itu juga.

"Jujur aja sih, pas Pak Hadi curhat tentang masalah ‘temen' Pak Hadi kemarin itu, Shena udah tau." Shena tersenyum sangat-sangat menggoda dan nakal, "No judging, but.... Pak Hadi punya selera yang liar juga ternyata."

Wajahku tahu-tahu menjadi sangat panas saat Shena ternyata sudah mengetahui ketertarikan baruku pada sebuah topik spesifik yang belakangan ini menjadi fokusku. Aku tidak menyangka kalau aku bisa bertindak sebodoh itu dengan tidak melakukan double cek sebelum aku berhenti menjelajah di internet.

"Shena gak ada maksud buat ngintip atau apa loh ya!" ucap Shena membela dirinya, "Shena ga sengaja aja liat komputer Pak Hadi masih nyala trus browsernya belum di tutup." Dia terkikik.

Sedangkan aku masih diam.

"Pak Hadi gausah khawatir! Shena ga bakalan bocorin ke siapa-siapa kok." sambung Shena yang mungkin melihatku sangat panik. "Tapi penasaran sih, Pak Hadi beneran cuckold?" mata Shena berbinar-binar.

"Bu-bukan lah!" aku menyanggah.

"Terus kok browsingannya begitu semua."

"Ya kan itu referensi," balasku, "Buat temen saya yang saya ceritain kemarin."

"Beneran?" selidik Shena.

"Iya.." Aku mengangguk.

"Yaudah kalau gitu kita lanjutin yang tadi gimana? Kita ke apartemen Shena aja biar lebih bebas?" tawarnya secara terang-terangan.

Namun kali ini, aku tidak lagi menemukan secuilpun keberanian dalam diriku untuk kembali mengulang apa yang aku lakukan kepada Shena tadi, jangankan untuk berbuat lebih jauh, kembali mencium bibir seksinya itu saja aku tidak lagi percaya diri.

Aku meneguk ludah, "Ga deh Shen, terima kasih!" balasku yang kembali menyalakan mesin mobil.

"Yaudah." jawab Shena santai tersenyum, tanpa sedikitpun merasa kecewa, "Makanya tadi Shena tanyain kan, Pak Hadi yakin apa enggak." ucapnya cuek, "Yakin mau mengkhinati istri Pak Hadi?"

Aku termangu, menanyakan pertanyaan yang sama kepada diriku sendiri. Apa aku benar-benar ingin membalas pengkianatan Liya dengan berkhianat juga? Apakah dengan berbuat hal yang sama dengan apa yang Liya perbuat akan membuat perasaanku menjadi puas?

Jawabannya bisa iya, bisa tidak.

Akan tetapi, jika kita membunuh seorang pembunuh, itu tetap tidak akan mengurangi jumlah pembunuh di dunia ini, mata di balas dengan mata hanya akan membuat dunia menjadi buta, dan pengkhianatan yang di balas dengan pengkhianatan, mungkin hanya akan berakhir pada sebuah kehancuran.

Dan aku tidak mau rumah tanggaku dengan Liya hancur, karena aku amat sangat mencintai dan menyayanginya.

Setelah beberapa menit perjalanan menembus macetnya jalanan kota, akupun akhirnya sampai di apartemen Shena. Dia masih terus mencoba menggodaku dan mengajakku untuk sekedar mampir terlebih dahulu. Tapi lagi dan lagi, aku memilih untuk menolaknya, bukan karena aku tidak mau, tapi lebih kepada tidak percaya diri serta menghilangnya keberanianku.

"Telpon Shena kalau misalnya Pak Hadi pengen curhat," tukas Shena saat sudah keluar dari mobil. "Shena belum pernah punya temen yang fetish cuckold soalnya," dia mengedipkan mata melanjutkan menggodaku, seperti tengah mendapatkan sebuah mainan baru yang memukau.

Sementara itu, aku hanya mencueki perkataannya, dan memilih sesegera mungkin berlalu pergi.

Aku sampai di rumah hampir mendekati pukul setengah tujuh, mendapati bahwa hari sudah gelap saat aku selesai memarkir mobil di garasi rumah. Suasana tampak sunyi dengan lampu teras dan lampu pagar tidak menyala.

"Mungkin lagi nganter Caca,"
ucapku dalam hati, karena mengetahui biasanya jam segini Liya pergi ke TPA untuk mengantar anak kami mengaji.

Sambil bersiul-siul kecil, aku berjalan santai menuju arah pintu rumah, aku duduk sebentar untuk membuka sepatu, lalu kemudian beringsut masuk membuka pintu depan.

Tanpa merasa sedikit curiga, aku melangkah gontai sambil pelan-pelan melonggarkan dasi baju kerjaku dan membuka jas yang ku pakai. Namun mendadak, langkahku terhenti saat aku mendengar adanya suara desahan yang samar bercampur dengan suara kecipak basah dari arah ruang tengah.

"U-umi?" panggilku pelan mendekat.

Secara mencengangkan, aku kemudian mendapati Liya sedang duduk di sebuah kursi yang biasanya kami peruntukkan sebagai kursi santai. Liya sedang memakai sebuah headphone di kepalanya, dengan posisi yang sedang mengangkang tanpa memakai sehelai benangpun untuk menutupi area selangkangannya.

"Astagfirullah!" teriakku dalam hati melihat istriku tersebut sedang dalam posisi cabul.

Liya menyamping dari arah ruang tamu tempatku berdiri, ia menghadap ke layar TV namun tidak sedang menontonnya, karena di depan Liya justru terdapat sebuah laptop yang sedang menyala.

Liya tampak amat berkonsentrasi, satu tangannya berada di bagian vaginanya, memasukkan jari tengah serta jari manis miliknya sambil mendorong keluar masuk melewati lubang kenikmatannya itu, yang menimbulkan suara berkecipak karena peraduan telapak tangan dengan bibir vaginanya yang sangat basah.

Darahku berdesir saat aku kemudian menyaksikan payudara Liya yang membulat sempurna, tampak bergoyang-goyang dengan ujung putingnya yang mulai mengeluarkan tetesan-tetesan ASI. Satu tangan ia gunakan untuk menopang bongkahan dagingnya tersebut dari bawah, meremas serta beberapa kali memelintir putingnya yang menegang dengan penuh nafsu.

"Uuuuugghhh... Enngghhhh.."

Liya mengerang nikmat dengan mulut terbuka serta nafas yang terengah-engah, bahkan hampir meneteskan air liur saat ia menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ekpresinya tampak begitu tenggelam dalam kenikmatan yang membuat wajahnya memerah seperti udang rebus.

Aku mematung di tempat, sedikitpun tidak mengeluarkan suara maupun membuat gerakan.

Karena diruangan itu, aku tengah menyaksikan sebuah pertunjukan liar istriku Liya, yang tengah mengarungi lautan kenikmatan yang sedang dia ciptakan sendiri. Mendadak wajahku ikut terasa panas dengan rasa malu membanjiri badanku. Aku benar-benar tidak bergeming dari tempat, tidak yakin harus berbuat apa karena aku belum pernah melihat Liya dalam momen seperti ini sebelumnya.

"Apa yang sedang terjadi?" tanyaku dalam hati. Pikiranku teraduk-aduk oleh berbagai macam emosi.

Berhubung rasa penarasan yang kian membuncah, aku menaksir bahwasanya apa yang sedang Liya tonton kemungkinan adalah penyebab dari semua ini. Lantas dengan segera, aku berjinjit mendekat kearah Liya, mencoba mengintip dari arah samping menuju layar laptopnya yang menyala.

"Astaga.." aku berteriak dalam hati, mendapati kalau ternyata Liya sedang menonton sebuah video porno.

Akan tetapi, keterkejutanku tersebut tampak belum cukup, karena dengan anehnya, Liya menonton sebuah bukan tayangan yang memiliki jumlah pemeran lebih dari dua orang, yang dimana akupun baru pertama kali menyaksikan hal yang seperti ini.

Dalam video tersebut, tampak seorang wanita berkulit kuning langsat, yang bertelanjang namun memakai hijab, sedang berada diatas tubuh seorang pria berkulit hitam, dengan penis pria tersebut berada di vagina si wanita. Tak cukup disitu, diatas tubuh sang wanita, terdapat satu orang pria lagi yang tengah bernafsu memompa masuk penisnya ke dalam lubang anus si wanita.

"I-inikan?" Aku mengerjap dalam hati, menyadari bahwa inilah bentuk dari anal seks yang tadi sempat di bahas seorang user di forum.

Apalagi, melihat perbandingan ukuran tubuh si wanita dengan kedua lelaki berkulit hitam tersebut, membuatku meremang dalam kengerian. Kedua lelaki itu tampak kekar dengan ukuran penis yang benar-benar berukuran besar, mungkin lebih besar dari ukuran lengan tanganku.

Kedua batang kelamin besar itupun juga masing-masing tengah menusuk ke dalam lubang vagina sekaligus lubang anus si wanita disaat yang bersamaan, memicu lubang yang tampak kecil tersebut merenggang dan melebar menerima sodokannya.

Belum cukup sampai disitu saja, keanehan video tersebut masih berlanjut dengan adegan percintaan itu sesekali bertukar pada sorotan seorang pria, yang memiliki perawakan hampir sama denganku. Pria itu sedang mengocok penisnya yang berukuran jauh lebih kecil dari kedua orang pria yang tengah menggenjoti si wanita.

Sesekali pria itu berkata kepada si wanita, "I love you, Honey.." "Do you like that honey?" dengan ekspresi kenikmatan.

Aku tersedak saat menyadari bahwa video yang tengah di tonton oleh Liya ternyata adalah sebuah video cuckold, yang berisikan tentang seorang pria yang melihat istrinya digasak bukan oleh satu pria lain.. tapi dua sekaligus.

"Oouuugghh.. Sssssshhhhh... Aaaaaaagghhhh..." Liya meracau.

Memicu penisku yang mendadak bangkit karena menemukan fakta bahwa ternyata aku dan Liya memiliki sebuah kesamaan: Terangsang oleh sebuah video penyelewangan dan perslingkuhan istri secara langsung di depan suaminya.

Liya bahkan tampak lebih menikmati dan terangsang oleh video tersebut, ketimbang saat kami melakukan hubungan seks kemarin. Dengan gerakan tangannya yang bergerak lebih cepat, Liya menenggelamkan buku-buku jarinya lebih jauh ke dalam vaginanya, sambil terus mengerang lebih keras.

Aku tergaman-gamang dengan apa yang kulihat. Liya istri muslimahku yang berhijab itu, Istriku yang cantik, istriku yang pemalu, istriku yang sedang hamil, tersesat dalam dunia kenikmatan tabu yang aku tidak tahu kalau ternyata dia juga mendambakannya.

"Apakah ini kebutuhan seperti ini yang Liya maksud?" tanyaku dalam hati saat tiba-tiba aku mulai membayangkan bagaimana kalau seandainya wanita yang ada di video tersebut adalah Liya sendiri.

Terlebih dengan ciri-ciri wanita itu terlihat hampir sama dengan ciri-ciri Liya beserta hijabnya pula, dan ciri-ciri dari pemeran lelaki yang juga hampir memiliki kesamaan dengan Mang Dedi.

Pandanganku mengabur, membuat adegan video porno yang tengah tayang itu berubah perlahan-lahan menjadi tayangan imajinasi, tentang Liya dan dua orang Mang Dedi yang tengah menyodoki penisnya ke masing-masing lubang kenikmatannya.

Aku tidak dapat menahan diri untuk tidak mengelus penisku dari balik celana, yang secara ajaib langsung menghantarkan rasa geli dan nikmat keseluruh sarafku sendiri untuk memuaskan rasa nafsuku yang menggebu-gebu.

"Ouughhh yaaahh.. Akuuu mauu keluarrrhhh, Masshh!! Ouuggghhh.. Iyaaa Massshhh... Enaaakk Mashh..." Desah Liya yang tiba-tiba menjadi sangat beringas.

Liya juga beberapa kali menyebut panggilan "Mas," yang biasanya selalu dia tujukan kepada sosok Mang Dedi belakangan ini. Yang berarti secara tidak langsung, Liya juga sedang membayangkan dirinya dihujami oleh penis Mang Dedi seperti adegan video porno yang disaksikannya.

Perasaan cemburu mengalir keseluruh rongga tubuhku saat aku mengetahui kalau Liya ternyata tidak membayangkanku, suaminya sendiri, melainkan sosok si tukang sayur sialan yang beringas dan kasarnya tampak sama dengan pria hitam yang ada dalam video.

"Ouuggghh... Iyaaahhh dapeeetttthh.. dapeeetttt.." Suara Liya parau ketika dia menyuarakan puncak kenikmatan yang akan segera dia rangkuh.

Tubuhnya menegang, dan dia mulai gemetar tak terkendali dengan mata yang terbelalak sampai-sampai memperlihatkan bagian putihnya saja. Lalu dengan lenguhan keras, Liya melepaskan sebuah tembakan air dari dalam vaginanya dengan begitu kuat arah meja yang berada di depannya.

"Ouuuuuggggggghhhhhhhh...." Liya meliuk-liuk seperti cacing kepanasan.

Headphone yang ada di kepalanya terlepas, memperdengarkan kepadaku betapa kerasnya suara video yang sedang dia tonton sehingga membuatnya dapat meraih puncak kenikmatan dengan sendirinya itu.

Badan Liya tidak berhenti tersentak, pinggulnya beberapa kali terangkat, serta tembakan air yang berasal dari vaginanya mulai melemah dan kemudian menghilang. Memberi sebuah tontonan baru padaku yang baru untuk kedua kalinya menyaksikan Liya meraih orgasme-nya.

Dalam ketakjubanku melihat Liya yang sedang mengalami orgasme yang hebat, aku sampai tidak sadar kalau posisiku sudah berada terlalu dekat dari Liya. Hingga kemudian, "Aa-abi?" Liya menyapa sekaligus terkejut melihat kehadiranku.

"Abi kok udah pulang?" Dengan agak tergesa-gesa, dia membereskan pakaiannya yang tersingkap hingga menutup laptop yang ada di depannya secepat mungkin.

Aku yang juga tak kalah kaget karena ketauan diam-diam mengintip, berusaha untuk mengatur suaraku sambil menunjuk ke arah jarum jam, "Su-sudah mau jam tujuh, Mi!" jawabku tergugup.

"Waduh! Iya ya.." Liya cengengesan. "Umi gak sadar, Bi!" ucapnya lagi.

Suasana seketika berubah menjadi agak canggung, saat baik aku ataupun Liya tidak menemukan kata-kata yang bisa diucapkan dalam situasi seperti ini. Liya masih agak kikuk, salah tingkah lebih tepatnya, saat mungkin dia mengira aku akan berkata sesuatu padanya.

Tapi aku justru ikut terdiam.

"Ya-yasudah, Bi! Umi kayaknya mau mandi dulu deh." Liya berhasil memecah kehening.

Aku mengangguk, "I-iya, Mi! Kayaknya harus." balasku tak kalah gugup.

Mengetahui rasa gelisahku, Liya tampak seperti menemukan kembali keberaniannya, dengan santai dia mendekat, matanya menatap mataku dengan tatapan lembut. "Hehehe.. Pasti Abi kaget ya tadi?!" Dia terkikik. "Sowwrrryyy!!" sambungnya dengan nada yang dibuat-buat.

"Um-umi sudah sering?" Aku keceplosan bertanya, tak mampu lagi menahan rasa penasaranku sendiri.

Liya lalu tersenyum menggoda dengan menggigit bibir serta mengangkat kedua bahunya, seakan sedang mempertimbangkan bagaimana dia harus menjawab pertanyaanku tersebut. "Sering gak yaaa???" dia menggoda. Sengaja bersikap misterius. Seolah ingin bermain-main dengan rasa penasaranku.

"Ntar deh Umi kasih tau." ucap Liya memastikan, "Oh iya.. Hari ini Umi ga masak, kita beli makan aja ya?" sambungnya dengan mudah mengalihkan topik pembicaraan.

"Tumben!" lirikku miring.

Liya menatapku sebentar, matanya bercampur antara terkejut dan geli. "Lagi gak pengen aja," jawabnya santai. "Masalah?" ucapnya menantang.

"Engga, gapapa kok!" balasku menghindar. "Umi pengen makan apa?" tanyaku bersikap senormal mungkin.

"Nasgornya Mas Bay kayaknya enak deh Bi!" jawabnya.

"Yaudah biar Abi beliin."

CUPP!! Liya tiba-tiba mencium pipiku, "Sayang banget sama, Abi!" ucapnya yang tiba-tiba manja sambil berbisik, "Abi sayang sama Umi kan?"

Aku mengangguk, "Iya sayang," balasku.

Liya lalu terdengar bersemangat. "Oke deh.. Jangan lupa pesenan Umi seperti biasa ya!" sambungnya sambil menepok-nepok pantatku. Suaranya dibuat lebih imut seakan dia sedang berbicara dengan anak kecil. Seolah-olah dia sedang bermain-main dengan sesuatu yang tidak aku ketahui.

Setelah itu, Liya langsung pergi meninggalkanku yang masih sedikit mematung seperti orang bodoh.

Pikiranku masih melayang-layang sedikit pada adegan Liya yang sedang bermasturbasi tadi, bukan hanya tentang fakta bahwa dia telah melakukan tindakan tabu dalam agama kami tersebut, tapi cara dia melakukannya dengan begitu bebas, telaten dan penuh nafsu, mengisyaratkan bahwa ini bukanlah kali pertama dia melakukannya.

"Di mana sih Liya belajar hal tak senonoh kayak gini?" tanyaku dalam hati, "Apa ini ulah Mang Dedi lagi?"

Dengan perasaan bingung dan rasa malas aku kemudian beranjak pergi keluar rumah. Sesampainya di depan, mataku mulai mencari dan mengamati jalanan sekitar yang tampak cukup ramai dengan beberapa gerobak pedagang kaki lima.

Aku kemudian memalingkan pandangan ke ujung pertigaan jalan dimana biasanya disitu adalah titik mangkalnya Mas Bayu, penjual nasi goreng yang selalu jadi langgananku dan Liya di komplek ini. Beruntung ternyata orangnya masih ada, sehingga aku memutuskan untuk pergi kesana.

Aroma bawang yang di goreng serta rempah-rempah yang berasap memenuhi udara saat Aku mendekati pertigaan jalan. Mas Bayu si penjual, seorang lelaki madura berumur 30 tahunan, dengan wajah agak sangar dan berkumis tebal itu, langsung mengenaliku.

"Eh, Uda," serunya, "Uni Liya gak masak?" tanyanya bercanda.

Aku menggeleng, "Kagak nih Mas Bay!" ucapku beramah tamah.

"Biasa nih? Tiga?" tanyanya.

Aku mengangguk, "Iyooii.."

"Satu extra pedes buat Uni Liya tercinta, dan satu extra timun untuk si kecil?"

Aku mengangguk, "Paling dabest dah Mas Bay ini.." balasku mengacungkan jempol

Mas Bayu terkekeh pelan sambil mulai menyiapkan nasi goreng pesananku. Saking seringnya aku dan Liya membeli dagangannya, dia sampai sudah hapal betul apa saja pesanan istriku dan anak kami Caca.

"Rame Mas Bay?" tanyaku berbasa basi.

"Ya.. Alhamdulillah, Da! Kalau abis ujan begini.." balasnya mulai sibuk memasak dengan cekatan. "Biasa kita mah! Pemadam kelaparan." sambungnya tertawa.

Aku memilih duduk di samping gerobak nasi goreng Mas Bayu, menyaksikan kepiawaiannya mengolah wajan dan bumbu dengan cekatan. Aroma harum yang keluar dari gerobak itu membuat perutku semakin keroncongan.

"Tumben Uni Liya ga masak, Da?" tanya Mas Bayu sambil terus mengaduk nasi di wajan.

"Biasa Mas Bay, lagi gak mood." jawabku sambil terkikik.

Mas Bayu tertawa kecil, "Trus kenapa orangnya gak diajak kesini Uda? Udah lama nih ga liat bidadari."

"Ah Mas Bay bisa aja!" balasku senang dengan pujiannya terhadap Liya itu.

Mas Bayu terkekeh, matanya berbinar seolah benar-benar terhibur dengan percakapan ini. "Beneran, Da. Uni Liya itu orangnya ramah, baik, dan cantik lagi. Jarang-jarang sih saya ketemu wanita kayak gitu." ucapnya. "Istri saya aja, aduuuhhhhh.. Kelewat jauh."

"Hahaha. Awas loh! Kalau istrinya Mas Bay denger nanti disuruh tidur diluar," aku tertawa.

"Gapapa lah tidur diluar juga, yang penting bisa membayangkan Uni Liya!" sambung santai Mas Bayu sambil memasukkan bumbu ke dalam wajan.

Aku terdiam sejenak, mulai merenungkan ucapan Mas Bayu. Ternyata kecantikan dan kebaikan istriku tersebut telah menjadi keinginan maupun bayangan laki-laki lain tanpa aku sadari.

Tapi anehnya, aku yang dulu mungkin akan merasakan rasa cemburu yang cukup dalam jika hal ini terjadi. Namun sekarang, yang kurasakan justru adalah sebuah rasa kebanggaan serta perasaan senang mengetahui kalau aku mempunyai sesuatu yang orang lain dambakan.

Pembicaraan kami kemudian memanjang dengan membahas berbagai macam topik termasuk cuaca, pertandingan bola belakangan ini, dan adanya warga baru yang baru pindah ke komplek.

Obrolan kami bertambah seru ketika Mas Bayu berbagi gosip hangat di lingkungan sekitar tentang adanya dua sejoli remaja yang ditangkap basah melakukan perbuatan mesum di pos ronda, yang beberapa waktu sebelumnya sempat membuat geger para warga.

Namun momen menyenangkan itu seketika buyar karena aku dengan samar mendengar sebuah suara sepeda motor mendekat. Jantungku seakan terasa terhenti sebentar, sebelum akhirnya bertabuh dengan sangat kencang saat aku tau siapa pemilik motor tersebut.

"Mang Dedi!" teriakku dalam hati.

Nama itu tiba-tiba saja menebar rasa kecemasan yang luar biasa saat perlahan demi perlahan, suara motor RX-King khas milik si penjual sayur sialan yang telah menggoda, dan berbuat tak senonoh dengan istriku itu, semakin jelas terdengar.

Ketegangan akhirnya terpecah saat kemudian Mang Dedi benar-benar berhenti di tempatku, membuat seluruh area menjadi berbau tajam asap kenalpotnya.

"Samlekom!!" teriaknya kencang menggema.

Mang Dedi turun dari motornya dengan wajah angkuh dan kekehan yang tidak pernah hilang, matanya memeriksa sekeliling, dan ketika pandangannya bertemu denganku, senyum sinis langsung tersungging di mulutnya, "Eh, ada Uda Hadi!" ucapnya menyapa. "Laper juga, Da?" sambungnya lagi.

Aku sengaja tidak menjawab sapaannya karena bingung. Di satu sisi, perasaan amarah langsung memuncak dalam diriku seperti air yang mendidih mengingat bagaimana orang yang telah menggoda dan berbuat hal tak senonoh dengan istriku itu kini berada tepat di depanku.

Namun disisi lain, rasa takut juga menyelimuti hatiku. Karena entah kenapa, aku mulai melihat Mang Dedi sebagai sosok yang menyeramkan. Aku bahkan juga baru menyadari dan memperhatikan kalau adanya perbedaan fisik yang cukup signifikan diantara kami.

Walau umurnya mungkin sudah menginjak setengah abad, Mang Dedi memiliki postur tubuh tegap dan tinggi, memiliki otot yang besar serta urat-urat seperti cacing di tangannya. Entah kenapa, sosoknya yang dulu terlihat ramah itu, kini tampak begitu mengintimidasi di mataku.

"Jiaaahh! Ditanya malah ngelamun." Mang Dedi menghampiriku dan langsung saja duduk di sebelahku.

Aku menelan ludah, berusaha menahan gejolak emosi yang bergelora di dalam diriku, namun juga sekaligus mulai adanya bayangan tentang bagaimana istriku yang telah mengulum penis orang yang duduk disampingku ini.

"Bagaimana aku harus menghadapi situasi ini?" tanyaku dalam hati.

Melihatku masih tidak berkutik, Mang Dedi tertawa cekikikan, "Mas Bay! Saya mau nasi goreng satu! Makan disini! Uda Hadi yang bayar tapi!" ucapnya memesan.

Mas Bayu yang tidak menyadari keteganganku, beralih menatapku senyum, "Beneran nih, Da?" tanyanya padaku.

Entah apa yang saat itu merasuki badanku, Aku kemudian hanya mengangguk memberi persetujuan, merasa seperti seekor domba yang berada dalam cengkraman serigala.

"Hehehe.. Uda Hadi emang terbaik!" sorak Mang Dedi senang.

Sedangkan aku masih terdiam kaku.

"Dek Liya gak masak, ya?" tanyanya Mang Dedi sekali lagi. Tapi kini dibarengi dengan seringai seakan-akan dia tau apa yang menyebabkan Liya hari ini tidak memasak untukku.

Aku mengepalkan tangan, ingin sekali ku arahkan pada wajahnya yang menyebalkan itu, "La-lagi gak pengen katanya," jawabku setengah berbisik, tidak berani menatapnya balik.

Senyuman sinis Mang Dedi semakin melebar, matanya berkilauan dengan rasa kemenangan yang sejatinya tidak sedang diperlombakan, "Mungkin dia lelah," katanya dengan pandangan sok tau yang mengirimkan gejolak amarah melalui pembuluh darahku.

Bagaimana bisa orang ini bertingkah sangat kurang ajar? Begitu tidak tahu malu? Tidak adakah sedikit rasa takut dalam dirinya? Pertanyaan demi pertanyaan membakar pikiranku.

"Kayaknya bukan urusanmu deh, Mang!" ucapku berusaha untuk tidak menjadi pengecut.

Walau kakiku terasa lemas sekalipun, aku merasa tidak bisa diinjak-injak begitu saja oleh orang yang telah menyusup ke dalam kebahagiaan rumah tangga dan pernikahanku. Aku tidak bisa membiarkan orang yang telah mencemari kesucian dan kepolosan Liya istriku, tidak mendapat konsekuensi atas perbuatannya.

Namun tindakan perlawananku tersebut justru malah membuat Mang Dedi semakin terkekeh, "Wuidihh.. Galak amat, Da!" ucapnya mencoba merangkulku, "Kayak bener aja jadi laki!" sambungnya terkekeh.

Dia meremas bagian pundakku dengan kuat. "Padahalkan Dek Liya udah ngasih tau semuanya ke saya loh!"

Tubuhku langsung melemas dan tenggorokanku tercekat, "Ma-maksud Mang Dedi... Ap-apaan?!!" tanyaku tergugup. Seluruh keberanian yang sedari tadi sudah dengan susah payah ku kumpulkan menguap begitu saja.

"Uda tau lah! Kemarin saya sama Dek Liya ngapain di gudang." seringainya setengah berbisik. "Denger-denger Uda ikutan sange waktu ngintipin!"

DUUUUUUUAAAAAAAAAAAAARRRRRRR!!!

Suara petir seperti menyambar kepalaku saat aku mendengar perkataan Mang Dedi yang begitu mendadak. Aku tau kalau Mang Dedi juga sudah tau aku mengintipnya saat Liya menghisap penisnya di gudang waktu itu, karena Bu Retno saat itu berteriak.

Tapi aku tidak tau kalau ternyata Liya telah menceritakan bagaimana respons ku pada saat kejadian itu kepada Mang Dedi.

"Jadi gausah sok-sokan gini lah!" ucap Mang Dedi dengan suara datar, ia menepuk-nepuk pundakku. "Suami ****** macam apa yang malah terangsang ngeliat istrinya nyepongin kontol laki-laki lain, iya kan?" ucapnya begitu menyakitkan.

Aku merasakan wajahku memerah karena campuran kemarahan dan rasa penuh penghinaan. Tapi aku tetap memilih diam, karena sebanyak dan sekuat apapun aku mencoba menyangkal perkataan Mang Dedi, bayang-bayang memori serta kenangan akan gairahku yang memuncak saat aku membayangkan Liya berbuat tak senonoh dengan Mang Dedi, bermain di benakku seperti sebuah tontonan yang mengerikan.

Dan dalam bayangan itu pula, aku sama seperti sekarang, tidak berdaya untuk menghentikannya, hanya menjadi penonton atas tercemarnya janji suci pernikahanku tersebut oleh si tukang sayur sialan ini.

"Tapi saya penarasan sih, Da!" Mang Dedi menjauhkan badannya, suaranya terdengar sangat mengejek, "Apa iya Uda jadi sange ngeliat Dek Liya lagi nyepongin kontol saya?" dia bertanya.

"Apa mungkin jangan-jangan Uda lebih sange ngeliat bini Uda yang alim itu ngelakuin hal tak senonoh sama nonis kek saya ini?"

Pertanyaan Mang Dedi membuatku ikut bertanya. "Apa yang sebenarnya aku senangi?"

Beruntung semua kejadian yang begitu menyakitkan ini terpecah oleh Mas Bayu yang ternyata sudah selesai membungkus pesananku.

"Jadi 48, Da! Sama punyanya Mang Dedi," ucap Mas Bayu menyerahkan kantong plastik berisi tiga bungkus nasi goreng.

Aku yang memang sudah kehilangan akal dan pikiran, langsung berdiri menjauh dari Mang Dedi serta langsung merogoh kantong membayar pesanan tersebut dengan satu lembar uang 50 ribu.

"Gausah dikembaliin Mas Bay! Dua rebu nya buat kerupuk, biar makannya lebih gurih!" sela Mang Dedi.

Mas Bayu sedikit menatap heran ke arahku namun aku berusaha untuk mengangguk secepat mungkin dan beranjak pergi dari sana.

"Nanti saya ke rumah ya, Da!" ucap Mang Dedi menyeringai. "Saya mau ngapel ke Dek Liya!" dia terkekeh sambil setengah berteriak.


EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28