Chapter 3 : Tali Asmara
Liya

Setelah kemarin siang aku kembali berbaikan dengan mang Dedi, aku menjadi tidak sabar untuk menunggu hari berganti dan kembali bertemu dengan pria yang diam-diam sudah menarik hatiku tersebut.
Pagi yang kutunggu-tunggu itu pun akhirnya datang menjelang. Aku terbangun dalam keadaan yang senang dan penuh rasa antusias luar biasa.
Kubangunkan suamiku untuk sama-sama menunaikan ibadah salat subuh berjamaah seperti yang biasa kami lakukan setiap paginya.
Setelah itu, suamiku pun memilih untuk tidur kembali. Sedangkan aku mulai melakukan pekerjaan rumah rutinku seperti menyapu halaman, menyuci baju, dan memasak sarapan pagi.
Anehnya ketika aku sedang menyiapkan bahan makanan untuk dimasak, aku malah teringat kepada sosok Mang Dedi yang pasti belum sempat sarapan. Karena setiap harinya dia berangkat lebih awal dari siapapun untuk menjajakan dagangannya.
Lalu terbesit lah dalam benakku untuk memberikannya hadiah. Itung-itung sebagai tanda permintaan maaf juga atas sikapku yang tidak mengenakkan selama seminggu terakhir.
Nasi goreng telur ceplokpun menjadi menu andalanku untuk sarapan pagi kali ini. Hanya saja porsi bahan bakunya tinggal sedikit dan terasa kurang untuk dapat dibagi kepada suamiku atau pun Mang Dedi.
Karena itulah aku memutuskan membuat sarapan khusus untuk Mang Dedi terlebih dahulu. Sebab suamiku pun masih tidur dan hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak perlu buru-buru.
Aku pun kemudian menanak nasi sekali lagi dan berencana untuk membuat sayur toge yang menjadi kesukaan suamiku setelah aku kembali dari belanja nanti. Jadi semuanya bisa sarapan dan tidak ada yang ketinggalan.
Usai melakukan semua kewajibanku dan membuatkan sarapan untuk mang Dedi, aku pun kemudian memilih mandi dan membersihkan badanku yang berkeringat.
Hari ini juga aku mulai punya keinginan untuk berdandan secantik mungkin agar bisa tampil cantik dihadapan Mang Dedi nanti. Entah motivasi macam apa yang membuatku punya pikiran seperti itu, namun aku cukup senang membayangkan diriku tampul menarik dihadapan penjual sayur itu.
"Umi mau kemana??" Kaget suamiku yang ternyata sudah bangun dari tidurnya.
Akupun hanya tersenyum sambil terus merias wajahku, "Mau belanja Bi! Buat sarapan kita" balasku.
"Tumben pake dandan segala, biasanya mah kamu pake daster doang" ledek suamiku.
"Gak ada salahnya dong tampil cantik" ucapku percaya diri.
Suamiku tertawa mendengarnya, "Iya, tapi siapa juga yang mau liat Mi?? Paling tukang sayur???" ledeknya lagi.
"Ya gapapa lah Bi! Mending dandan depan tukang sayur sekalian daripada dandan depan Abi"
"Lah kok gitu Mi?" Tanya suamiku heran.
Aku membalik badan dan mencibir suamiku, "Iya, percuma dandan kalau gak diajak jalan" ucapku meledek.
Suamikupun tertawa terbahak-bahak mendengar candaanku yang sebenarnya adalah isi hatiku juga. Tapi tampaknya laki-laki yang sudah berumah tangga selama 6 tahun bersamaku ini sama sekali tidak peka seperti kebanyakan laki-laki diluar sana.
"Awas nanti kamu diajak jalan sama tukang sayur loh" ucap suamiku masih becanda.
"Asalkan tukang sayurnya baik mah gapapa" balasku beranjak dari meja rias.
Mendengar perkataan ku tersebut, suamiku tampak sedikit syok tak bergeming dari tempatnya. Dia tiba-tiba terdiam dan bengong seperti orang yang terkena hipnotis.
Beruntung aku cepat menyadari situasi dan menghampiri suamiku sambil tersenyum meledek, "Canda suamiku sayang" ucapku sambil mengecup pipinya.
"Hampir jantungan aku Mi" balasnya masih tak percaya.
Aku pun tertawa melihat ekspresi suamiku yang tampak mengelus-elus dadanya "Salah sendiri becandanya begitu" Ucapku beranjak dari kasur.
Setelah berbincang-bincang sebentar dengan suamiku, aku pun berpamitan kepadanya untuk pergi berbelanja. Tak lupa aku membawa kotak nasi dan tempat air minum yang berisikan teh manis untuk aku sajikan kepada Mang Dedi sebagi hadiah.
Kemudian dengan perasaan senang dan berdebar-debar, aku pun melangkahkan kakiku menuju ke tempat Mang Dedi yang berada di pertigaan tak jauh dari rumahku.
Setiap pagi dia memang selalu mangkal dan berjualan disana karena lokasinya yang strategis berada di dekat dengan jalur akses masuk dan keluar perumahan.
Disana juga terdapat sebuah pos yang biasanya menjadi tempat berkumpulnya para tukang ojek mencari pelanggan.
"Pagi Mang!" Sapaku tersenyum melihat Mang Dedi tengah duduk di dalam pos.
"Waduh, ada bidadari mau belanja sayuran nih" balasnya sumringah melihat kehadiranku.
Akupun bersemu merah mendengar pujian pria itu dan menunduk malu-malu, "Mamang bisa aja ih" ucapku yang sebenernya sangat-sangat senang.
"Kok dipanggil Mamang lagi sih? Kemaren kan kita udah sepakat atuh" Protes Mang Dedi padaku.
"Eh iya lupa Mas" balasku terkekeh.
"Nah gitu dong adem" tawa Mang Dedi sangat senang mendengarku memanggilnya dengan sebutan "Mas"
"Oh iya Mas, ini aku bawa sarapan buat Mas Dedi" ucapku menyodorkan kotak makanan dan botol minuman yang aku bawa dari rumah tadi.
Wajah Mang Dedipun tampak berseri melihat aku menawarkan sarapan untuknya, "Puji tuhan!!! kebetulan banget aku belum sarapan. Dek Liya emang paling tau kebutuhan Mas" jawabnya menyambut makanan dariku.
"Iya Mas sama-sama. Dimakan ya" balasku begitu senang melihat Mang Dedi yang juga tampak antusias dengan pemberianku.
"Duduk sini Dek! Nanti kamu capek berdiri terus disana" tawar Mang Dedi menepuk-nepuk kursi lesehan yang ada di sebelahnya.
Akupun dengan sedikit sungkan dan malu-malu masuk ke dalam pos yang sebenarnya tidak terlalu besar tersebut. Didalamnya terdapat sebuah lesehan yang terbuat dari bambu dan berukuran lumayan besar.
Pos tersebut juga terbuka dengan bagian dinding yang hanya dibuat setengahnya saja. Jadi kalau ada orang yang masuk kesana, yang terlihat dari luar hanyalah bagian kepala sampai lehernya saja.
Sambil celingak-celinguk akupun memperhatikan keadaan sekitar yang tak seperti biasanya terasa lumayan sepi.
"Sepi kok Dek! Ibu-ibu lain udah pada belanja tadi" ucap Mang Dedi yang seakan tau dengan apa yang aku pikirkan.
"Kok pada cepet ya Mas? Baru juga jam 7 ini" tanyaku melirik jam di tangan.
"Kamu gak tau kalau di kelurahan lagi ada acara acara senam massal??"
Aku menggeleng, "Enggak Mas" jawabku singkat.
"Oh iya lupa, kamu kan baru ya disini" balas Mang Dedi sambil membuka kotak nasi yang berisi nasi goreng buatanku tadi.
"Wahhh. Nasi goreng Uni-uni padang nih. Pasti enak banget" lanjutnya begitu senang.
Akupun tertawa melihat reaksinya yang berbinar-binar seperti seekor kucing yang dikasih makan ikan, "Spesial buat Mas Dedi" balasku.
"Hehehe. Makasih ya Dek Liya sayang" ucap Mang Dedi mengelus pundakku dengan pelan.
Namun bukannya protes, aku malah membiarkan Mang Dedi meyentuh bagian badanku tersebut dengan santai. Padahal selama ini aku tak pernah membiarkan laki-laki lain selain suamiku untuk menyentuh diriku bahkan untuk bersalaman tangan saja.
Tapi dengan Mang Dedi lagi-lagi ada pengecualian yang tak dapat aku jabarkan dengan kata-kata. Tatapannya yang hangat dan lemah lembut itu seolah berkata padaku bahwa dia tidak akan pernah punya niatan untuk menjahatiku. Jadi secara tidak sadar akupun terbawa untuk bersikap biasa saja di depannya.
"Waduhh.. enak banget nih nasih gorengnya" ucap Mang Dedi saat dia memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya.
"Masa sih Mas?? Nasi goreng biasa aja kok itu" jawabku merendah.
Mang Dedi lalu menggeleng, "Kayaknya ini spesial deh. Bikin nya pasti penuh rasa cinta" rayu Mang Dedi padaku.
"Mang Dedi bisa aja" senyumku makin merasa senang.
Sambil Mang Dedi makan kamipun tetap mengobrol ringan seputar banyak hal seperti kegiatan warga perumahan sini yang setiap hari minggunya acap kali mengadakan kegiatan senam massal.
Mang Dedi juga bilang kalau kegiatan tersebut digandrungi berbagai macam kalangan seperti ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak. Jadi wajar pada jam seperti ini komplek perumahan tampak sepi tidak ada orang.
"Lain kali Dek Liya coba ikut deh sama suami. Itung-itung buat refreshing" saran Mang Dedi padaku.
"Suamiku mana mau Mas ikut acara kayak gitu. Dia paling males sama yang namanya olahrga" jawabku teringat momen dimana dulu suamiku selalu menyerah duluan ketika kami jogging bersama.
"Kalau gitu sama Mas aja gimana??" Tawar Mang Dedi tiba-tiba.
Aku tersenyum senang mendengarnya, "Boleh sih Mas, tapi Mas kan jualan" jawabku tak mau terlalu berterus terang.
"Demi menemani bidadari, aku rela tak jualan sayur sehari" candanya dengan wajah serius.
"Paan sih Mas!! Kamu gaje" tawaku pecah mendengarnya bercanda dengan wajah serius seperti itu.
Kami terus mengobrol ngalor ngidul kesana kemari tanpa sadar sudah menyerempet pada hal-hal yang sedikit menujurus kearah yang jorok.
Aku dengan sedikit malu-malu tetap meladeni pembicaraan tersebut karena Mang Dedi selalu menyelingi obrolan kita dengan suasana bercanda dan humor-humor recehnya.
"Beneran tau Dek, cewe kalau jembutnya banyak pasti orangnya napsuan" lanjut Mang Dedi ditengah obrolan kita tentang masalah keintiman.
"Ah. Mas sok tau!! Aku bulunya banyak tapi gak napsuan tuh" jawabku membantah
Mang Dedi menggeleng, "Kamu belum sadar aja sama diri kamu. Mas berani taruhan kalau kamu sering masturbasi di kamar mandi. Iya kan??"
"Masturbasi apaan?" Tanyaku bingung dengan istilah yang digunakan Mang Dedi.
"Itu! Yang main-main sama punya kamu sendiri" ucapnya dengan frontal.
Sontak aku kaget dan langsung teringat dengan kejadian kemarin-kemarin hari dimana aku beberapa kali sempat melakukan hal yang dimaksud masturbasi tersebut oleh Mang Dedi. Beberapa kali ketika aku terangsang, aku mengikuti instingku dengan mengelus-elus bagian luar vaginaku sampai becek dan basah.
"Tuh kan pernah" ucap Mang Dedi dengan percaya diri.
Tapi aku masih tidak terima dan protes padanya,
"Iya tapikan gak sering juga" balasku sewot.
"Aku yakin sering" angguk-angguk Mang Dedi menuduhku.
"Mas kali yang sering begitu" balasku mengalihkan pembicaraan.
Namun Mang Dedi malah terkekeh mengakuinya, "Kalau Mas mah emang sering Dek. Maklumlah Mas belum punya istri buat begitu-begituan"
"Idiihh najong. Ngomongnya kayak orang bener" ledekku becanda.
"Beneran dong. Daripada aku memperkosa orang, lebih baik dikocok pake tangan sendiri" tawa Mang Dedi lepas begitu keras.
"Emangnya enak ya Mas pake tangan sendiri?" Tanyaku penasaran.
Mang Dedipun mengangguk, "Enak sih Dek. Tapi bakalan lebih enak lagi kalau pakai tangan kamu ini" ucapnya Mang Dedi meraih dan memegang tanganku. Tapi anehnya, aku tidak berusaha menarik tanganku dan membiarkan saja tangan kasar milik Mang Dedi tersebut menggenggamnya.
"Apaansih kamu Mas!!" Ucapku malu-malu tak berani menatap wajah Mang Dedi.
Jantungku berdebar-debar sangat kencang seperti sebuah tabuh yang terus dipukul tak henti-hentinya. Suasana pagi itupun mulai terasa sedikit panas dan membuatku kegerahan.
Apalagi dalam situasi tempat yang terbuka seperti ini semakin menambah rasa berdebarku takut-takut kalau ada yang lewat dan melihatku bergandengan dengan pria yang bukan suamiku tersebut.
Tiba-tiba saja, Mang Dedi mengangkat tanganku dan menciumnya "Iya. Kalau tangan halus punya kamu ini yang ngocokin aku, pasti bakal enak banget" rayunya semakin berani.
"Mas jangan ih!! Nanti diliat orang" protesku padanya.
Cukup aneh memang karena seharusnya aku memprotes tindakan Mang Dedi yang memegang dan mencium tanganku, bukan malah memprotes dia yang melakukannya di tempat terbuka seperti ini.
"Abis tangan kamu wangi sih Dek" balasnya terkekeh.
Suasana diantara kamipun menjadi sedikit canggung setelah itu karena aku memilih diam sejenak tak bisa lagi berkata-kata banyak. Jantungku sudah sangat terpacu oleh tindakan kecil Mang Dedi itu dan darahku berdesir merasakan adrenalin mengalir keseluruh tubuhku.
Aku membiarkan saja tanganku tersebut di genggam lama oleh Mang Dedi sebelum akhirnya dia tiba-tiba menuntunnya pada daerah selangkangannya sendiri.
"ASTAGFIRULLAH MAS!!" teriakku lumayan kencang sambil menarik tanganku dari selangkangannya.
Dapat aku rasakan kalau di balik celana yang tengah dipakainya saat ini, batang penis Mang Dedi tengah menegang dengan sangat kerasnya.
Namun dengan tanpa bersalah sedikitpun Mang Dedi malah tertawa, "Kenapa Dek?" Ucapnya bertanya dengan polos.
"Mas nakal iiihhhhh!" Protesku lagi.
"Abis kamunya diem aja gak ngomong" sungut Mang Dedi malah menyalahkanku.
"Mas tuh ya!! Iseng banget jadi orang!!" Ucapku melayangkan sebuah cubitan dipinggangnya.
"Awhhh sakit Dek" ringis Mang Dedi sambil tertawa.
Setelah itu, Mang Dedi malah menggelitik balik pinggangku dengan tangannya, "Ini serangan balasan" teriaknya menggelitikku.
Akupun langsung berkelojotan merasa geli karena Mang Dedi menggelitik di kedua area pinggangku sehingga aku yang gampang gelian inipun jatuh tertidur di lesehan bambu yang ada disana.
"Ampun Mas, Ampun" ucapku tertawa menahan geli meminta Mang Dedi berhenti untuk menggelitikku.
Tanpa aku sadari, posisiku kami saat ini sedang berhimpitan satu sama lain dengan Mas Dedi berada diatasku yang tengah telentang kegelian. Untungnya posisi tersebut tidak bertahan lama karena Mang Dedi segera menghentikan gelitikannya padaku.
Mang Dedi tertawa puas setelah berhasil mengerjaiku sebelum akhirnya dia menjatuhkan diri disampingku. Nafas kami berdua saling berpacu terengah-engah setelah beberapa saat kami bergelut layaknya anak kecil yang tengah asik bermain.
"Kamu cantik Dek Liya" ucap Mang Dedi tiba-tiba memegang pipiku.
Ada hawa hangat yang aku rasakan saat tangan kasarnya tersebut menyentuh kulit wajahku. Bahkan tak ada sedikitpun niat untuk menolak sentuhan pria penjual sayur itu karena yang aku rasakan justru malah sebuah ketentraman.
Dadaku pun tak berhenti berdegup dengan kencang, saking kencangnya sampai aku takut kalau Mang Dedi akan mendengarnya. Aneh memang aku bahkan tidak sadar kalau aku ini adalah perempuan yang sudah bersuami.
Yang tersbesit dalam benakku saat itu adalah bagaimana bisa aku menahan getaran yang menelusup ke sumsum tulangku, merambat melalui setiap pembuluh nadiku, dan berusaha keluar melesak meminta untuk dibebaskan.
"Mas!!" lirihku menahan badan Mang Dedi yang mencoba mendekat.
Namun Mang Dedipun tampaknya tau kalau usaha penolakanku itu hanyalah setengah-setengah saja, "CUPPP!!" Dalam sekejab bibir Mang Dedi mendarat di bibirku. Sepersekian detik sebelum dia melepas dan menjauhkannya kembali.
Sedangkan aku terpatung, sadar bahwa sebenarnya momen ini pasti akan terjadi namun tetap merasa tak siap menyambutnya. Dalam keadaan itu, kami berdua saling menatap satu sama lain tanpa sedikitpun mengeluarkan kata-kata. Tapi dari pancaran mata Mang Dedi, aku bisa menangkap banyak hal yang ingin dia sampaikan padaku namun tak bisa dia ungkapkan secara terus terang.
"Mas, kita tida--mpphhhhh"
Kata-kataku terhenti ketika Mang Dedi kembali mendaratkan ciuman bibirnya mengunci bibirku. Namun untuk kali ini bibir kasarnya tersebut tidak hanya sekedar menyentuh seperti tadi. Ciuman Mang Dedi mulai berani melumat bibirku dengan halus dan penuh gairah.
Aku langsung tahu, kalau aku sudah tidak bisa menghindar. Maka yang aku lakukan justru menutup mataku, menikmati setiap getaran tabu yang dialirkan oleh Mang Dedi lewat ciumannya yang begitu lembut.
Kalo mau jujur, aku juga ikut menikmatinya. Bahkan beberapa saat secara refleks aku juga membalas melumat bibir Mang Dedi, mengisyaratkan kalau aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dia rasakan.
"Maaf Dek. Aku terlalu nekat" ucap Mang Dedi menghentikan ciumannya.
"Jangan minta maaf Mas" balasku melumat balik bibirnya.