javascript hit counter

Penunggang Liya Seorang Ibu Muda

EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Chapter 28





Liya


Kantong plastik berisi nasi goreng yang kubeli tadi berayun-ayun mengikuti langkahku yang tergesa-gesa menuju rumah. Nafasku tersengal-sengal, serta pandanganku menjadi sedikit mengabur karena berusaha menahan air mata.

Bertemu dengan sosok Mang Dedi secara mendadak, membuatku benar-benar merasa sangat hina dan rendah diri.

Bagaimana tidak, aku membiarkan dia berbicara kepadaku seolah aku bukan siapa-siapa, mengolok-olokku sebagai suami, dan berbicara tentang istriku, Liya, seolah dia sudah tahu segalanya tentang kami.

Dan yang lebih buruknya lagi, aku bahkan tak mampu membalas satupun ucapannya, tak mampu untuk sekedar menatap balik tatapan sinisnya, senyum penuh ejekan serta ucapan-ucapan kurang ajar yang dia lontarkan.

Alih-alih melawan, memukul, atau mungkin menghajarnya disana, aku justru malah mematung kaku, merasa seperti sudah kalah total, bahkan sebelum pertempuran dimulai.

Padahal, Mang Dedilah yang harusnya merasa takut kepadaku, karena dia yang membuat kesalahan, merayu istriku, berbuat sesuatu tak senonoh dengannya, dan mengotori pikiran suci istriku tersebut dengan doktrin-doktrin seksual.

"Tapi kenapa justru aku yang takut?" Pertanyaan itu merajalela dalam nalarku. "Darimana sebenarnya asal sikap pengecutku ini?"

Apakah karena Mang Dedi terlihat lebih fit dengan tubuh besarnya, sehingga aku yang kecil ini ketakutan untuk bertengkar secara fisik dengannya? Atau karena sebenarnya jauh dalam lubuk hatiku, aku sadar bahwa aku memanglah seorang pecundang dari awal?

Langkahku mendadak berhenti, tepat di depan pintu rumah.

Pikiranku ikut menarik diri, kembali menayangkan masa lalu dimana sedari awal, aku memanglah bukan tipe orang yang berani menghadapi masalah secara langsung. Aku mulai memahami bahwa, kecenderunganku untuk menjadi pengecut mungkin saja berasal dari imajinasiku yang terlampau aktif, atau aku sendiri yang selalu overthinking.

Aku jadi teringat, saat dulu aku dan teman sebayaku sedang belajar berenang di sungai belakang rumah. Dimana saat itu, teman-temanku dapat dengan mudah belajar hanya bermodalkan keberanian.

Sedangkan aku? Mulai banyak berpikir, bertindak ragu-ragu, berkata bahwa mungkin saja ada buaya disana, menolak untuk sekedar berjalan ke tengah sungai karena mungkin arusnya akan deras, beralasan kalau nanti tidak ada yang menolong jika tenggelam.

Dan hasilnya? Sampai sekarang aku belum bisa berenang.

"Sialan lah!" umpatku mengacak rambut.

Satu persatu momen-momen overthinking-ku dimasa lalu mulai bermunculan, dari kegagalanku mengungkapkan perasaan pada seorang cewe karena takut ditolak, hingga pada saat pertama kali aku belajar mengendarai mobil yang ujung-ujungnya malah menyebabkan kecelakaan.

Semua disebabkan oleh satu perkara: Aku yang terlalu banyak berfikir dengan imajinasi buruk saat akan mengambil satu keputusan.

"Huuuffftt.." Aku membuang nafas.

Tanganku gemetar saat meraih gagang pintu karena ada perasaan atas ketidakpastian yang menghantuiku. Ada sebuah jurang ketidaktahuan dalam diriku atas apa yang harus aku lakukan selanjutnya.

Karena sial bagiku, kejutan demi kejutan yang menyakitkan dari Liya terus berdatangan hingga akupun bingung dengan bagaimana aku harus menyikapinya.

Sebut saja perkara perbuatan tak senonoh Liya dan Mang Dedi waktu di gudang saat dia menghisap penis pria tua itu, aku sudah memilih untuk melupakannya. Melihat Liya tadi bermasturbasi? Aku memakluminya. Perubahan sikap Liya yang menjadi aktif? Aku berpikir mungkin karena kehamilannya.

Bahkan disaat Liya selalu mengocok penisku dengan caranya yang aneh itu, aku benar-benar telah menikmatinya.

Namun semua itu ternyata masih belum cukup, karena sekali lagi aku harus dikejutkan oleh fakta baru bahwa Mang Dedi mungkin saja sudah tau tentang hal yang terjadi dalam rumah tanggaku.

Dan itupun berkat istriku sendiri, yang dengan sukarela membuka seluruh aib rumah tangga kita kepada penjual sayur itu.

"Assalamualaikum.." ucapku melangkah dengan berat ke dalam rumah, sekali lagi mencoba untuk bersikap normal.

Tapi ternyata, disana Liya sudah menyambut kedatanganku, duduk tenang di atas sofa ruang tamu, sambil menatapku dengan senyum aneh yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghiasi wajahnya.

"Waalaikumsalam," Liya menjawabku lembut.

Dari ambang pintu, Aku tertegun saat mataku kemudian langsung menangkap penampilan Liya yang tiba-tiba berubah menjadi mencolok.

Liya mengenakan gamis berbahan satin dengan warna merah menyala, yang ujungnya menjuntai anggun hingga menyentuh lantai. Kainnya terlihat halus dan agak mengkilat, membungkus lekukan tubuh Liya yang masih tercetak, hingga perutnya yang membuncit karena kehamilannya.

Di kepalanya, Liya mengenakan hijab berukuran besar untuk membungkus wajahnya dengan warna senada dengan gamisnya, yang menutup seluruh bagian kepala hingga tersampir rapi di kedua bahunya. Hijab itu juga hampir menutup setengah bagian tubuh atas Liya, menambah kesan alim yang selama ini selalu melekat pada dirinya.

Tapi yang paling mencolok adalah riasan di wajahnya. Liya memakai make-up yang begitu rapi dan detail, dengan sentuhan eyeshadow berwarna netral yang mempertegas bentuk matanya, serta memakai bulu mata yang panjang dan lentik.

Pipinya diberi sedikit blush on merah muda untuk memberikan rona segar pada wajahnya, sementara bibirnya dipulas dengan lipstik berwarna merah menyala seperti memberikan sebuah kesan berani namun tetap mempesona.

"U-umi mau kemana?" tanyaku tergugup. Pangling karena penampilannya yang begitu cantik dan memanjakan mata.

"Mau pacaran," jawabnya singkat, membuatku terdiam sejenak dengan kebingungan.

Sebelum kemudian dia tiba-tiba berdiri, "Umi udah cantik belum, Bi?" tanyanya sambil memutar tubuh, memamerkan setiap keelokan yang dimilikinya.

"U-udahh.. Udah Cantik."

"Abi suka gak?"

"Su-suka." Aku mengangguk dengan suara parau. Sementara mataku tidak bisa berhenti memandanginya dengan takjub.

Mendengar jawabanku, Liya lalu tersenyum dengan manis. Dia melangkah mendekat dengan langkah gemulai. Matanya memancarkan sebuah tatapan yang menggoda, sedangkan senyumannya begitu memikat, membuat hatiku berdegup semakin kencang.

Aroma parfumnya yang bercampur dengan aroma tubuhnya begitu semerbak mulai memenuhi udara di sekitarku, menggoda syaraf-syaraf sensitif yang ada pada indra penciumanku.

"Coba dong jelasin cantiknya Umi dimana?" tanyanya lembut, sambil memegang kedua lenganku.

Aku seketika menelan ludah, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Se-semuanya! Cantik semuanya!" balasku tergugup.

"Masa sih?" Liya tampak menahan tawa.

Tiba-tiba saja, dia memajukan bibirnya ke arahku dan langsung mencium bibirku dengan sangat lembut. Aku terkejut, namun tidak menolak. Bibir Liya begitu hangat dan lembut, meresap ke dalam mulutku dengan amat pelan dan memabukkan, membuatku tidak dapat menahan diri untuk tidak membalas ciumannya.

Dan segala pikiran serta masalah yang menjangkit dalam diriku, menguap begitu saja.

"Emmmpphh.." sebuah lenguhan terlepas dari sudut bibir Liya.

Rasanya sudah cukup lama kami tidak berciuman dengan penuh gairah dan bertahan lama seperti ini. Membuatku merasakan perasaanku kembali menghangat serta rasa cintaku yang bertumbuh dengan seiringnya.

Lidah kami saling menaut satu sama lain, saling mencari seolah-olah sedang merindukan. Sementara tangan Liya menjelajahi tubuhku, menyentuh leher, bahu, lalu meluncur dengan usapan ke punggungku. Aku bisa merasakan jantungnya berdetak kencang di dadanya, menyamai jantungku yang juga berdebar-debar mengantisipasi apa yang mungkin terjadi selanjutnya.

"Ssshhtaaakkk..." Kantong keresek berisi tiga bungkus nasi goreng ditanganku jatuh ke lantai.

Yang membuat kami tersentak lalu menarik diri masing-masing, melepas ciuman untuk sekedar menarik nafas dengan saling memberikan tatapan nafsu yang berkobar. Liya tersenyum, "Bikin kaget aja!" ucapnya menepuk pelan bahuku.

"Umi yang bikin kaget! Tiba-tiba cium Abi!" balasku manyun.

"Emang ga boleh ya?" dia balas mencibir.

"Boleh.. boleh bangettt!!" Aku mengangguk dengan secepat mungkin.

Kami berdua tertawa.

"Caca belum pulang ngaji, Mi?" tanyaku melihat ke dalam kamar.

Liya menggeleng, "Lagi sama Bu Retno! Umi nitip sebentar."

"Bu Retno?" gumamku pelan. Kembali teringat pada sosok ibu-ibu yang telah memergokiku mengintip Liya dan Mang Dedi saat di gudang.

Aku seketika jadi tersadar, kalau sampai sekarang aku telah melupakan sosok tersebut padahal dia juga menjadi saksi atas perbuatan terlarang Liya dan Mang Dedi, tapi kenapa dia saat itu hanya bersikap santai? Apakah dia sebelumnya sudah tau?

"Iya. Umi titipin sebentar soalnya Umi mau pacaran dulu!" cubit Liya menggoda ke arahku, menarikku kembali dari lamunan sesat.

"Apaan sih, pacaran mulu ngomongnya." balasku merasa malu.

Liya kemudian menarik kedua lenganku dan melingkarkannya pada pinggangnya, "Ini lagi pacaran sama suami kan?" bisiknya lembut.

Merasa tidak tahan dirayu dan digoda, aku kemudian kembali melumat bibir Liya dengan lebih bernafsu lagi. Tubuh kami seketika menempel dengan aku yang menarik pinggangnya semakin mendekat, sementara Liya mengalungkan lengannya di leherku.

Perut Liya yang buncit, menekan pelan bagian perutku.

Aku menelusupkan lidahku, menjalari setiap rongga mulut Liya dengan amat bersamangat. Liya tampak menutup matanya, menyesap setiap kenikmatan yang kami hasilkan dan rasakan masing-masing.

"Euuummphhh... Emmmpphhhh... aaaachhhh.. sssllllrrrppp..." Suara peraduan mulut kami bercampur dengan suara lenguhan-lenguhan pelan dari Liya.

Ciuman ini terasa semakin memabukkan, mungkin menjadi ciuman terlama dan terpanjang yang kami lakukan semenjak kami menikah. Seakan-akan kami memiliki cadangan oksigen yang begitu banyak.

Tak mau hanya cuma berdiam dalam ciuman saja, aku kemudian menggerakkan tanganku dengan menggerayangi tubuh Liya, mulai dari area pantatnya yang sekal dan membulat itu

Namun dia dengan cepat menghentikanku. "Eiittss.. Belum boleh ya!" ucap Liya melepas ciuman kami.

Kekecewaan tentu langsung menghinggapiku saat itu juga. Akan tetapi semua tak bertahan dengan lama ketika Liya kembali mengecup pelan bibirku, sambil kemudian menuntun tubuhku berjalan menuju kamar pengantin kami.

Liya melirik ke arahku, senyum nakal tersungging di bibirnya. "Sabar, sayang," gumamnya yang membuatku merinding.

Sampai ketika kami berada di pintu kamar, aku menangkap sekilas adanya sebuah kursi yang diletakkan di tengah ruangan oleh Liya. Kursi itu menghadap langsung ke arah ranjang pengantin kami, seolah-olah memang dirancang untuk menyaksikan sebuah pertunjukkan yang akan terjadi disana.

Saat sudah di dalam kamar, aku mendapati kalau Liya ternyata telah menyalakan seluruh lampu yang ada disana, sehingga suasana kamarpun menjadi sangat terang benderang.

"Duduk, Bi!" perintahnya lembut. Dia menarik kedua tanganku pelan, mengarahkanku untuk duduk di kursi yang telah dia siapkan tersebut.

Aku mengangguk mematuhi, duduk di kursi seraya mataku nanar menatap kamar pengantin yang telah di sulap oleh Liya sedemikian rupa menjadi terlihat seperti kasur di hotel tempat kami dulu berbulan madu. Dengan tentunya ada sentuhan beberapa lilin yang belum menyala, serta beberapa kelopak mawar merah yang melingkarinya.

Liya tersenyum sebentar mematut ke arahku, lalu tiba-tiba dia membungkuk dan mencium bibirku dengan lembut, "Ini hadiah dari Umi buat Abi," bisiknya manja. "Karena Abi udah mau jadi suami yang pengertian sama Umi," ucapnya sambil membenahi hijabnya yang sedikit berantakan.

Kata-katanya tersebut seketika membuat hatiku menghangat. Mungkinkah ini adalah buah dari kesabaranku selama ini? Merasakan bagaimana Liya tampak begitu mencintaiku melebihi sebelumnya? Apakah mulai sekarang aku tidak perlu lagi khawatir akan adanya gangguan dalam hubungan kami?

Apresiasi kecilnya itu menjadi seperti sebuah oasis di tengah padang pasir untukku.

"Umi kapan nyiapin ini sih?" tanyaku senang sekaligus heran.

"Ada deh!" Jawab Liya mengangkat kedua bahunya.

Liya kemudian menjauh dariku, pelan-pelan berjalan ke arah meja hias miliknya. Lalu dengan senyum penuh rahasia, dia membuka laci paling atas dan mengeluarkan sebuah kotak hitam.

"Apaan tuh, Mi?" tanyaku heran.

Senyuman Liya semakin penuh dengan teka-teki saat dia berlutut di depanku, meletakkan kotak itu di pangkuanku. "Buka coba," pintanya dengan mata berbinar.

Dengan tangan yang agak gemetar, aku kemudian membuka kotak yang diberikan oleh Liya secara perlahan-lahan. Dalam hati aku mengira mungkin ini adalah sebuah hadiah yang telah disiapkan oleh Liya. Membuat jantungku berdebar-debar dengan senang menantikannya.

Namun ketika kotak itu terbuka, aku terkejut karena di dalamnya terdapat sebuah penutup mata berwarna hitam, dua buah borgol besi dengan ukuran berbeda yang biasanya hanya pernah aku lihat dalam film-film.

"Aa-apaan nih, Mi?" tanyaku melihat ke arah Liya, terkejut sekaligus kebingungan.

Liya lalu tersenyum geli kepadaku saat kemudian dia mengambil penutup mata yang ada di dalam kotak tersebut, "Abi percaya sama Umi kan?"

Aku terdiam, merasakan ada sesuatu yang aneh sedang direncakan oleh Liya. Tapi entah kenapa, sebagian diriku merasa lebih tertarik dan penasaran ketimbang merasa takut. Aku hanya mengangguk lemah memberinya jawaban ketika selanjutnya dia mengambil penutup mata itu.

Liya tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar, sebelum kemudian semua pandanganku menjadi gelap saat penutup mata itu terpasang cukup kuat dengan ikatan di belakang kepalaku.

"Ga boleh di lepas ya, Bi!" ucapnya lembut memerintahku.Jantungku berdebar kencang, mengantisipasi serta menebak-nebak apa yang akan di lakukan oleh Liya selanjutnya.

Aku kemudian merasakan Liya mengambil box hitam dari atas pahaku, lalu terdengar suara gerincing besi yang aku tebak adalah borgol yang ku lihat tadi. "Umm-ummp.. Umi?" tanyaku heran.

"Sssssttt... Diem sayang!" bisik Liya lirih, suaranya kini berubah menjadi nada yang menggoda.

"Tangan Abi ke belakangin coba," perintahnya yang kini terdengar dari arah belakangku.

Aku merasa agak ragu, merasa tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Liya ataupun apa yang ingin dia lakukan selanjutnya. Tapi sesuatu dalam diriku berkata, bahwa aku bisa mempercayai istriku tersebut sepenuhnya.

Dengan pelan-pelan, aku menaruh tanganku ke belakang kursi, merasakan dinginnya besi borgol yang satu persatu dipasangkan oleh Liya di kedua pergelangan tanganku. Suara kuncian borgol itu, terdengar sangat nyaring di telingaku, mengirim sentakan ketidakpastian, rasa gembira aneh, serta sedikit rasa takut ke seluruh syaraf yang ada pada tubuhku.

"Pinter!!" gumam Liya, suaranya kini semakin dekat, napasnya hangat menggelitik leherku.

Tak berhenti sampai disitu saja, Liya kemudian juga melakukan hal yang sama di bagian kakiku. Dia menggunakan borgol untuk mengikat pergelangan kakiku ke bagian kaki kursi. Membuatku sama sekali tidak bergerak.

"M-Mii?" panggilku merasa tidak yakin kembali.

"Sabar sayang!!" balasnya dengan suara yang masih berbisik lembut.

Tangannya kembali menyentuhku, kali ini meraba-raba tubuhku, menelusuri bahu, lalu meluncur turun ke bagian dada. "Percaya deh sama Umi. Abi pasti bakalan suka." Liya terkekeh.

Aroma wangi kulit manis yang bercampur dengan madu menyeruak masuk ke dalam hidungku. Aku menebak kalau Liya pasti menyalakan lilin yang dia siapkan tadi, yang membuatku sedikit terkejut karena aromanya yang familiar, yaitu aroma yang sama dengan saat pertama kali kita pergi berbulan madu.

Entah kenapa, tubuhku menjadi agak rileks, namun pikiranku masih tetap berpacu. "Kejutan macam apa sih ini?" tanyaku dalam hati.

Aku mendengar langkah Liya kembali mendekatiku, lalu kurasakan tangannya kini bergerak untuk membuka satu persatu kancing kemeja kerjaku yang sedari tadi belum kuganti. "Jadii.. Kita akan main game," ujar Liya lembut. Sensasi itu entah kenapa mulai memacu adrenalin dalam diriku hingga membuat penisku langsung berdenyut.

"Ga-game apa?" tanyaku penasaran.

Tapi Liya tidak menjawabnya sebelum dia akhirnya berhasil membuka seluruh bagian kemejaku.
Tangannya, dengan lembut namun tegas, menyentuh bagian dadaku yang tidak lagi ditutupi oleh apapun, membuatku sedikit tersentak.

"Nama gamenya itu, game kejujuran." balas Liya menggoda, membuatku menjadi menggigil sampai ke tulang punggung. Game kejujuran? Maksudnya apaan? Pikiranku mulai berkecamuk balau.

Ujung jari Liya tiba-tiba kurasakan menyentuh pelan puncak puting dadaku, mengirim beribu-ribu sengatan listrik ke badanku saat dia mulai bermain-main disana.

"Peraturannya gampang," suara Liya terdengar bersemangat, "Abi tinggal jawab aja pertanyaan Umi dengan jujur," ucapnya berhenti sejenak. "Kalau Abi jujur, Umi akan isepin tititnya Abi sampai 10 detik." tangan Liya terasa bergerak ke arah selangkanganku.

"Tapi kalau Abi bohong, Umi akan ngasih tau Abi rahasia tentang hubungan Umi sama Mang Dedi, dan Abi ga boleh marah!" sambungnya menyelesaikan.

Keringat dingin mengucur tiba-tiba dari dahiku karena permainan ini tentu saja bukanlah permainan yang aku harapkan di kepalaku. Permainan yang sudah pasti pula tidak ingin aku mainkan.

Tapi tangan Liya sudah berada di selangkanganku, bermain-main nakal dengan resleting celana yang ku pakai. Sentuhannya yang lembut, membuatku semakin sulit untuk berpikiran jernih. Tampaknya meskipun pikiranku ingin menolak tawaran permainan ini, badanku justru malah bereaksi sebaliknya.

Liya sendiri menganggap diamku sebagai sebuah persetujuan, atau mungkin dari awal sebenarnya dia tidak memerlukan hal tersebut karena dia bergerak melepaskan ikat pinggang di pangkal celanaku.

Jari-jarinya yang lincah berpindah pada bagian kancing celana, yang dengan cekatan langsung dia buka sambil menurunkan resleting dengan gerakan yang sangat lambat. Membuat seluruh bulu-bulu rambut yang ada ditubuhku meremang karena merinding.

"Wow.. Abi udah nga-" Liya tidak menyelesaikan kata-katanya, suaranya terpotong oleh rasa keterkejutan saat dia mendapati penisku sudah sangat menegang keras di balik celana dalam.

"Kayaknya Abi udah suka duluan sama game ini ya?!" kikiknya berkomentar.

Perasaan malu serta dada yang berdebar kencang mengiringi kepergian celanaku dari singgasananya, saat Liya kemudian menarik turun penutup tubuh bagian bawahku itu hingga sampai di lututku. Pun begitu dia lakukan dengan celana dalam hitam yang ku pakai, dia menariknya turun amat pelan seolah-olah sedang men-unboxing sebuah hadiah yang sudah lama dia idam-idamkan.

Sedangkan aku hanya diam di tempat, dengan pikiran yang semakin bercampur aduk saat udara dingin kamar mulai menyapa lembut penisku yang sedang menjulang tegak dengan keras.

Liya kemudian menggenggam penisku tersebut dengan telapak tangannya yang hangat, "Enggghhh..." lenguhan terlepas dari bibirku saat aku merasakan perasaan geli menyengatku.

"Kita mulai ya?!" ucapnya bersemangat menantang.

Genggaman tangan Liya di penisku mengencang saat dia memberikan pertanyaan pertamanya, "Abi sayang gak sama, Umi?"

"I-iyalah," jawabku cepat tanpa ragu.

"Hehehe. Gampang itu mah ya?" tanya Liya yang kemudian membawa penisku ke bibirnya.

Mulutnya yang hangat dan basah itu langsung menelan kepala penisku. Sensasinya teraasa sangat kuat karena aku sudah lama tidak merasakan penisku dihisap oleh Liya, membuat tubuhku menggelinjang dan memberontak, mungkin inilah pulalah alasan kenapa Liya memborgol tangan dan kakiku.

"Eeeenggghhh..." Lenguhanku buncah. Lidah Liya berputar-putar di sekeliling bagian kepala penisku yang sensitif.

Kulumannya itu hanya sepuluh detik, namun aku bisa merasakan kalau rasanya seperti sangat-sangat lama.

Saat Liya menarik diri, aku dapat merasakan hawa panas dari mulutnya masih berhembus di bagian penisku. Meskipun aku tak bisa melihat, aku seperti bisa membayangkan bagaimana ekspresi yang tengah dibuat oleh Liya, dengan hijab yang membungkus wajahnya, Liya pasti sedang tersenyum puas penuh dengan kesenangan nakal.

"Oke, pertanyaan selanjutnya," bisik Liya, tangannya masih mengelus penisku, menjaganya agar tetap pada puncak gairahnya. "Abi sering kangen gak kalau misalnya gak ketemu sama Umi?"

Pertanyaannya simple namun seperti memiliki sebuah maksud tersembunyi, "Ya pastilah! Sering banget malah!" suaraku tegang dan putus asa menunggu kenikmatan yang akan kudapatkan.

Liya lalu terkikik dan membungkuk lagi, mulutnya kembali menghisap kepala penisku sambil lidahnya menari-nari pada lubang pipisnya, menggoda sekaligus menyiksaku yang tersentak saat dia menghisap lebih dalam.

"Ouuuuggghhhh.." aku mengeram, meresapi kenikmatan yang benar-benar tidak dapat dapat ku tahan.

Mulut Liya seperti memberikan sebuah sihir kenikmatan pada penisku, lidahnya membelai dan menggoda pada bagian batangnya yang dengan mudah dia telan ke dalam mulutnya, satu tangan dia gunakan untuk memegang pangkal penisku, sedangkan tangan lainnya menyentuh lembut bagian buah zakarku.

Namun sekali lagi, Liya menarik diri tepat sebelum aku bisa menikmati semua kenikmatan itu lebih lama.

"Bagus!" ucapnya memuji. Giliranku yang merasa deg-degan, menantikan pertanyaan apalagi yang akan dia tanyakan padaku.

"Apakah Abi masih mencintai Umi seperti saat pertama kali kita bertemu?" Suara Liya terdengar lucu, tapi aku bisa merasakan sedikit keseriusan di baliknya.

Aku menelan ludah dengan susah payah, tubuhku masih gemetar karena kenikmatan sebelumnya. "Lebih cinta malah," jawabku jujur, dengan suara tegang.

Liya terkikik, suaranya bergema di telingaku. "Hehehe. Ini yang pengen Umi denger," gumamnya manja.

Akan tetapi tangan Liya kurasakan bergerak meninggalkan penisku, dan aku merasakan bingung karena aku sudah menjawab dengan sebuah kejujuran tanpa sedikitpun memberi kebohongan.

Tiba-tiba saja, aku merasakan mulut Liya melumat habis penisku yang menegang secara keseluruhan hingga aku dapat merasakan bibirnya berada di pangkal penisku.

"Eeeuuuggghhhhh..." aku tidak dapat menahan geraman dan tubuhku tersentak-sentak di kursi merasakan otot-otot tenggorokan Liya berkontraksi memijat penisku.

Ini adalah hisapan terhebat Liya yang pernah aku rasakan seumur hidupku, seakan-akan dia ingin melahap seluruh tubuhku dengan mulutnya yang kecil dan ranum itu.

Tapi Liya tidak berhenti di situ. Tangannya mulai menjelajahi tubuhku, meluncur ke bagian dadaku sambil mencari putingku, setelah menemukannya, Liya menjepitnya pelan dan memutarnya di antara jari-jarinya.

"Eeeengghhhh.. Ummiiihhhhh..." lirihku memanggilnya. Kombinasi rasa sakit dan rasa nikmat yang sungguh memabukkan itu, hampir saja membuatku berejakulasi.

Tapi tentu saja Liya tidak akan membiarkan aku mendapatkannya dengan mudah. "Pertanyaan selanjutnya," Liya menarik mulut dan tangannya. "Abi cemburu atau terangsang? Waktu Abi ngeliat Umi nyepongin kontolnya Mang Dedi?"

Aku segera tercekat, kali ini pertanyaan Liya seperti sebuah tamparan yang mendadak di pipiku. "Ma-maksud Umi?"

"Jawab aja pertanyaannya!" Liya dengan tegas memerintah.

Pikiranku berpacu cepat berusaha mencoba mencari jawaban yang tepat. Apa Liya benar-benar mau membuatku jujur mengutarakan hasrat terdalamku? Apa dia benar-benar berharap aku akan mengatakan itu dengan lantang?

"Ga mungkin lah," ucapku dalam hati.

Sehingga aku kemudian menjawab, "Cee-cemburu!" balasku singkat.

Liya terkekeh, "Tetnot! Tetnot!" ucapnya, "Abi ber-bo-hooong!" nadanya menahan geli saat dia dengan sigap langsung tau.

"Aa-bi gak bohong, Mi!" aku memprotes dengan berputus asa.

"Ingat aturan mainnya ya, Bi!" Liya mengabaikanku. Dia hanya terdengar tersenyum geli lalu berkata, "Abi tau gak?" tanyanya pelan, "Tadi sebenarnya Umi yang ngasih tau Mang Dedi, kalau Abi lagi di nasi goreng Mas Bayu."

BAAAAAAMMMMM!!!

Pengakuan Liya itu bagaikan seperti sebuah pukulan benda tumpul di kepalaku. Aku tidak pernah menyangka kalau pertemuanku dengan Mang Dedi yang menghinaku itu, ternyata bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sesuatu yang sudah direncanakan.

"Ma-maksud Umi apa?" Aku tidak terima, berusaha memberontak dari ikatan borgol yang ternyata cukup kuat itu.

"Iya. Umi yang ngasih tau Mang Dedi, soalnya Mang Dedi udah pengen ketemu banget sama Abi!" Liya tertawa geli.

"Ke-kenapa Umi ngelakuin itu?" Aku tidak terima, rasa marah dari sebuah pengkhianatan mengalir dalam tubuhku.

"Ini bagian dari gamenya Abi sayang!" Liya berkata dengan nada yang membujuk, "Dan Umi satu-satunya yang boleh bertanya, Oke?" Tangannya meluncur kembali ke penisku

"Jangan khawatir karena kita belum selesai," bisiknya lagi, menjanjikan kenikmatan yang manis di tengah gejolak emosiku yang membara.

Aku ingin segera berhenti dari permainan gila ini. Tapi entah bagaimana, aku tidak bisa. Aku berbohong pada diriku sendiri bahwa ini hanyalah sebuah permainan kejujuran saja, tidak ada maksud lain yang direncanakan oleh Liya walau jauh dalam lubuk hatiku, aku tau.

"Abi pernah ngerasa bersalah gak sih? Waktu Abi tau kalau Abi gak pernah muasin kebutuhan batin Umi?" Suara Liya lembut, tapi pertanyaan itu menghantamku seperti palu.

"Pa-pastilah!" aku terpancing untuk menjawab sesegara mungkin.

"Net-noott! Abi berbohong lagi!" Liya terdengar bertepuk tangan.

Aku memprotes cepat, namun Liya langsung menyelaku, "Abi tau gak?" dia bertanya, "Dulu itu, Umi pernah ngirim foto selfie ke Mang Dedi," ucapnya. "Tapi waktu itu kebetulan Umi lagi gak pake baju."

BLETAAAARRRRR!!!!! Kali ini suara cambuk melecutku.

"U-umi?" aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar.

"Tapi tenang, Bi! Waktu itu ga sengaja kok!" Balas Liya, "ada pantulan punggung Umi gitu yang keliatan di cermin, jadi Mang Dedi ngeliat pantat Umi dikit deh."

Darahku berdesir mendengar pengakuan Liya tersebut, borgol yang mengikat tangan dan kedua pergelangan kakiku itu serasa mencengkram lebih kuat. Aku bisa merasakan darah mengalir deras ke wajahku, campuran kemarahan sekaligus terangsang membayangkan bagaimana keadaan Liya pada saat itu.

"Itu sih yang bikin Umi jadi bisa langsung akrab sama Mang Dedi," ucap Liya menyudahi pengakuannya.

Masih berusaha mencerna semua perkataannya, Liya kemudian memberikan pertanyaannya lagi, tidak memberiku waktu untuk berpikir dengan jernih,

"Oke pertanyaan berikutnya.."

"Abi ngerasa gak sih kalau titit Abi itu kecil?" tanya Liya dengan suara imut seperti sedang berbicara dengan anak kecil.

Pertanyaannya yang tak terduga itu membuatku sedikit tersentak, karena aku kurang mengerti dengan maksudnya. Apa hubungannya ukuran penisku dengan semua hal ini? Lagipula bukankah Liya sudah sering melihatnya? Kenapa bukan dia saja yang memberi penilaian? Kenapa harus bertanya kepadaku?

"Kayaknya Umi udah tau sendiri deh," balasku.

"Umi mah tau, tapi Abi tau gak?" tanyanya berbalik.

"Taulah! Ukuran normal." jawabku dengan percaya diri.

Liya terkikik, menahan tawanya sebentar sebelum dia melepaskan semuanya. Dia benar-benar terbahak-bahak mendengar jawabanku. "Hahahaha.. Lucu banget ya ampuunn.." ucapnya seperti penuh dengan ketidakpercayaan atas apa yang baru dia dengar.

"Kenapa sih?" tanyaku merasa kesal seperti tengah diledek.

Namun Liya masih saja tertawa terbahak-bahak untuk sementara waktu, "Jawabannya bohong!" ucapnya dengan yakin. "Abi udah liat kan, gimana kontol pemain bokep yang Umi tonton?" tanyanya lagi. "Udah pernah bandingin kan ukurannya?"

"Ta-tapi kan itu orang luar!" protesku tidak terima.

"Abi tau gak? Kalau punya Mang Dedi sama besarnya sama yang di bokep itu?" tanyanya.

"Dan Umi suka banget loh."

DEEEGHHHH!!

Giliran jantungku yang serasa dihuyung oleh sebuah benda besar, membuat pandanganku yang gelap karena tertutup penutup mata mulai berputar-putar dengan sendirinya.

Apa maksud Liya mengatakan semua ini? Apa dia berencana membuatku malu? Berencana merendahkanku? Bagaimana pula seorang perempuan alim dan seorang muslimah taat seperti Liya mengatakan kalau dia suka dengan penis lelaki lain selain suaminya?

"Pasti tau dong kejadian pasangan mesum di pos ronda yang rame itu?" tanya Liya belum selesai.

"Disitu pertama kalinya Umi nyepongin kontol Mang Dedi loh!" sambungnya yang entah kenapa terdengar sangat bangga membicarakan kelakuan bejatnya yang telah melanggar seluruh norma-norma yang ada.

"Tapi Abi tau gak? Ternyata diam-diam Bu Retno udah pernah liat Umi sama Mang Dedi di pos ronda itu."

"Dan Bu Retno malah ga kaget coba?" Liya bercerita dengan sangat bersemangat. "Dia bilang sama Umi kalau dia udah tau gerak-gerik hubungan Umi sama Mang Dedi dari awal. Trus Bu Retno bilang kalau dia mendukung Umi karena Umi pasti kesepian punya suami kek Abi!"

"Ka-kayak Abi gimana sih?"

Liya tertawa geli, "Iya yang kayak Abi, yang sibuk kerja, yang ga peka istrinya kesepian, dan yang gak tau kalau dirinya sendiri punya titit super kecil!" ungkap Liya yang kemudian terbahak-bahak.

"Katanya udah keliatan dari awal, dari cara Abi ngomong, dari cara Abi jalan, dari cara Abi ngeliat orang," Liya berhenti sejenak. "Dia bilang udah keliatan kalau Abi itu tipe cowo gak percaya diri, suka insecure, dan terlalu banyak berpikir."

PLAAAAAAKKKKKK!!! Kini sebuah tamparan kenyataan yang tidak bisa kusanggah.

Satu persatu kepingan puzzle yang selama ini mengganggu pikiranku mulai menyatu dan menjadikan semuanya menjadi masuk akal.

Awal pertama kejadian yang membuat Liya dan Mang Dedi menjadi akrab, awal mula Liya melakukan tindakan tak senonoh dengan Mang Dedi, alasan kenapa dia lebih menyukai Mang Dedi daripada aku, serta alasan kenapa Bu Retno tampak terlihat biasa-biasa aja saat dia melihat perbuatan Liya dan Mang Dedi di gudang.

Semuanya kini terungkap.

"Tapi jangan khawatir, Sayang," bisiknya Liya yang kemudian memegang penisku, "Umi gak masalah kok punya suami yang bertitit kecil!" kikiknya. "Malahan keliatan cute gitu loh!" sambungnya.

Perasaanku benar-benar terasa dipermainkan. Tapi meskipun pikiranku berpacu dalam kekacauan, tubuhku masih merespons sentuhan Liya, dan jauh dalam lubuk hatiku aku tak bisa memungkiri bahwa pengakuannya ini justru malah membuatku bergairah meski merasa dipermalukan disaat yang bersamaan.

"Uu-umih.." panggilku lirih.

Liya kembali mengurut pelan penisku, membuat ereksiku yang tadinya sempat melemah menjadi bangkit kembali. "Apa Abi udah ngerti sekarang?" tanyanya singkat.

Tapi aku memilih untuk tidak menjawabnya, atau mungkin aku yang tidak dapat menjawab karena game kejujuran ini benar-benar membuatku harus mengakui apa yang aku rasakan jauh dalam lubuk hatiku. Sedangkan aku tidak sanggup untuk mengungkapkan kejujuran.

"Pertanyaan terakhir deh kalau gitu!" ungkap Liya menarik tangannya dari penisku.

Lalu selang tak berapa lama, aku kembali merasakan telapak tangannya tersebut, namun dengan sebuah sensasi basah yang sangat dingin seakan-akan ada sesuatu cairan yang di oleskannya pada telapak tangannya.

Aku memberontak, "Uu-Ummi apaan itu?" tanyaku kaget menggeliat.

"Sssstttt.. Dieeem!! Nanti enak kok!" selanya masih sibuk.

Dengan deguban jantung yang begitu cepat, aku berusaha untuk menahan gairahku yang mendadak bangkit menggebu-gebu seakan tengah berkumpul pada bagian penisku yang diurut pelan-pelan oleh Liya. Penisku mendadak terasa sangat sensitif seolah-olah satu gesekan kulit Liya saja mampu memberiku beribu-ribu sengatan nikmat yang menjalar.

"Oke, selesai!" ucap Liya yang terdengar perlahan bangkit dari tempat duduknya.

Liya berjalan ke arah belakang, merangkul tubuhku di kursi sambil satu tangannya mulai mengecoki penisku dengan ritme dan tempo yang pelan namun berangsur-angsur menjadi cepat.

Pikiranku langsung buyar oleh kenikmatan yang mendadak tersebut yang bahkan membuat mulutku menganga dan hampir meneteskan ludah karena saking nikmat gelinya.

"Ssslllllccckkk... Sllllllcccckkkk... Sllsscccckkkk.." Suara kocokan tangan Liya yang basah pada penisku terdengar memenuhi seluruh sudut ruangan kamar.

Duniaku terasa berputar namun aku tidak dapat melihat apapun karena mataku tertutup, satu-satunya hal yang bisa ku lakukan hanyalah menfokuskan sensasi kocokan tangan Liya yang semakin lama semakin cepat dan licin.

"Eeeenghhhh... Eeeenngghh.." Aku merengek dalam kenikmatan.

Tangan Liya yang satunya lagi bergerak ke bagian dadaku, merasakan jantungku yang tengah berdebar kencang, ujung jarinya menelusuri ujung-ujung putingku. Aku bisa merasakan napasnya di telingaku, napasnya yang amat panas membuat tulang punggungku menjadi ngilu.

"Uu-ummiihhh... Abbiiiihhh..... Abiihhh... Mauuhghhhh.." Aku mencoba memberitahu Liya bahwa aku akan segera berejakulasi, tapi dia hanya terkikik, napasnya terasa panas di telingaku.

"Jangan dulu sayang," bisiknya menahanku untuk melepas ketegangan di tubuhku yang semakin kencang. "Satu pertanyaan lagi," lanjutnya, sambil tangannya tidak pernah berhenti bergerak.

"Abi gak masalah kan? Kalau misalnya Umi terus berhubungan atau mungkin berbuat sesuatu yang lebih jauh sama Mang Dedi?" dia bertanya, nadanya menggoda dan lucu meskipun situasiku saat ini sudah diujung tanduk.

Ejakulasiku membayang dan semakin dekat seperti kereta cepat yang melaju tanpa hambatan, dan aku bisa merasakan setiap otot di tubuhku menegang sebagai persiapan.

Pertanyaan Liya terdengar seperti ladang ranjau, dan aku tahu bagaimanapun aku menjawabnya, itu tidak akan mengubah segalanya. Aku bisa saja menolak, namun janji kenikmatan yang ditawarkan Liya begitu nikmat sehingga aku tak mampu berpikir dengan jernih.

"I-iyaah.. Iyaahh.. Ga-apaa.. apaahhh," akhirnya aku berkata dengan gigi terkatup.

Tangan-tangan Liya yang bergerak, akhirnya berhasil memanipulasi pikiranku yang tidak lagi mementing hal selain selain keinginan untuk merasakan puncak kenikmatan itu sesegera mungkin.

Aku kemudian mengeram, bak seekor singa jantan yang terluka, merasakan rasa panas menumpuk di selangkanganku serta otot-ototku yang menegang sebelum akhirnya aku melepaskan semua semuanya.

"Uwwwaaaaggghhhhh.. Keluaaaaaaarrrrgghhh...." Aku berteriak sangat keras.

Seluruh tenaga dan tegangan yang berkumpul dalam tubuhku, terasa seperti lolos dan keluar dari ujung penisku sambil menembakkan sperma yang entah berapa banyaknya. Badanku beberapa kali terangkat dan terhenyak ke kursi serta seluruh tulangku terasa seperti terlepas dari tempatnya.

"CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!""CROTTTT!!"

Ledakan itu tidak berhenti bahkan ketika Liya mulai membuka penutup mataku dan memperlihatkan wajahnya yang seperti malaikat anggun itu tersenyum begitu puas. Aku memicingkan mata dan membuka beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya dalam kamar. Setelah ku lihat sosok Liya yang berhijab dan berpakaian masih lengkap itu, hatiku entah kenapa merasa sangat lega.

Namun kemudian pintu kamarku terbuka dan masuklah Mang Dedi dari arah sana, "Samlekom! Udah siap Dek?" tanyanya menyeringai melihatku yang lemas.

"Udah, Mas! Udah dapet ijin." balas Liya tersenyum ke arahnya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tamat


EPS :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28